Jumat, 20 Mei 2016

Batas Menstruasi (Haidh) dan Istihadhoh, serta Tata Cara Ibadah bagi Wanita yang Mengalami Dua Hal itu.

Batas Menstruasi (Haidh) dan Istihadhoh, serta Tata Cara Ibadah bagi Wanita yang Mengalami Dua Hal itu

Tanya :

Assalaamualaikum wrwb.
Ust/ustz, berapa lamakah menstruasi yang normal itu?
Jika menstruasinya lebih dari 2 minggu, bagaimana caranya mau melaksanakan shalat, puasa, haji /umroh atau ibadah lainnya? Trims jawabannya ust/ustz

Jawab Ustadz :

Wa alaikumus salam wa rohmatullohi wa barokatuh.
Alhamdulillah wash sholatu was salamu ala nabiyyina wa ala alihi wa shohbihi ajma'in.


1/ Menstruasi yang normal biasanya berkisar antara 3 sampai 15 hari. Walaupun sebagian ulama memandang bahwa tidak ada batas maksimal atau minimal bagi seorang wanita, karena antara satu wanita dengan wanita lain memiliki perbedaan dalam hal itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy -rahimahullah- berkata,
والعلماء منهم من يحدُّ أكثرَه وأقلَّه ، ثمَّ يختلفون في التحديد ، ومنهم من يحد أكثره دون أقله  والقول الثالث أصح : أنَّه لا حدَّ لا لأقله ولا لأكثره
"Di antara ulama ada yang membatasi maksimal dan minimalnya, lalu mereka berbeda pendapat dalam batasan tersebut. Di antara mereka ada yang membatasi maksimalnya saja, tidak minimalnya. Pendapat ketiga yang lebih benar, yaitu tidak ada batasan, minimal dan maksimalnya." [Majmu' Al-Fatawa (19/237)]

Jadi, antara satu wanita dengan wanita lainnya dalam batas maksimal dan batas minimal haidh yang ia alami adalah berbeda-beda. Bahkan terkadang seorang wanita itu sendiri terjadi perubahan dalam siklus haidhnya.

2/ Hanya saja bila seorang wanita merasakan perubahan di luar dari kebiasaannya, disini ia perlu mengetahui adanya dua darah yang berbeda : darah haidh dan darah istihadhoh.

Darah haidh adalah darah normal yang rutin keluar setiap bulannya dialami oleh wanita ketika dalam usia produktif. Haidh merupakan proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, dan sel-sel yang tidak terpakai, karena tidak ada pembuahan.

Sementara darah istihadhoh adalah darah penyakit yang keluar dari rahim wanita di laur waktu haidh dan nifas. Pada sebagian wanita, jika ia yang tertimpa penyakit ini, maka darahnya akan mengalir terus.

Hanya saja jika datang waktu haidhnya, maka darahnya mengalami perubahan sifat. Nah, disinilah pentingnya seorang wanita mengenal perbedaan antara darah istihadhoh dengan darah haidh.
Berikut ini perbedaan dua darah tersebut:

a.     dari sisi warna:
Darah haid itu hitam, sedangkan darah istihadhoh merah.
b.    dari sisi kekentalan:
Darah haid kental, sedangkan darah istihadhoh encer.
c.      dari sisi bau:
Darah haid berbau busuk, sedangkan darah istihadhoh tidak berbau busuk, sebab dia darah biasa yang keluar karena suatu penyakit di rahim.
d.    dari sisi kebekuan :
Darah haid tidak membeku saat keluar, sedangkan istihadhah membeku karena dia darah biasa.

Jika ditinjau dari sisi hukum syar'iy, maka haidh menghalangi seseorang dari shalat, thowaf di Ka'bah, berpuasa, berhubungan dengan suami. Sedangkan istihadhoh tidak menghalangi orang dari hal-hal itu. Akan tetapi cukup baginya menjaga agar darahnya tidak berceceran, lalu berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darah tersebut terus keluar hingga shalat berikutnya.

3/ Sisi lain yang perlu anda pahami haidh pada wanita bahwa seorang wanita dapat mengetahui kesucian dan bersihnya ia dari haid dengan salah satu dari dua perkara :
- Keluarnya cairan putih dari rahim, yaitu sebagai tanda suci.
- Kering sempurna, jika tidak ada cairan putih. Ketika itu dia dapat mengetahui bahwa dirinya telah suci. Misalnya, bila dia tempelkan kapas putih ke tempat keluarnya darah dan ternyata kapas tersebut tetap bersih, maka ketika itu dia telah dianggap bersih dan lepas dari masa haidhnya, dan hendaknya dia segera mandi, lalu shalat.

Namun jika kapas itu masih merah, kuning atau coklat, maka jangan shalat, sebab ia masih teranggap haidh.

Pada masa lalu, kaum wanita mengirim wadah yang di dalamnya terdapat kapas kepada Ummul Mukminin A'isyah -radhiyallahu anha-. Pada kapas itu masih terdapat warna kekuningan, maka A'isyah -radhiyallahu anha- berkata,
لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ
"Jangan tergesa-gesa (untuk menganggap telah suci), sebelum kalian mendapatkan cairan putih," A'isyah memaksudkan dengan hal itu kesucian dari haidh." [HR. Bukhariy (no. 319)]

Adapun jika cairan kekuningan dan keruh tersebut keluar pada masa-masa suci seorang wanita, maka dia tidak perlu menganggap apa-apa, yakni seorang wanita tidak boleh meninggalkan shalatnya dan tidak harus mandi, karena hal tersebut tidak mewajibkan mandi dan tidak dianggap junub. Itu merupakan darah istihadhoh.

Dari Ummu Athiyah -radhiyallahu anha-, dia berkata,
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا.
"Kami dahulu tidak menganggap apa-apa (bukan haid) cairan kekungingan dan keruh yang keluar setelah masa suci." [HR..  Bukhariy (no. 326), Abu Dawud (307), An-Nasa'iy (368), dan Ibnu Majah (648), sedang ini adalah lafazh Abu Dawud]

Adapun jika hal tersebut bersambung dengan masa haid, maka dia dianggap haid.

Jika seorang wanita telah yakin bahwa dirinya telah suci, kemudian keluar darah lagi, maka dia dianggap haid, selama tidak terjadi pada seluruh bulan.

4/ Jika seorang wanita telah suci dari haidhnya, lalu setelah beberapa keluar lagi darinya darah yang memiliki sifat-sifat darah haidh tersebut di atas, maka darah itu dianggap darah haidh. Sebab, batas maksimal dan minimal bagi kesucian wanita juga tidak memiliki batasan paten. Wallahu A'lam bish showab.

5/ Jika seorang wanita melaksanakan umroh, lalu tiba-tiba ia terserang haidh, maka para ulama kita memberikan rincian:
a.     Jika ia sudah berihrom, maka hendaknya ia berhenti dan tidak melakukan thowaf dan sa'i, sampai ia suci dari haidhnya.
b.    Adapun jika ia belum berihrom, maka ia dihadapkan dengan dua pilihan : (1) jika ia mau berihrom, maka silakan berihrom. Tapi ia bersabar menunggu sampai suci. Bila ia suci, maka silakan mulai thowaf dan sa'i-nya. (2) Jika ia tidak mau berihrom, maka silakan masuk ke kota Makkah dan ia tidak harus berumroh. Jika ia mau berumroh, maka hendaknya ia berumroh dari miqot. Apabila berat baginya berumroh dari miqot, karena suatu udzur yang menghalanginya, maka ia berihrom untuk umroh dari luar Makkah (yakni, dari Tan'im, Ji'ronah dan lainnya), sebagaimana yang dialami dan dilakukan A'isyah saat berhaji, setelah haidhnya berhenti. Tapi ini khusus bagi wanita haidh. Adapun bagi mereka yang melakukan umroh berkali-kali dari Tan'im dan lainnya, maka mereka ini menyelisihi sunnah. Sebab umroh yang dilakukan oleh A'isyah khusus bagi wanita haidh. Wallohu A'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya yang sopan