Melafazhkan Niat, Madzhab Syafi’iyyah?
oleh : Ustadz Abdul Qodir Abu Fa'izah –hafizhohulloh-
(Alumni Islamic University of Medinah, KSA)
Ada sebuah fenomena yang jarang mendapatkan sorotan oleh
kebanyakan orang, karena ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya, di antaranya
adalah faktor taqlid, jahil terhadap agama, banyaknya orang yang melakukannya
sehingga sudah menjadi sebuah adat yang mendarah-daging, sulit dihilangkan,
kecuali jika Allah menghendakinya. Sehingga terkadang menjadi sebab
perselisihan, perseteruan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin sendiri. Di antara
fenomena tersebut, tersebarnya kebiasaan “melafazhkan niat” ketika
hendak melaksanakan ibadah, utamanya shalat.
w
Definisi Niat
Kalau kita membuka
kitab-kitab kamus berbahasa arab, maka kita akan jumpai ulama bahasa akan
memberikan definisi tertentu bagi niat.
Ibnu Manzhur -rahimahullah- berkata, “Meniatkan sesuatu artinya
memaksudkannya dan meyakininya. Sedang niat adalah arah yang dituju”. [Lihat
dalam Lisan Al-Arab (15/347)]
Imam Ibnu Manzhur -rahimahullah- juga
berkata, “Jadi niat itu merupakan amalan hati yang bisa berguna bagi orang
yang berniat, sekalipun ia tidak mengerjakan amalan itu. Sedang penunaian
amalan tidak berguna baginya tanpa adanya niat. Inilah makna ucapannya:Niat
seseorang lebih baik daripada amalannya”. [Lihat Lisan Al-Arab
(15/349)]
Dari ucapan ulama bahasa ini, bisa kita simpulkan
bahwa niat adalah maksud dan keinginan seseorang untuk melakukan suatu amalan
dan pekerjaan. Jadi niat itu merupakan amalan hati.
w
Hakekat Madzhab Syafi’iyyah dalam Masalah
ini
Banyak orang di
negeri kita, ketika mereka diberitahu bahwa melafazhkan niat saat kalian ingin berwudhu’
atau shalat tak ada sunnah dan contohnya, karena tak pernah dilakukan oleh Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Serta-merta mereka
marah dan beralasan: “Siapa yang mengatakan tidak ada contohnya? Inikan
madzhab Syafi’iy !!”
Alasan ini
tidaklah berdasar, karena ada dua hal berikut ini :
Pertama, Madzhab
tidaklah bisa dikatakan contoh atau dijadikan dalil, sebab dalil menurut para
ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’.
Kedua, madzhab Syafi’iy
justru sebaliknya menyatakan bahwa niat itu tempatnya di hati, tak perlu
dilafazhkan. Betul ada sebegian kecil di antara Syafi’iyyah yang berpendapat
demikian, namun ini bukan pendapat madzhab, dan mayoritas, bahkan minoritas.
Selain itu, pendapat yang ditegaskan oleh sebagian kecil dari pengikut madzhab
Asy-Syafi’iy dalam masalah ini telah disanggah sendiri oleh Imam An-Nawawy, sebagaimana
telah kami sebutkan tadi. Maka kelirulah orang yang menyatakan bahwa “bolehnya
melafazhkan niat” merupakan madzhab Asy-Syafi’iy dan pengikutnya.
Mengeraskan dan
melafazhkan niat bukanlah termasuk sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-, dan tidak wajib menurut empat ulama madzhab baik dalam wudhu’, shalat,
shaum (puasa) maupun ibadah lainnya, bahkan merupakan perkara baru yang
diada-adakan oleh sebagian orang-orang belakangan.
Seorang Ulama
dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyyah, Qodhi Abu Ar-Robi’ Sulaiman bin Umar
Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Mengeraskan niat dan bacaan
di belakang imam bukan termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika lantarannya terjadi
gangguan terhadap orang-orang yang sedang shalat, maka itu haram! Barangsiapa
yang menyatakan bahwa mengeraskan niat termasuk sunnah, maka ia keliru, tidak
halal baginya dan selain dirinya untuk menyatakan sesuatu dalam agama Allah
tanpa ilmu”.
Syaikh Ala’uddin Ibnul Aththar, dari
kalangan madzhab Asy-Syafi’i -rahimahullah-
berkata, “Mengeraskan suara ketika berniat disertai gangguan terhadap
orang-orang yang sedang shalat merupakan perkara haram menurut ijma’. Jika
tidak disertai gangguan, maka ia adalah bid’ah yang jelek. Jika ia maksudkan
riya’ dengannya, maka ia haram dari dua sisi, termasuk dosa besar. Orang yang
mengingkari seseorang yang berpendapat itu sunnah, orangnya benar. Sedangkan orang
yang membenarkannya keliru. Menisbahkan hal itu kepada agama Allah karena ia
yakin itu agama, merupakan kekufuran. Tanpa meyakini itu agama, (maka
penisbahan itu) adalah maksiat. Wajib bagi orang mukmin yang mampu untuk
melarangnya dengan keras, mencegah dan menghalanginya. Perkara ini tidaklah
pernah dinukil dari Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam- , seorang
sahabatnya, dan tidak pula dari kalangan ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan”. [Lihat Majmu’Ar-Rosa’il Al-Kubro (1/254-257)]
Imam Jalaluddin
Abdur Rahman bin Abu Bakr As-Suyuthy -rahimahullah-, seorang ulama
bermadzhab Syafi’iyyah berkata, “Diantara jenis-jenis bid’ah juga adalah
berbisik-bisik ketika berniat shalat. Itu bukanlah termasuk perbuatan Nabis -Shollallahu
'alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka tidaklah pernah mengucapkan niat shalat,
selain takbir.
Allah -Ta’ala- berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh pada diri
Rasulullah ada contoh yang baik bagi kalian”. (QS. Al-Ahzab
: 21)
Asy-Syafi’iy -radhiyallahu
‘anhu- berkata, “Berbisik-bisik ketika berniat shalat, bersuci termasuk bentuk
kejahilan terhadap syari’at, dan kerusakan dalam berpikir”. [Lihat Al-Amr
bil Ittiba’ wa An-Nahyu an Al-Ibtida’ (hal. ......)]
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy -rahimahullah-,
seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah berkata, “Kemudian ia berniat. Berniat
termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan sabda Nabi, [“Sesugguhnya
amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”.], dan
karena ia juga merupakan ibadah murni (mahdhoh). Maka tidak sah tanpa disertai
niat seperti puasa. Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat
dengan hatinya, tanpa lisannya, niscaya cukup. Di antara sahabat kami ada
yang berkata, [“Dia berniat dengan hatinya, dan melafazhkan (niat) dengan lisan”.]
Pendapat ini tak ada nilainya karena niat itu adalah menginginkan sesuatu
dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168-bersama Al-Majmu’)
karya Asy-Syairazy -rahimahullah-]
Imam An-Nawawy -rahimahullah- berkata ketika menukil pendapat orang-orang
bermadzhab Syafi’i yang membantah ucapan Abu Abdillah Az-Zubairy di atas, “Para sahabat kami -yakni orang-orang madzhab Syafi’iyyah-
berkata, [“Orang yang berpendapat demikian telah keliru. Bukanlah maksud Asy-Syafi’i
dengan “mengucapkan” dalam shalat adalah
ini (bukan melafazhkan niat). Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan )
takbir”. ]”. [Lihat Al-Majmu (3/168)]
w
Awal Shalat adalah Takbir, Bukan
Melafazhkan niat.
Takbir merupakan awal gerakan dan perbuatan yang
dilakukan dalam shalat, tapi tentunya didahului adanya niat, maksud dan
keinginan untuk shalat, tanpa melafazhkan niat karena niat merupakan pekerjaan
hati. Kalau niat dilafazhkan, maka tidak lagi disebut “niat”, tapi disebut “an-nuthq”
atau “at-talaffuzh”, artinya “mengucapkan”. Semoga dipahami, ini
penting !!
Banyak sekali
dalil-dalil yang menunjukkan takbir merupakan awal gerakan shalat, tanpa
didahului melafazhkan dan mengeraskan niat. Diantara dalil-dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah
Rodhiyallahu anha berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ
اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَلاَةَ بِالتَكْبِيْرِ
“Rasulullah
-Shollallahu 'alaihi wasallam- membuka shalatnya dengan takbir”.[HR. Muslim
dalam Ash-Shahih (498)]
Hadits ini menunjukkan
bahwa beliau membuka shalatnya dengan melafazhkan takbir, bukan melafazhkan
niat atau sejenisnya yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak paham
agama, seperti melafazhkan ta’awwudz, basmalah atau dzikir yang
berbunyi, “ilaika anta maqshudi waridhaka anta mathlubi” (artinya,
“Tujuanku hanyalah kepada-Mu, dan ridha-Mu yang aku cari”).
Dari sini kita mengetahui dan memastikan bahwa
melafazhkan dan menjaharkan niat tak ada tuntunannya dari Nabi. Maka alangkah
benarnya apa yang ditegaskan oleh Syaikh Ahmad bin Abdul Halim Al-Harroniy
-rahimahullah- ketika beliau
berkata, “Andaikan seorang di antara mereka hidup seumur Nuh -‘alaihis
salam-- untuk memeriksa: apakah Rasulullah atau salah seorang sahabatnya pernah
melakukan hal itu, niscaya ia tak akan mendapatkannya, kecuali ia
terang-terangan dusta. Andaikan dalam hal ini ada kebaikannya, niscaya mereka
akan mendahului dan menunujuki kita”. [Lihat Lihat Mawarid
Al-Aman
(hal. 221)]
Ringkasnya,
melafazhkan dan mengeraskan niat merupakan perkara baru dan bid’ah yang tak ada
dasarnya dalam Islam. Jika seseorang mengamalkannya, dia telah menyelisihi
petunjuk Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam- yang tidak pernah
mengajarkan perkara itu kepada sahabatnya, dan akhir dari pada amalan orang ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih
(2697)]
Al-Imam Abu
Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16),
“Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung di antara kaedah-kaedah Islam.
Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala
perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.
Ibnu Daqiq Al-Ied -rahimahullah-
dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), “Hadits ini
merupakan kaidah yang sangat agung di antara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk “Jawami’
Al-Kalim” (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada
Al-Mushthofa -Shollallahu 'alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas sekali
dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.
Di antara perkara baru dan bid’ah yang tertolak
amalannya adalah melafazhkan niat dan sejenisnya. [Lihat Al-Ibda’ fi
Madhoor Al-Ibtida’ (hal. 256-257) oleh Syaikh Ali Mahfuzh, As-Sunan
Wa Al-Mubtada’at (hal. 45) oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy-Syuqoiry,
Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa Ma La Ashla Lahu (hal. 497-498 &
635), Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh Syaikh Ibnu Baz, Tashhih
Ad-Du’a (hal. 317-318) oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan As-Sunan
Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal. 32-36) oleh Amer Abdul Mun’im Salim -rahimahumullah-]
Abu Ubaidah Mashyhur bin Hasan Salman -hafizhohullah-
berkata dalam Al-Qoul Mubin (hal. 95), “Kita bisa menyimpulkan
dari pembahasan terdahulu bahwa nash-nash ucapan para ulama dari berbagai
tempat dan zaman menetapkan bahwa menjaharkan niat merupakan bid’ah, dan barangsiapa
yang menyatakan sunnah, maka ia sungguh telah berbuat keliru atas nama Imam
Asy-Syafi’iy”. [Lihat Al-Ifshoh (1/56), Al-Inshof
(1/142), Fath Al-Qodir (1/186), Majmu’
Al-Fatawa (22/223), dan Maqoshid Al-Muakallafin fi Ma Yuta’abbad
bihi Robbul Alamin (hal. 132 dan seterusnya)]
Terakhir, melafazhkan niat
bukanlah madzhab Imam Asy-Syafi’i dan kebanyakan para pengikutnya. Bahkan Imam
Az-Zairazy dan An-Nawawy sendiri yang terhitung orang terkemuka dalam madzhab
Syafi’iyyah mengingkari pendapat bolehnya melafazhkan niat sekalipun pendapat
itu datangnya dari orang bermadzhab Syafi’i. Demikianlah sewajarnya yang
diikuti oleh kaum muslimin. Jika ia menemukan suatu pendapat yang tak
berdasarkan Sunnah, dan telah sampai padanya kebenaran, ia berhak menyatakan
pendapatnya keliru sekalipun berlawanan dengan madzhab dan hawa nafsunya. [Lihat Tashhih
Ad-Du’a (hal. 318) oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan