Berjabat
Tangan setelah Sholat
oleh : Ustadz
Abdul Qodir Abu Fa'izah, Lc. -hafizhahullah-
(Alumni Islamic University of Medinah , KSA)
Mengucapkan salam
dan berjabat tangan kepada sesama muslim saat berjumpa dan berpisah
dengannya adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan
perbuatan ini, hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di
antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu
‘anhum-.
Qotadah -rahimahullah-
berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-,
“Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa
sallam-?” Anas berkata, “Ya, ada”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih
(5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu Hibban (492), dan
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)]
Sunnah ini
dilakukan oleh Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- , dan para
sahabatnya ketika mereka bertemu dan berpisah. Nabi -Shallallahu
'alaihi wa sallam- bersabda,
مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ
أَنْ يَفْتَرِقَا.
“Tidaklah
dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan
diampuni keduanya sebelum berpisah”. [HR.
Abu Dawud dalam As-Sunan (5212), At-Tirmidziy dalam As-Sunan
(2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289), dan lainnya. Hadits ini
di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (3/32/no.2718)]
Berjabat tangan menyebabkan bergugurannya dosa-dosa
seorang mukmin. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- dalam sabdanya,
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ
خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.
“Sesungguhnya seorang mukmin jika
bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya,
maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (245).
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (no.2720)]
Karena keutamaan besar seperti ini, para sahabat memiliki
kebiasaan saat bertemu dengan kawannya, mereka saling berjabatan tangan. Anas
bin Malik -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا
قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا.
“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu
'alaihi wa sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika
mereka datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits
ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib
(2719)]
Namun apa yang
terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang
semestinya?! Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah
yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai
sholat, ia langsung menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia
marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah
bin Abdur Rahman Al-Jibrin -hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang
yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di
sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan
mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil
dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka
melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil
bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah
bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu
'alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya.
Tragisnya lagi,
jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah,
apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan
tangan sehabis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat
tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa
ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya. Padahal
saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat, karena ia tahu hal ini tak
ada contohnya jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan
karena benci dan najis!!!
Seorang ulama
Syafi'iyyah, Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Jabat
tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru
datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka
sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi -Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam- berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan
beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir
:
رَبِّ
قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai
Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR.
Muslim (no. 62), At-Tirmidzi (no. 3398 dan 3399), dan Ahmad dalam Al-Musnad
(4/290)]. Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa
Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al Majmu’
(3/488)]
Apabila bid’ah
ini di masa Al-Izz Ibnu Abdis Salam terbatas setelah dua shalat tersebut, maka
sungguh di jaman kita ini, hal itu telah
terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah-
berkata, “Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada
mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai
bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk
masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian
shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain
setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek, karena
sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah
ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk. Kedua,
mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya,
serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal
bersua”. [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf
Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan
beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum
berjumpa sebelumnya tidak ada masalah. Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al
Albaniy -rahimahullah- berkata, “Adapun jabat tangan setelah
shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang
yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda
telah ketahui”. [Lihat As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53)]
Larangan berjabat
tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para
ulama’. Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar, jika diantara kaum muslimin
yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, lalu menganggapnya
pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai
sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah
Al-Luknawiy
-rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat
tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin
Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis
Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau
berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu,
misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan
di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah
diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil, berarti tertolak dan tidak
boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul
Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan
wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)]
Beliau juga
berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata
dalam Al Multaqath, “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat
dalam segala hal, karena sahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat
dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.”
Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia
berupa jabat tangan setelah shalat lima
waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Alangkah
fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dalam ijtihad dan ikhtiarnya.
Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat
tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih
tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah
harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat (kerusakan)
lebih utama daripada menarik maslahat. Lalu kenapa dilakukan jabat tangan,
padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara
orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang
baik, sangat menjelek-jelekkan orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus
dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika
berlebihan akan mengantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika
terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?! Berdasarkan
hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya jabat tangan usai sholat. Inilah
maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah
dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu
dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat Penulis Jam’ul Barakat, Siraj
Al-Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena
kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Telah
diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan
kering (yang jelas dan yang samar). Yang lebih mengherankan lagi ialah Penulis Khazanah
Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, “Dia (Nabi)
‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya
Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”. Konon kabarnya, Rasul
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berjabat tanganlah
kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan
pengampunan”. Sementara si Penulis itu tidak memahami bahwa kedua hadits ini
dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang
berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat
As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami
perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang muslim memutuskan tasbih (dzikir)
saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan
berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan
dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka
mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya.
Akhirnya, membuat jama'ah lain tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena
jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka
dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini. Padahal tidak ada
sebab-sebab perjumpaan atau perpisahan yang membolehkan jabatan tangan.
Namun bukanlah
termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping
Anda, dan menolak tangan yang terlanjur terulur pada Anda. Karena sesungguhnya
perbuatan ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan
tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut, dan jelaskan kepadanya
bahwa jabat tangan setelah sholat tak
ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para
sahabatnya.
Betapa banyak
orang yang terpikat dengan nasihat, dan dia memang orang yang pantas
dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan
menyelisihi sunnah. Lantaran itu, wajib atas ulama dan penuntut ilmu
menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud
mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Lalu
dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari
sebelumnya. Karenanya, lemah lembutlah kalian dengan muslim lainnya.
Buatlah manusia
mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati
mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh
perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan
kekerasan. [Lihat Tamam Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da As-Salam
(hal. 23), dan Al-Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan