Hanya Satu Kartu
(Sebab Hamba Selamat dari Neraka)
oleh : Ibnu Zain Al-Khoirid
Hari kiamat adalah hari yang amat mencengangkan, menakutkan, dan penuh
kesusahan. Oleh karena itu, setiap hamba ketika berada pada hari itu dipadang
mahsyar, mereka berdiri penuh kecemasan, sambil menunggu keputusan Sang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا
مُوقِنُونَ
“Dan (alangkah
ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu
menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan
kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia),
kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.(QS.As-Sajdah: 12)
Di tengah kerisauan, dan kecemasan seluruh makhluk, Allah -Subhanahu wa
Ta'ala- menyelamatkan seorang lelaki muslim. Apa sebabnya? Karena ia
bertauhid, mengesakan Allah dalam semua ibadahnya.
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى
رُءُوسِ الخَلاَئِقِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ البَصَرِ ،
ثُمَّ يَقُولُ : أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا ؟
أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الحَافِظُونَ ؟ فَيَقُولُ : لاَ يَا رَبِّ ، فَيَقُولُ : أَفَلَكَ
عُذْرٌ ؟
فَيَقُولُ : لاَ يَا رَبِّ ،
فَيَقُولُ : بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً ،
فَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ اليَوْمَ ،
فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ،
فَيَقُولُ : احْضُرْ وَزْنَكَ ،
فَيَقُولُ : يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ البِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ
السِّجِلاَّتِ ،
فَقَالَ : إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ ،
قَالَ : فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِي كَفَّةٍ وَالبِطَاقَةُ
فِي كَفَّةٍ ، فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ البِطَاقَةُ ، فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ
اسْمِ اللهِ شَيْءٌ.
“Sesunggunya
Allah akan menyelamatkan seorang lelaki
dari umatku di hadapan para makhluk pada hari kiamat. Maka dihamparkan di depannya
99 gulungan (dosa), setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian
Allah berfirman (kepadanya), “Apakah kamu mengingkari sesuatu dari ini (yaitu
catatan dosa yang terhampar di depannya), apakah para penulis-Ku yang mengawasi
kamu menzholimimu?” Maka ia menjawab, “tidak wahai Rabbku”, maka Allah
berfirman, “Bahkan engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami, sesungguhnya
tidak ada kezholiman pada hari ini atasmu”, maka dikeluarkan satu bithoqoh
(kartu) tertulis di dalamnya:
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Maka Allah berfirman, “Saksikanlah
timbanganmu”, maka ia berkata, “wahai Rabbku apakah (nilainya) bithoqoh ini
dibanding dengan gulungan-gulungan tersebut”. Maka Allah berfirman,
“Sesungguhnya engkau tidak akan dizholimi”. Maka diletakkan gulungan-gulungan
tersebut pada satu daun timbangan dan bithoqoh (diletakkan) pada anak timbangan
(lainnya). Maka terangkatlah gulungan-gulungan itu dan bithoqoh tersebut lebih berat”.[HR. Imam Ahmad
dalam Al-Musnad (6994), At-Tirmidziy dalam Al-Jami’ (2639), Ibnu
Majah Al-Qozwiniy dalam As-Sunan (4300), dan lainnya. Di-shahih-kan
Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shahihah (no. 135)]
Hadits ini mengabarkan
kepada kita tentang kartu catatan pahala seorang lelaki, bertuliskan “la
ilaha illallah”. Keutamaan selembar bithoqoh (kartu) itu
bisa menghapus 99 gulungan dosa.
Setiap satu
gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Keutamaan ini ia peroleh karena
ia mengucapkan, meyakini, dan melaksanakan konsekuensi kalimat ini dalam
keadaan sempurna keikhlasannya (murni dalam bertauhid atau syahadatnya).Akan
tetapi perlu diingat, betapa banyak orang yang mengucapkan kalimat ini,
tapi tidak bisa mendapatkan keistimewaan di atas, karena keikhlasannya tidak
sempurna.
Fadhilah
Asy-Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz Alusy Syaikh -hafizhohullah- berkata
dalam At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 28),
وهذا
الفضل العظيم لكلمة التوحيد ، إنما هو لمن قويت في قلبه ، ذلك أنها في قلب بعض
العباد تكون قوية ؛ لأنه مخلص فيها مصدق ، لا ريب عنده فيما دلت عليه ، معتقد ما
فيها ، محب لما دلت عليه ، فيقوى أثرها ونورها في القلب فإذا كانت كذلك : فإنها
تحرق ما يقابلها من الذنوب ، وأما من لم يكن من أهل تمام الإخلاص فيها ، فإنه لا
تطيش له سجلات الذنوب
“Keutamaan besar ini bagi kalimat tauhid,
hanyalah ada bagi orang yang kalimat itu kuat di hatinya. Demikianlah bahwa
kalimat itu kuat dalam hati sebagian hamba, karena ikhlash, dan membenarkannya.
Dia tak ragu terhadap sesuatu yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut, ia
meyakini sesuatu yang terdapat padanya, dan mencintai sesuatu yang
ditunjukkannya. Akhirnya, bekas, dan cahayanya semakin kuat dalam hati. Jika
demikian, maka kalimat itu akan membakar sesuatu yang dihadapinya berupa
dosa-dosa. Adapun orang yang tidak sempurna keikhlasannya dalan kalimat itu,
maka gulungan dosa tersebut tidak akan terangkat (melayang)”.
Oleh karena itu, seorang
muslim perlu mengetahui makna tauhid yang dikandung oleh kalimat syahadat, agar
ia tak sekedar mengucapkannya, dalam keadaan hampa dr makna dan tujuan kalimat
tauhid itu.
Al- Allamah Abdur
Rahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah berkata dalam Al-Qoul As-Sadid
(hal. 32), “Tauhid adalah mengilmui dan mengetahui akan
ke-Esaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan mengikhlaskan (memurnikan)
ibadah hanya kepada-Nya”.
Seorang yang
mengucapkan dan meyakini kalimat syahadat, harus mengerjakan dua
syarat:
· Pertama,
nafyul uluhiyah (meniadakan semua sesembahan) bagi selain Allah,
yaitu mengetahui dan meyakini bahwa tidak ada hamba yang mempunyai hak uluhiyah
(penyembahan dan peribadatan) sedikitpun dan tidak berhak diibadahi, baik
itu para nabi, malaikat, jin, kiyai, orang sholih, para raja, dan lainnya. Tidak
seorang pun yang memiliki bagian sedikit pun dari uluhiyah-Nya. Jadi,
makhluk tidak boleh dido’ai, di-istighotsahi, dimintai tolong dalam perkara
yang tak mampu ia lakukan, kecuali Allah.
· Kedua,
itsbatul uluhiyah (menetapkan hak penyembahan) hanya kepada Allah
saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, serta menetapkan keesaan-Nya dalam semua makna
penyembahan dan peribadatan, dan semua sifat-Nya yang sempurna. Semua hamba
tidak cukup hanya meyakini ini saja. Tapi dia juga harus mewujudkannya dengan
mengikhlaskan dien (ibadah dan ketaatannya), menegakkan Islam dan
melaksanakan hak-hak Allah serta kawajiban seorang hamba yang ditujukan kepada
Allah untuk mendapatkan ridha dan pahala dari-Nya.
Bisa dipahami
bahwa hakekat tafsir “syahadat” yang sempurna adalah bara’ (berlepas
diri) dari sesembahan selain Allah, tidak membuat tandingan-tandingan bagi
Allah -Tabaroka wa Ta'ala-, tidak mencintai sesuatupun melebihi cintanya kepada
Allah.
Tentang makna “La
ilaha illallah”, Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa
sallam- bersabda,
مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ
وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.
“Baransiapa yanng mengucapkan “La ilaha
illallah” dan dia mengingkari semua yang disembah selain Allah, maka
haram harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah Allah”. [HR. Muslim
dalam Shohih-nya (23),
Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (8190), dan lainnya]
Orang yang hanya
mengucapkan “La ilaha illallah’’ di lisan saja
sedang dia tidak mengerti maknanya, tidak mengikrarkannya, berdo’a tidak hanya
kepada Allah saja, maka darah dan hartanya tidak terjaga sebelum dia
mengingkari sesembahan-sesembahan selainnya, Namun kalau dia ragu-ragu dan tak
tahu, maka tidak ada jaminan atas harta dan darahnya.
Jadi, jelas bahwa
mengucapkan “La ilaha illallah” haruslah yakin tentang
wajibnya beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, disertai
keikhlasan baik ucapan dan keyakinannya. Selain itu,
ia juga harus bara’ (berlepas diri) dari selain-Nya dalam hal ibadah,
ketaatan dan ketundukan.
Syahadat yang murni adalah yang bersih dan tidak ada noda-noda syirik, baik
syirik akbar (besar) yaitu beribadah kepada selain Allah, maupun syirik asqhar
(kecil) seperti riya’ firman Allah,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisa: 36)
Seorang yang murni tauhidnya akan bersih dari noda-noda bid’ah (perkara
baru yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak ada petunjuk dari Allah
dan Rasul-Nya), baik itu berupa ucapan, keyakinan dan amalan.
Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Siapa yang mengada-adakan (sesuatu yang
baru) dalam urusan dien (agama) kami ini yang bukan dari padanya maka dia
tertolak”. [HR.
Al-Bukhariy dan Muslim]
Al-Imam Abu
Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16),
“Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung diantara kaedah-kaedah Islam.
Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari
Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala
perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.
Ibnu
Daqiq Al-Ied
-rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43,
Cet.Dar Ibnu Hazm),“Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara
kaidah-kaidah agama.Dia termasuk "Jawami' Al-Kalim" (ucapan
ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa r , karena hadits
ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.
Tauhid bersih
lagi kokoh yang terpatri dalam hati seorang hamba akan menjauhkannya dari
maksiat. Kemurnian tauhid ini akan terwujud dengan adanya keikhlasan yang
sempurna, baik dalam ucapan, amalan, maupun iradah (kehendak)nya,
selamat dari syirik akbar yang membatalkan keislamannya (aqidahnya) dan
selamat dari syirik ashgar (kecil), seperti riya’ yang mengurangi
kesempurnaan tauhid juga terbebas dari bid’ah dan maksiat yang mengotori tauhid
yang berpengaruh sangat jelek.
Jika seorang
bertauhid jatuh dalam maksiat, maka tauhidnya akan menggiring diirnya untuk
segera bertobat kepada Allah -Tabaroka wa Ta'ala-.
Jadi, inilah yang
menyebabkan ia masuk surga tanpa hisab atau hisab yang mudah, termasuk golongan
pertama yang masuk surga dan dia berada di maqam (kedudukan) yang tinggi.
Murninya tauhid
adalah tunduk kepada Allah dengan sempurna dan tawakkal yang kuat kepada-Nya
sehingga hatinya tidak condong sedikit pun kepada mahkluk di setiap kondisi,
tidak meminta kemuliaan kepada mereka di mana dan kapan saja, tapi dzohir dan
batinnya, ucapan dan perbuatan, cinta, bencinya karena Allah dan semuanya di
tujukan hanya mencari ridha Allah dengan mengikuti petunjuk Rasul-Nya.
Tauhid yang murni
tidak bisa diperoleh hanya dengan angan-angan, tidak dengan hanya berdo’a yang
tanpa bukti dan khayalan-khayalan kosong, tapi kemurnian syahadat bisa didapat
dengan hal-hal yang menenangkan hati, berupa keyakinan, aqidah yang terbukti dengan berbuat kebaikan, berakhlaq mulia dan
beramak shaleh.
Firman Allah,
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”. (QS.
An-Nahl: 97)
Memurnikan tauhid
dengan cara inilah yang akan mendapatkan keistimewaan yang sudah disebutkan pada
hadits bithoqoh di depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan