Nukilan-nukilan Atsar dari
Para Salaf Sholih
tentang Kebahagiaan dan Gelora
Kerinduan Mereka
kepada Bulan Romadhon
kepada Bulan Romadhon
oleh : Ustadz Abdul Qodir
Abu Fa'izah -hafizhahullah-
Kerinduan
kepada Bulan Romadhon di sisi para salaf (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
para sahabat, tabi'in dan pengikut setia mereka), bagaikan api yang membara,
tak akan padam oleh badai sekencang apapun.
Diantara
mereka, ada yang menangis saat mengenang Bulan Romadhon yang baru saja berlalu.
Mereka menangis disebabkan karena khawatir apa yang mereka kerjakan di Bulan
Romadhon yang baru saja berlalu, tidak diterima di sisi Allah -Azza wa
Jalla-. Mereka juga khawatir jangan sampai ajal menjemput sebelum ia
berjumpa dengan Bulan Romadhon.
Jauh
hari sebelum datangnya Bulan Romadhon, mereka senantiasa berdoa kepada Allah -Tabaroka
wa Ta'ala- agar dipertemukan lagi dengan Bulan Romadhon.
Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah- berkata,
قَالَ
بَعْضُ السَّلَفُ : كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ
شَهْرَ رَمَضَانَ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
"Sebagian salaf berkata,
"Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka
disampaikan kepada Bulan Romadhon. Kemudian mereka juga berdoa selama 6 bulan
agar Allah menerima (amal-amal sholih di bulan suci itu) dari mereka." [Lihat Latho'if Al-Ma'arif (hal. 232)]
Penghulu
orang-orang bertaqwa (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) pernah
memberi kabar gembira kepada para sahabat -radhiyallahu anhum-.
Kegembiraan ini beliau sampaikan kepada mereka, sebab mereka kedatangan tamu
istimewa 'Bulan Berkah'. Itulah Romadhon, momen dalam meninggikan
derajat taqwa, memperbanyak bekal amal sholih, dan kesempatan bersimpuh di
hadapan Allah, Sang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
q Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ: "
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ
صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ
الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ "
"Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam- bersabda demi memberi kabar gembira kepada para sahabatnya,
"Telah
datang kepada kalian Romadhon, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas
kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim
(neraka) ditutup padanya. Setan-setan dibelenggu padanya. Di dalamnya terdapat
sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari
kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi." [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai
shohih oleh Al-Arna'uth dalam Takhrijul Musnad (8991)
sebagai hadits yang shohih]
Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah-
berkata saat memetik faedah indah dari hadits ini,
قال
بعضُ العلماءِ : هذا الحديثُ أَصْلٌ فِيْ تَهْنِئَةِ الناس بعضهم بعضا بشهر رمضان
كيف لا يبشر المؤمن بفتح أبواب الجنان كيف لا يبشر المذنب بغلق أبواب النيران كيف
لا يبشر العاقل بوقت يغل فيه الشياطين من أين يشبه هذا الزمان زمان.
"Sebagian ulama berkata,
'Hadits ini adalah dasar (dalil) tentang (bolehnya) ucapan selamat sebagian
mereka kepada yang lain dengan (kedatangan) Bulan Romadhon. Bagaimana mungkin
seorang mukmin tidak diberi kabar gembira tentang terbukanya pintu-pintu
surga?! Bagaimana mungkin seorang yang berdosa tidak diberi kabar gembira
tentang tertutupnya pintu-pintu neraka?! Bagaimana mungkin seorang yang berakal
tidak diberi kabar gembira tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan
dibelenggu. Dari (sisi) manakah ada suatu waktu menyamai waktu (Romadhon) ini?!
[Lihat Latho'if Al-Ma'arif
(hlm. 148)
Kebahagiaan
menyambut Romadhon, terpancar dari wajah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- saat beliau melihat hilal (bulan sabit). Di saat itu, beliau
memanjatkan doa kepada Allah -Azza wa Jalla- agar dibukakan pintu-pintu
rahmat-Nya berupa keberkahan, keimanan, keselamatan dan keislaman.
q Tholhah bin Ubaidillah -radhiyallahu anhu- berkata dalam menuturkan hal
itu,
"Jika
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melihat hilal (bulan sabit), beliau
berdoa,
اللهُمَّ
أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ وَالْإِسْلامِ،
رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ
"Ya Allah tampakkanlah hilal
(bulan sabit) kepada kami dengan membawa berkah, keimanan, keselamatan dan
Islam. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3451).
Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah
(1816)]
Para
salaf amat menyadari dari lubuk hati mereka yang paling dalam bahwa Romadhon
adalah bulan yang Allah siapkan bagi mereka untuk berbenah diri, menata hidup
dan memperbaiki sesuatu yang luput di hari-hari yang telah berlalu dari
perjalanan hidup mereka.
Mereka
amat khawatir terkena sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang
menjelaskan alangkah celakanya seorang yang ditaqdirkan berjumpa dengan
ROMADHON, namun ia sendiri tidak memetik manfaat dan faedah darinya, disebabkan
kelalaian jiwanya dari menghidupkan Romadhon dengan amal-amal sholih, atau
bahkan mengisi Romadhon dengan dosa-dosa dan maksiat yang menodai kesucian
Bulan Romadhon. Na'udzu billahi min dzalik…
وَرَغِمَ
أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ
لَهُ
"Alangkah hinanya seseorang
yang Bulan Romadhon masuk padanya, lalu Romadhon itu pergi sebelum ia (orang
itu) diberi ampunan." [HR. At-Tirmidziy
dalam Sunan-nya (3545). Syaikh Al-Albaniy menilai hadits ini
"shohih" dalam Shohih Al-Jami' (no. 3510)]
Kekhawatiran
akan luputnya kebaikan dan keberkahan di Bulan Romadhon melanda lubuk hati para
salaf, menyebabkan mereka berdoa selama enam bulan sebelum Romadhon.
Ketika
Romadhon masuk, mereka tetap berdoa agar diberi kebaikan pada bulan itu.
Karena, mereka telah menyaksikan banyaknya manusia yang lalai dari memetik buah
demi buah manis berupa pahala-pahala melimpah dari amal-amal sholih pada bulan
itu.
q Kita Lihat Makhul Asy-Syamiy -rahimahullah-,
ia berdoa bila Romadhon telah masuk,
اللَّهُمَّ
سَلِّمْنِيْ لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً
"Ya Allah, sampaikanlah aku ke
Bulan Romadhon dan cerahkanlah Romadhon untukku, dan terimalah amalan Romadhon
itu dariku dengan sepenuhnya." [HR.
Ath-Thobroniy dalam Ad-Du'a' (913) dengan sanad yang hasan
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Dr . Muhammad Sa'id Al-Bukhoriy dalam tahqiq-nya
terhadap Kitabud Du'a' (hlm. 1227), cet. Darul Basya'ir Al-Islamiyyah,
1407 H]
Seorang
pembesar tabi'ut tabi'in, Abdul Aziz bin Abir Rowwad Al-Azdiy Al-Makkiy (wafat
159 H) -rahimahullah- berkata,
كان
المسلمون يدعون عند حضرة شهر رمضان:
اللَّهُمَّ
أَظَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ وَحَضَرَ، فَسَلِّمْهُ لِي وَسَلِّمْنِي فِيهِ
وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي،
اللَّهُمَّ
ارْزُقْنِي صِيَامَهُ وَقِيَامَهُ صَبْرًا واحتِسَابًا،
وَارْزُقْنِي
فِيهِ الْجدّ والاجتِهَادَ وَالْقُوَّةَ وَالنَّشَاطَ،
وَأَعِذْنِي
فِيهِ مِنَ السآمَةِ وَالفَتْرة وَالْكِسَلِ وَالنُّعَاسِ،
وَوَفِّقْنِي
فيهِ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَاجْعَلْهَا خَيْرًا لِي مِنْ أَلْفِ شَهْرِ
"Dahulu kaum muslimin berdoa di
saat Bulan Romadhon tiba,
'Ya
Allah, Romadhon telah menghadap dan hadir. Karenanya, cerahkanlah Romadhon
untukku, dan sampaikanlah aku kepadanya, dan selamatkanlah aku (dari segala
penghalang darinya) di Bulan Romadhon, serta terimalah amal-amal Romadhon
dariku.
Ya
Allah, anugerahilah aku berpuasa padanya, dan sholat malam padanya, karena
sabar dan mencari pahala. Anugerahilah aku padanya kegigihan, kesungguhan,
kekuatan, dan semangat.
Lindungilah
aku padanya dari rasa bosan, lemah semangat, malas, dan mengantuk.
Berilah
aku taufik pada bulan itu untuk mendapatkan Lailatul Qodar, dan jadikanlah
malam itu lebih baik bagiku dibandingkan 1000 bulan."
[HR.
Ath-Thobroniy dalam Ad-Du'a' (no. 914), Abul Qosim Al-Ashbahaniy
dalam At-Targhib wa At-Tarhib (no. 1784), dan Abdul Ghoni
Al-Maqdisiy dalam Akhbar Ash-Sholah (no. 129), dengan sanad yang
hasan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Dr . Muhammad Sa'id Al-Bukhoriy
dalam tahqiq-nya terhadap Kitabud Du'a' (hlm. 1227), cet.
Darul Basya'ir Al-Islamiyyah, 1407 H]
Dari Abu Amer Al-Auza'iy -rahimahullah- berkata
dalam menceritakan bagaimana kegembiraan gurunya menyambut Bulan Romadhon,
كَانَ
يَحْيَى بْنُ أَبِيْ كَثِيْرٍ يَدْعُوْ حَضْرَةَ شَهْرِ رَمَضَانَ :
اَللَّهُمَّ
سَلِّمْنِيْ لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ لِيْ رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً
"Dahulu Yahya bin Abi Katsir
berdoa saat Bulan Romadhon tiba,
"Ya
Allah, sampaikanlah aku kepada Bulan Romadhon, dan cerahkanlah Bulan Romadhon
untukku, serta terimalah amal-amal Romadhon dariku." [Atsar Riwayat Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (3/69)]
Kegembiraan
dan kebahagiaan menyambut Romadhon menggelora di hati para salaf "Generasi
Terbaik Umat ini", sampai dahulu mereka amat mendambakan kehadiran Bulan
Romadhon dalam lembaran-lembaran hidup mereka, agar menjadi catatan dan memori
abadi yang akan menjadi saksi bagi mereka di Hari Hisab.
q Ma'laa bin Al-Fadhl Al-Azdiy Al-Bashriy -rahimahullah-
berkata,
((كانوا يدعون
الله -عز وجل- ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان ويدعون الله ستة أشهر أن يتقبل
منهم)).
"Dahulu mereka berdoa kepada
Allah -Azza wa Jalla- selama 6 bulan agar mereka disampaikan (dipertemukan)
dengan Bulan Romadhon, dan mereka berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla- selama 6
bulan agar Allah menerima (amal-amal sholih) dari mereka." [Atsar Riwayat
Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam At-Targhib wa At-Targhib (no. 1761)[1]
Cobalah
kalian bayangkan tentang perasaan mereka yang berbahagia di Bulan Romadhon.
Sebulan terasa sehari di sisi mereka. Coba renungkan tentang kesedihan para
salaf; pertemuan singkat lagi berbunga-bunga itu membawa kesan kenangan
tersendiri.
Seorang
pria berpisah dengan istri yang selama ini ia cintai. Sang istri bersafar ke
suatu negeri yang jauh. Jadilah hari-harinya hampa tanpa canda ria dari seorang
kekasih yang selama ini ia amat cintai. Hatinya amat gundah saat terbetik dalam
benaknya, "Akankah si kekasih kembali ke pangkuannya, ataukah ia akan
pergi selamanya, dan tidak lagi akan ada pertemuan setelah itu?"
Begitulah
perumpamaan seorang hamba yang mencintai dan merindukan Bulan Romadhon.Tak
heran bila mereka amat bersedih ketika berpisah dengan kekasih mereka yang
bernama 'Romadhon'. [Lihat Bughyah Al-Insan fi Wazho'if (hal.
91), karya Ibnu Rajab, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1405 H]
Seorang
yang mencintai Romadhon akan menjaga pesan-pesan yang dititipkan kepadanya.
Romadhon telah menitipkan sebuah pesan kepada para pencintanya agar selalu
menjaga dua :
a.
menghiasi
diri dengan ketaatan.
b.
membersihkan
diri dari kotoran-kotoran maksiat.
Seorang
yang mencintai Romadhon akan berusaha memelihara dua pesan ini pada dirinya. Ia
akan menghiasi dirinya dengan berbagai ketaatan dan kebaikan yang menjadi
perhiasan indah bagi dirinya dalam menyambut sang kekasih yang bernama
"Romadhon", sebagaimana halnya ia akan membersihkan dirinya dari
berbagai noda dan kotoran maksiat-maksiat dibenci oleh sang kekasih 'Romadhon'.
Itulah
hakikat PUASA, seorang hamba "berpuasa" (menahan diri) dari syahwat
duniawi yang haram, karena ia berharap akan adanya hari bahagia di negeri
akhirat.
Sebagian
salaf pernah berkata,
صُمِ
الدُّنْيَا وَاجْعَلْ فِطْرَكَ الْمَوْتَ، الدُّنْيَا كُلُّهَا شَهْرُ صِيَامُ الْمُتَّقِيْنَ،
يَصُوْمُوْنَ فِيْهِ عَنِ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ، فَإِذَا جَاءَهُمُ الْمَوْتُ،
فَقَدِ انْقَضَى شَهْرُ صِيَامِهِمْ وَاسْتَهَلُّوْا عِيْد فطرهم.
"Berpuasalah (tahan dirilah)
dari dunia dan jadikanlah berbukamu (kebahagiaanmu) dengan kematian. Dunia
seluruhnya adalah bulan berpuasa bagi orang-orang bertaqwa; mereka berpuasa
(menahan diri) padanya dari syahwat-syahwat yang diharamkan. Jika kematian
telah datang kepada mereka, maka sungguh bulan puasa mereka telah selesai dan mereka
berseri-seri pada hari berbuka (yakni, hari raya) mereka." [Latho'if Al-Ma'rif (hal. 147)]
Menahan
diri dari sesuatu yang ia senangi berupa perkara-perkara yang haram adalah
sesuatu yang pahit rasanya, namun ia akan berbuah manis; buah yang akan
terpetik di negeri akhirat.
Seorang
yang memperturutkan hawa nafsunya dalam melakukan perkara-perkara maksiat,
walaupun manis rasanya bagi si pelaku, namun hakikatnya pahit. Sebab, ia akan
memetik buahnya yang pahit di Hari Perhitungan!!
Thowus
bin Kaisan Al-Yamaniy -rahimahullah- berkata,
حُلْوُ
الدُّنْيَا مُرُّ الْآخِرَةِ، وَمُرُّ الدُّنْيَا حُلْوُ الْآخِرَةِ
"Manisnya dunia adalah pahitnya
akhirat, sedang pahitnya dunia adalah manisnya akhirat." [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (35337)
dan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (4/12) dengan sanad yang
shohih][2]
Di
Bulan Romadhon, seorang hamba hendaknya berusaha mendidik dan melatih jiwanya
meninggalkan sesuatu yang disenanginya berupa perkara-perkara yang tidak
membuahkan pahala di negeri abadi. Jika mudah baginya meninggalkan perkara-perkara
itu, maka Allah -Tabaroka wa Ta'ala- akan berikan taufik baginya untuk
meninggalkan perkara-perkara yang haram!
Ketahuilah,
siapa yang meninggalkan maksiat dan perkara yang melalaikan dari negeri
akhirat, maka Allah akan berikan kepadanya sebuah anugerah yang amat berharga
di kampung akhirat.
Seorang
sahabat yang mulia, Abul Mundzir Ubay bin Ka'ab Al-Khozrojiy -radhiyallahu
anhu- berkata,
مَا
مِنْ عَبْدٍ تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ أَبْدَلَهُ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ
خَيْرٌ مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
"Tidak ada seorang pun yang
meninggalkan sesuatu karena Allah -Azza wa Jalla-, kecuali Allah akan gantikan
baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari hal itu, dari arah yang tiada ia
sangka-sangka." [Atsar shohih riwayat Ibnul Mubarok
dalam Az-Zuhd (no. 36), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah
(1/253), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (7/344), serta
yang lainnya]
Jadi,
siapa yang meninggalkan syahwatnya yang haram, maka ia akan diberi sesuatu yang
lebih baik dibandingkan sesuatu yang tinggalkan.
Terakhir,
kita memohon kepada Allah agar kita dipertemukan dengan Bulan Romadhon, dan
memberikan taufik bagi kita agar menjadikannya sebagai bulan amal demi mencari
keridhoan Allah -Tabaroka wa Ta'ala- , serta menerima segala amal ketaatan yang
kita kerjakan di dalamnya.
……………………………………….
Selesai,
Sabtu, 08 Sya'ban 1437 H – 14 Mei 2016 M, Markaz Dakwah, Jalan
Baji Rupa, Makassar, Sulawesi Selatan ,
Indonesia .
[1] Kisah
ini juga dinukilkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah- dalam
Latho'if Al-Ma'arif (hlm. 148), cet. Dar Ibni Hazm, 1424 H.
[2] Adapun
hadits yang marfu' yang semakna dengan hadits di atas, maka ia adalah hadits
yang lemah, karena adanya inqitho' pada sanadnya. Dahulu Syaikh Al-Albaniy
menilai hadits tersebut adalah shohih di dalam Ash-Shohihah (1817). Namun
belakangan beliau rujuk dari penilaian itu, sebagaimana yang beliau jelaskan di
bawah nomor hadits (5606) dari kitabnya Adh-Dho'ifah
(13/235-239). [Lihat Mukhtashor Taroju'at Al-Allamah Al-Albaniy
(no. 69) oleh Muhammad bu Umar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan