Batas Menstruasi (Haidh) dan Istihadhoh, serta Tata Cara Ibadah bagi Wanita yang Mengalami Dua Hal itu
Tanya :
Assalaamualaikum wrwb.
Ust/ustz, berapa lamakah menstruasi yang normal itu?
Jika menstruasinya lebih dari 2 minggu, bagaimana caranya
mau melaksanakan shalat, puasa, haji /umroh atau ibadah lainnya? Trims
jawabannya ust/ustz
Jawab Ustadz :
Wa alaikumus salam wa rohmatullohi
wa barokatuh.
Alhamdulillah wash sholatu was salamu ala nabiyyina wa
ala alihi wa shohbihi ajma'in.
1/ Menstruasi yang normal biasanya berkisar antara 3
sampai 15 hari. Walaupun sebagian ulama memandang bahwa tidak ada batas
maksimal atau minimal bagi seorang wanita, karena antara satu wanita dengan
wanita lain memiliki perbedaan dalam hal itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy -rahimahullah-
berkata,
والعلماء منهم من يحدُّ أكثرَه وأقلَّه ، ثمَّ يختلفون في
التحديد ، ومنهم من يحد أكثره دون أقله والقول الثالث أصح : أنَّه لا حدَّ
لا لأقله ولا لأكثره
"Di antara
ulama ada yang membatasi maksimal dan minimalnya, lalu mereka berbeda pendapat
dalam batasan tersebut. Di antara mereka ada yang membatasi maksimalnya saja,
tidak minimalnya. Pendapat ketiga yang lebih benar, yaitu tidak ada batasan,
minimal dan maksimalnya." [Majmu'
Al-Fatawa (19/237)]
Jadi, antara satu wanita dengan wanita lainnya dalam
batas maksimal dan batas minimal haidh yang ia alami adalah berbeda-beda.
Bahkan terkadang seorang wanita itu sendiri terjadi perubahan dalam siklus
haidhnya.
2/ Hanya saja bila seorang wanita merasakan perubahan di
luar dari kebiasaannya, disini ia perlu mengetahui adanya dua darah yang
berbeda : darah haidh dan darah istihadhoh.
Darah haidh adalah darah normal yang rutin keluar setiap
bulannya dialami oleh wanita ketika dalam usia produktif. Haidh merupakan
proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, dan
sel-sel yang tidak terpakai, karena tidak ada pembuahan.
Sementara darah istihadhoh adalah darah penyakit
yang keluar dari rahim wanita di laur waktu haidh dan nifas. Pada sebagian
wanita, jika ia yang tertimpa penyakit ini, maka darahnya akan mengalir terus.
Hanya saja jika datang waktu haidhnya, maka darahnya
mengalami perubahan sifat. Nah, disinilah pentingnya seorang wanita mengenal
perbedaan antara darah istihadhoh dengan darah haidh.
Berikut ini perbedaan dua darah tersebut:
a.
dari
sisi warna:
Darah haid itu hitam, sedangkan darah istihadhoh merah.
b.
dari
sisi kekentalan:
Darah haid kental, sedangkan darah istihadhoh encer.
c.
dari
sisi bau:
Darah haid berbau busuk, sedangkan darah istihadhoh tidak
berbau busuk, sebab dia darah biasa yang keluar karena suatu penyakit di rahim.
d.
dari
sisi kebekuan :
Darah haid tidak membeku saat keluar, sedangkan
istihadhah membeku karena dia darah biasa.
Jika ditinjau dari sisi hukum syar'iy, maka haidh
menghalangi seseorang dari shalat, thowaf di Ka'bah, berpuasa, berhubungan
dengan suami. Sedangkan istihadhoh tidak menghalangi orang dari hal-hal itu.
Akan tetapi cukup baginya menjaga agar darahnya tidak berceceran, lalu berwudhu
setiap kali masuk waktu shalat jika darah tersebut terus keluar hingga shalat
berikutnya.
3/ Sisi lain yang perlu anda pahami haidh pada wanita
bahwa seorang wanita dapat mengetahui kesucian dan bersihnya ia dari haid dengan
salah satu dari dua perkara :
- Keluarnya cairan putih dari rahim, yaitu sebagai tanda
suci.
- Kering sempurna, jika tidak ada cairan putih. Ketika
itu dia dapat mengetahui bahwa dirinya telah suci. Misalnya, bila dia tempelkan
kapas putih ke tempat keluarnya darah dan ternyata kapas tersebut tetap bersih,
maka ketika itu dia telah dianggap bersih dan lepas dari masa haidhnya, dan
hendaknya dia segera mandi, lalu shalat.
Namun jika kapas itu masih merah, kuning atau coklat, maka
jangan shalat, sebab ia masih teranggap haidh.
Pada masa lalu, kaum wanita mengirim wadah yang di
dalamnya terdapat kapas kepada Ummul Mukminin A'isyah -radhiyallahu anha-.
Pada kapas itu masih terdapat warna kekuningan, maka A'isyah -radhiyallahu
anha- berkata,
لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ
الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ
"Jangan
tergesa-gesa (untuk menganggap telah suci), sebelum kalian mendapatkan cairan
putih," A'isyah memaksudkan dengan hal itu kesucian dari haidh." [HR. Bukhariy (no. 319)]
Adapun jika cairan kekuningan dan keruh tersebut keluar
pada masa-masa suci seorang wanita, maka dia tidak perlu menganggap apa-apa, yakni
seorang wanita tidak boleh meninggalkan shalatnya dan tidak harus mandi, karena
hal tersebut tidak mewajibkan mandi dan tidak dianggap junub. Itu merupakan
darah istihadhoh.
Dari Ummu Athiyah -radhiyallahu anha-, dia
berkata,
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ
وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا.
"Kami
dahulu tidak menganggap apa-apa (bukan haid) cairan kekungingan dan keruh yang
keluar setelah masa suci." [HR..
Bukhariy (no. 326), Abu Dawud (307), An-Nasa'iy (368), dan Ibnu Majah (648),
sedang ini adalah lafazh Abu Dawud]
Adapun jika hal tersebut bersambung dengan masa haid,
maka dia dianggap haid.
Jika seorang wanita telah yakin bahwa dirinya telah suci,
kemudian keluar darah lagi, maka dia dianggap haid, selama tidak terjadi pada
seluruh bulan.
4/ Jika seorang wanita telah suci dari haidhnya, lalu
setelah beberapa keluar lagi darinya darah yang memiliki sifat-sifat darah
haidh tersebut di atas, maka darah itu dianggap darah haidh. Sebab, batas
maksimal dan minimal bagi kesucian wanita juga tidak memiliki batasan paten. Wallahu
A'lam bish showab.
5/ Jika seorang wanita melaksanakan umroh, lalu tiba-tiba
ia terserang haidh, maka para ulama kita memberikan rincian:
a.
Jika
ia sudah berihrom, maka hendaknya ia berhenti dan tidak melakukan thowaf dan
sa'i, sampai ia suci dari haidhnya.
b. Adapun jika ia belum berihrom, maka ia dihadapkan dengan
dua pilihan : (1) jika ia mau
berihrom, maka silakan berihrom. Tapi ia bersabar menunggu sampai suci. Bila ia
suci, maka silakan mulai thowaf dan sa'i-nya. (2)
Jika ia tidak mau berihrom, maka silakan masuk ke kota Makkah dan ia tidak harus berumroh. Jika
ia mau berumroh, maka hendaknya ia berumroh dari miqot. Apabila berat baginya
berumroh dari miqot, karena suatu udzur yang menghalanginya, maka ia berihrom
untuk umroh dari luar Makkah (yakni, dari Tan'im, Ji'ronah dan lainnya), sebagaimana
yang dialami dan dilakukan A'isyah saat berhaji, setelah haidhnya berhenti. Tapi
ini khusus bagi wanita haidh. Adapun bagi mereka yang melakukan umroh
berkali-kali dari Tan'im dan lainnya, maka mereka ini menyelisihi sunnah. Sebab
umroh yang dilakukan oleh A'isyah khusus bagi wanita haidh. Wallohu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan