Adakah
Jimat dalam Islam?
oleh : Ust.
Abdullah Berau -hafizhahullah-
(Pengasuh dan
Pengajar Masjid Ibnul Qoyyim Timika, Papua)
Jimat merupakan
hal yang tidak asing lagi bagi kita, karena tersebar beragam jenisnya. Bahkan, jimat
tersebut sudah menjadi “komoditi dagang”
yang laris diperjualbelikan, berupa mantra-mantra, rajah-rajah, batu akik
pelancar rezki, sabuk bertuah, liontin ajaib, kain dan semacamnya.
Kini benda-benda
itu bukan lagi sekedar benda mati, tapi telah “naik kelas”, karena diyakini bisa
memberikan perlindungan atau kekebalan, mendatangkan rezeki, ataukah pemikat
lawan jenis. Namun yang jadi pertanyaan, bagaimana hal ini jika ditimbang oleh
syari’at, adakah ia dalam islam?
Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- telah menyempurnakan agama ini sebagaimana yang Allah nyatakan
dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
“Pada hari ini telah Kusenpurnakan bagi
kalian agama kalian dan telah Kucukupkan nikmatKu kepada kalian dan telah
Kurhidhoi Islam sebagai agama bagi kalian”. (QS. Al-Maidah: 3)
Al-Imam Abul Fida`
Ibnu Katsir
-rahimahullah- berkata, “Ini adalah karunia Allah -Ta’ala- yang
paling besar terhadap umat ini, di saat Allah telah menyempurnakan agama bagi
mereka, maka mereka pun tidak butuh lagi kepada agama yang lain dan tidak
kepada nabi yang lain selain Nabi mereka -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Oleh
karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi. Dia telah
mengutus beliau kepada bangsa manusia dan jin. Jadi, tidak ada perkara yang
halal, selain yang beliau halalkan dan tidak ada perkara yang haram selain yang
dia haramkan, serta tidak ada ajaran agama selain yang dia syariatkan. [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir (2/14)
cet. Darul Ma’rifah]
Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- bersabda,
مَا
بَقِيَ شَيْئٌ يُقََرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ
بُيِّنَ لَكُمْ
“Tiada suatu perkara yang mendekatkan
kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada
kalian”. (HR.
Ath-Thabrany dalam Al-Kabir (1647), di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1803), dan Syaikh Ali
bin Hasan Al-Atsariy dalam ‘Ilmu Ushul Al-Bida’ (hal.19)]
Jadi, segala
perkara kebaikan yang bisa mengantarkan seseorang meraih surga telah dijelaskan
dan dituntunkan dalam syari’at. Demikian pula sebaliknya, segala perkara yang
jelek bila menjerumuskan seseorang ke dalam neraka, telah dijelaskan dalam
syari’at.
Seandainya jimat
ini adalah perkara disyari’atkan, tentunya kita akan mendapatkan tuntunannya dalam
syari’at dan pastilah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para sahabat
-radhiyallahu ‘anhum-, dan imam-imam setelahnya adalah orang yang
pertama kali mengejakannya.
Namun, jika kita
tidak dapatkan hal tersebut dikerjakan oleh mereka (yakni, Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dan para sahabat), maka hal tersebut bukanlah perkara yang
baik, bahkan termasuk kepada hal-hal yang diada-adakan di dalam syari’at yang
telah sempurna ini, yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya
berlepas diri dari hal-hal tersebut.
Masalah jimat telah
dijelaskan oleh Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam- dalam hadits-hadits.
Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud -radhiyallahu
‘anhu-, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mangisyaratkan
tentang jimat dan hukumnya,
إِنَّ
الرُّقَى وَالتَمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan
guna-guna adalah syirik”. [HR. Abu Dawud (3883). Hadits ini di-shohih-kan
oleh syaikh Al-Albany dalam Shohih Al-Jami’ (1632), dan di-hasan-kan
oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dalam Al-Jami’ Ash-Shohih (3/499)]
Syaikh Muhammad Al-Wushobiy
Al-Yamaniy
berkata dalam mengomentari hadits ini, “Bisa dipetik hukum dari hadits ini tentang
haramnya menggantungkan jimat, baik pada manusia, hewan, kendaraan,
rumah, toko, pohon, atau selainnya. Apakah sesuatu yang dgantungkan itu berupa
tulang, tanduk, sandal, rambut, benang-benang, batu-batu, besi, kuningan, atau
yang lainnya, karena perkara tersebut, di dalamnya ada bentuk penyandaran
sesuatu kepada selain Allah, (yang ia itu adalah kesyirikan )”. [Lihat Al-Qaulul
Mufid Fiadilati At-Tauhid (145 jilid 7)]
Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- juga pernah bersabda,
مَنْ
عَلَّقَ تمَِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang menggantungkan jimat maka
sungguh dia telah berbuat kesyirikan”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/56), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(4/291). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohih
(629), dan di-hasan-kan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih
(6/294)]
Abdur Ra’uf
Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, “Siapa yang menggantungkan jimat, diantara
jimat-jimat jahiliah, sedang ia
menyangka hal tersebut bisa mendatangkan suatu mudharat atau manfaat, maka
sesungguhnya itu adalah perbuatan yang haram. Sedangkan sesuatu yang haram, di
dalamnya tidaklah terdapat obat”. [lihat Faidh Al-Qadir (6/107),
cet. Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra]
Syaikh
Abdirrahman bin Hasan Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata, “Menggantungkan
jimat adalah kesyirikan, karena maksud orang yang menggantungkan jimat tersebut
untuk menolak suatu kemudharatan (bala’), atau meraih suatu manfaat dengannya dari selain Allah. Hal itu juga meniadakan
kesempurnaan keikhlasan kepada Allah, yang merupakan makna dari La Ilaha
Illallah, karena sesungguhnya orang yang ikhlas tidaklah meminta tercapainya
suatu manfaat atau hilangnya suatu mudharat kecuali hanya kepada Allah,
sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Dan siapakah yang lebih baik agamanya
daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan”. (QS. An-Nisa`: 125) [ Lihat Quratul
Uyun (hal. 54)]
Ketika ada yang
mengingkari dari kalangan para pemakai jimat, sebagian orang -terlebih lagi
para pemakai jimat- menyangka jimat itu sebagai sebab dan sarana saja. Benarkah
itu? Perlu diketahui bahwa meyakini sesuatu sebagai sebab dan sarana -padahal
ia bukan sebab-, maka ini tergolong syirik kecil. Selain itu, meyakini sesuatu
sebagai sebab dan sarana yang mendatangkan manfaat (kebahagian), atau mudharat,
harus berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.[lihat Al-Qaulul Mufid (1/208)]
Jadi, mengerjakan
sebab yang telah disyari’atkan adalah termasuk dari bagian syari’at. Namun para ulama menyebutkan sesuatu itu bisa
menjadi sebab atau bukan dengan dua pekara:
Pertama, melalui penetapan
syari’at, yakni syari’at menetapkan bahwa sesuatu itu bisa menjadi sebab, misalnya
madu. Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman tentangnya,
فِيهِ
شِفَاءٌ لِلنَّاسِ
“Di dalamnya (madu) terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia”. (QS. An-Nahl:
69)
Jika kita menggunakan
madu sebagai sebab kesembuhan, maka sah dianggap sebagai sebab, karena syari’at
telah menetapkannya.
Kedua, melalui pembuktiaan
secara alami bahwa ia memiliki manfaat dengan syarat pengaruhnya jelas dan
terjadi secara langsung, seperti berobat dengan Biji Keling yang bisa
menghancurkan batu ginjal, atau minum Konidin yang bisa menghilangkan sakit
kepala. [Lihat Al-Qaul Al-Mufid Syarah Kitab Tauhid (1/165)]
Jadi, kedua perkara di atas tidak terpenuhi pada
jimat. Tidak ada satu dalil pun yang men-syari’at-kan jimat, bahkan jimat
dilarang. Jimat adalah sesuatu yang belum jelas pengaruhnya dan secara tidak
langsung, sehingga batillah dan tidak sah ia dianggap sebagai sebab.
Dari uraian di atas,
maka jelaslah tentang haramnya jimat di dalam syariat islam, baik jimat itu
berupa benda-benda mati -sebagaimana yang telah disebutkan-, ataukah terbuat dari
Al-Qur’an, dan doa yang dijadikan sebagai jimat. Ini pun dilarang disebabkan
beberapa hal, diantaranya: [1] keumuman
larangaan akan semua jenis jimat, dan tidak adanya dalil yang mengkhususkannya.
[2] Jika kita menggunakan Al-Qur’an sebagai jimat, maka akan terjadi
penghinaan terhadap Al-Qur’an dan nama-nama Allah, sebab akan dibawa ke tempat
yang najis atau dipakai mencuri dan berkelahi. [3] Fungsi Al-Qur’an,
dibaca, bukan digantungkan. [4] Para
sahabat membenci penggunaan jimat [5] Penggunaan jimat yang terbuat dari
Al-Qur’an akan mengantarkan kepada penggunaan jimat yang terbuat dari selain
Al-Qur’an.
Lajnah Da’imah (Lembaga Fatwa
KSA)
berfatwa secara resmi, “Penggantungan jimat-jimat pada manusia atau
selainnya, berupa ayat-ayat Al-Qur’an adalah haram menurut pendapat yang shahih
dari dua pendapat ulama. Jika yang digantungkan tersebut dari selain Al-Qur’an,
maka pengharamannya lebih keras lagi. Tingkatan-tingkatan hukum orang yang
mengantungkan jimat berbeda beda sesuai dengan maksudnya. Terkadang bisa
menjadi syirik besar (yaitu syirik yang bisa mengeluarkan pelakunya dari islam),
jika dia meyakini bahwasanya jimat tersebut mempunyai pengaruh dari selain
Allah. Terkadang juga bisa menjadi syirik kecil (syirik yang tidak mengeluarkan
pelakunnya dari Islam), namun ia terhitung sebagai dosa besar. Terkadang
menjadi bid’ah (suatu perkara baru yang diada-adakan) atau maksiat yang di bawah
dari kesirikan. Jadi bagaimana pun keadaannya, tidak boleh melakukannya atau
menggantungkannya [ Lihat Fatawa Al-Lajnah (1/204/no. 2775),
dan Al-Qaulul Mufid fi Adillah At-Tauhid (hal 148)]
Ringkasnya, segala
bentuk jimat baik dari Al-Qur’an, atau pun bukan dari Al-Qur’an adalah suatu
hal yang diharamkan, karena keumuman larangan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-.
Jadi, hendaknya
setiap muslim meninggalkan perkara-perkara ini, mewaspadainya dan ia hanya
menggantungkan segala urusannya hanya kepada Allah semata; Dia meminta suatu
manfaat dan berlindung dari mudharat hanya kepada-Nya, sebab inilah aqidah kaum
muslimin yang diyakini oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan
para sahabatnya -Radhiyallahu ‘anhum yang benar. Sedang tidak ada
setelah kebenaran itu, melainkan kebatilan, Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan