Mengenang
Pahitnya Kejahatan PKI kepada Kaum Muslimin
(Upaya
Meluruskan Pembelokan Fakta dan Sejarah Komunis yang Kelam)
Dekade terakhir ini, sejak lengsernya
Bapak Presiden Soeharto selaku pemimpin negara, maka sebagian pihak berusaha
memanfaatkan momen ini untuk membelokkan fakta dan sejarah PKI (Partai Komunis Indonesia), sehingga
seakan-akan PKI tidak pernah melakukan tindak kejahatan dan kebrutalan serta
permusuhan kepada umat Islam.
Di sisi lain , agar mereka (PKI) bersih dari
tuduhan dan kenyataan pahit tersebut, pada hari-hari belakangan ini, para
pencinta dan pembela PKI berusaha keras mencari kambing hitam yang harus siap
disalahkan dan dihakimi.
Siapa lagi yang dijadikan sebagai korban tuduhan alias
kambing hitam, kalau bukan Pak Harto dan TNI (khususnya, AD). Sebagian media
pemburu dolar, menggambarkan bahwa peristiwa PKI adalah manuver dan makar yang
dilakukan oleh TNI. Subhanalloh, ini adalah kedustaan yang dihembuskan
oleh kaum kafir PKI yang anti Islam!!
Namun satu hal yg disyukuri, saksi hidup
sebagai pelaku sejarah masih hidup dan telah menggoreskan pena tentang
kejahatan PKI waktu itu.
Salah satu goresan pena yang mengabadikan
kejahatan PKI, artikel berikut, agar menjadi saksi sejarah akan busuknya makar
kaum PKI kafir!!
Berikut kisah jahat mereka:
Syahid
Dihantam Palu Arit:
Terorisme
ala PKI
oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Lembaran
sejarah Indonesia
tergores pengalaman yang amat mengerikan dengan komunisme melalui Partai
Komunis Indonesia (PKI). Aksi keji PKI menciptakan genangan darah umat Islam di
Indonesia. Sabtu Pon, 18 September 1948, pukul 03.00 dini hari, tiga letusan
pistol ditandai sebagai isyarat dimulainya pemberontakan bersenjata PKI yang
dikenal dengan "Madiun Affair".[1]
Inilah
kudeta secara terang-terangan terhadap Indonesia yang baru berusia tiga
tahun merdeka dan baru juga menderita gara-gara serangan militer Belanda di
tahun sebelumnya. Betapa lemahnya Indonesia kala itu.
“Kejadian
itu terasa begitu mengerikan … beribu-ribu manusia dengan kelawang dan berbagai
senjata memekik-mekik bagai serigala haus darah … mereka berduyun-duyun tak ada
habisnya sambil terus memekik dan memaki-maki … kemudian menerjang dengan
beringas dan penuh kebencian …”
Itulah
gambaran yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami
detik-detik peristiwa 18 September 1948 tatkala kudeta PKI diproklamasikan di
Madiun.[2] Ketika itu beribu-ribu manusia dengan membawa senapan,
kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya seperti air bah. Tanpa babibu
lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari berbagai arah ke segala arah
menerjang segala apa yang mereka jumpai.
Musuh
utama PKI adalah umat Islam khususnya para kiai dan santri. Hal ini sangat
dimengerti sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang
sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan
membela agamanya.
Setelah
itu, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang
menjadi sasaran PKI tentu tidak tinggal diam dan tunduk ketika agamanya
diberangus. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri
pada tahun 1947 di Yogyakarta , telah membentuk
Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, siswa Madrasah Menengah Tinggi
Djamsaren , Solo, sebagai komanden Brigade PII syahid bersama delapan orang
anggotanya yang berasal dari berbagai sekolah dan pesantren, dalam pertempuran
melawan pemberontak PKI di Madiun.[3]
Magetan
sebagai kawasan paling dekat dengan ibu kota
Keresidenan Madiun, dalam tempo beberapa hari telah jatuh ke tangan
PKI. Pembersihan dilakukan dimana-mana untuk mendongkel yang bukan
merah dan diganti dengan yang merah. Maka sejarah pun mencatat praktik-praktik
mengerikan yang dilangsungkan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari aksi Khmer
Merah di Kamboja. Apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari teror mereka
untuk meruntuhkan moral lawan-lawan mereka.
Sekalipun
peristiwa itu dikenal dengan sebutan Pemberontakan Madiun, di antara sekian
daerah yang menjadi korban keganasan kaum merah tersebut, masyarakat di kawasan
Kabupaten Magetanlah yang paling parah menerima akibatnya.
Korban
keganasan kaum merah tersebut tak dapat diketahui secara pasti. Tetapi adanya
sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang dipakai PKI untuk menghabisi
lawan-lawan mereka yang tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Magetan,
menjadi saksi sejarah dari sebuah kebiadaban yang sulit dipercaya kala itu.
Sulit dipercaya karena saat itu Republik Indonesia justru baru saja berdiri,
dan yang mereka bunuh adalah saudara setanah air. Padahal saling bunuh yang
selama ini dikenal adalah saling bunuh antara kaum repubik dan penjajah. Hal
itu terlihat dari kebiadaban PKI dalam aksi mereka di daerah Kabupaten Magetan.
Kasus Pesantren Takeran
Bersamaan
dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari
Pesantren Takeran atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Sabilil
Muttaqien (PSM) yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren
Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu
adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan..
17
September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang
berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid.
Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang
terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren
Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk
Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke
Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah
dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang
pembantaian Batokan.
Seusai
shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh
tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK
yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit sebenarnya
santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar
Kamil,salah seorang saksi mata.
Sipit
sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang
kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid
sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai
Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. “Waktu itu saya
sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak
sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat.
Waktu
didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla
kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak
bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan
Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga
pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan
menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.
Tetapi
Suhud, salah seorang pimpinan gerombolan PKI, ketika itu melontarkan
dalil-dalil dari Al-Qur’an untuk meyakinkan warga pesantren bahwa iktikad
mereka baik kepada Kiai Imam Mursjid. “Suhud waktu itu malah
mendalilkan innalaha laa yughayyiru bi qaumin, hatta yughaiyyiru maa bi
anfusihim (Sesungguhnya Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali
kaum itu mengubah nasib mereka sendiri),” kenang Kamil.
Waktu
itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana
kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan
dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil.
Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid
sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik
mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI
dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.
Iskan,
salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah
dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan
mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka
rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan
bersenjata,”ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat
dipatuhi itu.
Menurut
Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak
mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan.
Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa
PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan
sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari
terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.
Pada
hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi
menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka
mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer,
sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran.
“Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai
Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.
Kiai
Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi
markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di
tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran.
Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer
dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai
Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai
Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
PKI
mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali
setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai
tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
Mendapat
informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga
diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak
menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz
Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo,
Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang
didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang
sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar
Jawa.
Mereka
itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah
menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat
di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung
ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan
oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.[4]
K.H. Imam Sofwan Adzan di Dalam Sumur
Di
Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI
sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di
belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru
dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di
dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi
kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.
Muslim
menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani
keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat , pimpinan PKI yang berasal dari Desa
Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya.
Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat
gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali
salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu,
menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.
Achmad
Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI,
menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia
sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur
itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.
Menurut
Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan
atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan
dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian,
seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan
tersebut.
Waktu
itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung
menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih
kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai
mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI
kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur.
K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam.
Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai
Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.
Orang-orang
PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur,
sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan
jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa
korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim
mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia
mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah
habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,”
tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.
Yang
dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di
antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi
Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren
Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut
mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah
jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan
dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.[5]
K.H. Rokib Digebuki Habis-habisan
Di
sebuah kampung di Kota Magetan yang dihuni oleh umat Islam, Kampung Kauman
namanya, terdapat seorang pedagang keliling yang juga
guru ngaji bernama K.H. Rokib. Dia mengaku pernah didatangi oleh 12
orang anggota PKI, pada 19 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari. Dalam
keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa Wringin Agung.
“Setiba
di Wringin Agung, saya dimasukkan ke dalam rumah yang gelap sekali. Dari
bisik-bisik mereka, saya tahu bahwa Asrori, guru madrasah di Kauman itu sudah
dibunuh di Dadapan,” kenang Rokib. Setelah seharian dikurung, Rokib
kemudian digiring oleh orang-orang yang berpakaian tentara ke arah selatan.
Setiba
di Dusun Dadapan, Desa Bangsri, Rokib sekonyong-konyong diseret ke lubang
pembantaian di tepi tegalan yang ditanami ketela pohon. Di lubang pembantaian
tersebut, kedua tangan Rokib ditarik berlawanan arah oleh orang-orang PKI dan
kakinya ditekan supaya terduduk. Dalam keadaan seperti itu, Rokib sadar bahwa
dia akan disembelih oleh FDR/PKI seperti mayat-mayat yang bergelimpangan dalam
lubang di depannya.
“Waktu
itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari
pesantren,” tutur Rokib yang mengaku pernah menjadi santri di
Pesantren Mamba’ul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib
menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga
berhasil melepaskan tangannya dari pegangan orang PKI. Kemudian dengan sekuat
tenaga, Rokib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.
“Hooii…
tawanane ucul! (Hooii… tawanannya lepas!),” teriak orang-orang PKI seperti
yang ditirukan Rokib, saat mereka mengejarnya di antara tanaman ketela pohon
dan semak yang lain.
Tetapi
pelarian Rokib itu hanya beberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia
tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Rokib
mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI.[6]
Hampir
sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang
tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng.[7]
Kampung
Kauman Dibakar
Pada
hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi
orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan
sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia
mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung
Kauman.
“Di
atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya
saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan
di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan
ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI.
Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak
merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi
meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik
licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan
yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Pada
hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu
Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari
persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan
digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali
bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam
aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan
sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan
dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik
pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan
Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara
Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.
Pembakaran
Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus
pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu,
Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam
Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian
para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono
dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI
adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad
Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno,
menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri,
ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan.
Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan
Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair
dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus,
pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul
Daenuri.[8] Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di
Trenggalek, Surabaya , dan Kediri .
Di
Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen
bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung
Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak
beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar
masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan
megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah rata dengan tanah.[9]
Aksi PKI Pasca Pemilu 1955
Pemberontakan
Madiun akhirnya dapat dipadamkan. PKI ditumpas oleh pemerintahan Sukarno Hatta.
Namun PKI kemudian mendapatkan kembali nafasnya, dan mulai bangkit. Bahkan
sejak Pemilu 1955 posisi PKI semakin menguat. Kedekatan PKI dengan Sukarno
membuat mereka di atas angin.
Umat
Islam ketika memasuki rezim orde lama semakin tertekan.Berada dalam posisi yang
kuat, kesempatan itu digunakan untuk menghantam kembali lawan-lawan politiknya,
termasuk para ulama dan santri.
Mereka
acapkali melakukan teror untuk melemahkan mental umat Islam. Termasuk saat para
pendukung PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning, Surabaya , peninggalan Sunan Ampel. Pada tahun
1962, gerombolan Pemuda Rakyatdidukung kawanan Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia ) tanpa
ampun menyerbu masjid tersebut. Parahnya lagi, Al-Qur’an dan kitab lainnya
dinjak-injak dan dibakar.[10] Mereka juga menari-nari dan menyanyikan
laguGenjer-Genjer di tempat suci tersebut. Masjid dijadikan panggung orkes
oleh mereka. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas
Gerwani.[11]
Aksi Sepihak Menyerobot tanah milik warga Nahdlatul Ulama
(NU)
Memasuki
tahun 1964, PKI gencar menduduki berbagai tanah termasuk tanah
milik Nahdiyin. Karena didukung oleh beberapa oknum pemerintah, langkah
tersebut berjalan lancar.
Dalam
waktu singkat, 900 hektar tanah bisa dikuasai. PKI juga berani mematok tanah
milik warga NU, H.Saimur. Selain dipatok, tanah itu juga ditanami tanaman oleh
PKI, seolah tanah itu adalah miliknya.
Melihat
kenekatan PKI itu, H.Saimur meminta bantuan Gerakan Pemuda (GP) Ansor, lalu
oleh GP Ansor, tanah itu ditancapi bendera NU dengan sesumbar kalau PKI berani
mencabut bendera NU, maka GP Ansor akan menghadapi PKI. Mendengar itu, PKI
tidak berani lagi menjarah tanah H. Saimur.[12]
Selanjutnya,
PKI bersama Badan Tani Indonesia (BTI) menebang tanaman tebu seluas
tiga hektar milik H. Abu Sudjak, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Kediri. Setelah
ditebang, PKI langsung menjualnya ke Pabrik Gula Ngadireja. Namun karena Abu
Sudjak sudah kenal dengan pimpinan pabrik, uang hasil penjualan tebu PKI dan
BTI tadi, diambil oleh Abu Sudjak.
Tentu
saja PKI sangat marah. PKI tak kehabisan akal, mereka kemudian memagari tanaman
tebu yang masih tersisa dan menganggap sebagai lahan BTI. Melihat hal itu,
Pimpinan GP Ansor dan para pendekar lantas merobohkan dan mencabuti pagar lahan
yang dibuat oleh BTI, lalu ditancapi bendera GP Ansor.[13]
Segerombolan
Pemuda Rakyat BTI dan Gerwani juga pernah menduduki tanah milik muslimat NU
yang terletak di tengah kota Surabaya . Tanah itu langsung dipagari dan
dipasang bendera PKI dan Gerwani.[14]
Itulah
sebagian aksi teror keji ala PKI. Umat Islam yang sudah berkorban banyak demi
bangsa ini, bersimbah darah melayani keganasan PKI. Permusuhan PKI utamanya
kepada para kiyai dan santri, membuat darah para syuhada tergenang.
Terorisme ala PKI menjadi salah satu babak memilukan dalam lembaran
sejarah Indonesia . Dengan demikian, tak berlebihan bila kita nyatakan bahwa
semua pihak yang saat ini menginginkan TAP MPRS No XXV/ 1966 berisi Ketetapan
Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dicabut, kita sebut mereka (para pengusul itu) sebagai pendulang
bibit-bibit teroris. Yang menjadi tugas pemerintah serta seluruh
rakyat Indonesia
adalah untuk mencegah terorisme ala PKI terulang kembali.
Link Artikel : http://jejakislam.net/?p=457
Catatan Blog Pencinta Sunnah :
artikel
ini kami nukil disertai pengeditan dalam rangka menyempurnakan makna dan lebih
memahamamkan para pembaca.
[1] Dikutip oleh Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia
Marxisma Leninisma Stalinisma Maioisma Narkoba, Yayasan Titik Infinitum:Jakarta , 2004, hlm.172 dari Arnold C.
Brackman, Indonesian Communism-A History, Frederick A Praeger
Publisher: New York ,
1963
[2] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Lubang-lubang
Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta , 1990, hlm. 15
[3] Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia Marxisma
Leninisma Stalinisma Maioisma Narkoba, Yayasan Titik Infinitum:Jakarta , 2004, hlm.174
[4] Agus Sunyoto, A.Zainuddin, Maksum, Ibid, hlm.
16-21
[5] Agus Sunyoto, A.Zainuddin,
Maksum, Ibid, hlm. 55-58
[6] Agus Sunyoto, A.Zainuddin,
Maksum, Ibid, hlm. 40-41
[7] Dikutip oleh Agus Sunyoto, A.Zainuddin,
Maksum, Ibid, hlm. 42 dari Jawapos, 18 September 1989
[8] Agus Sunyoto, A.Zainuddin,
Maksum, Ibid, hlm. 42-43
[9] H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI
1948-1965, Depok: PBNU&Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.67-68
[10] H. Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI
1948-1965, Depok: PBNU&Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.11
[11] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.96
[12] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.105
[13] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.106
[14] H. Abdul Mun’im DZ, Ibid, hlm.109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan