Metode Lurus dalam Mengingkari Pemerintah
Oleh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir, Lc. -hafizhahullah-
Mengingkari kemungkaran adalah perkara syar’i
lantarannya, kebaikan bisa nampak dan tersebar. Demikian pola kebatilan akan
menipis, bahkan sirna. Menginkari Kemungkaran merupakan salah satu tugas
termulia di sisi Allah -Azza wa Jalla-.
Mengingkari kemungkaran merupakan ciri hkas kaum mukminin.
Allah ta’ala berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”. (QS. At-Taubah: 71)
Syaikh Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim -rahimahullah- berkata, “Sungguh Allah telah
membedakan antara orang orang mukmindengan orang orang munafiq dengan amar
ma’ruf (mencintai hal yang baik) dan nahi mungkar (mengingkari kemungkaran). Hal
itu menunjukan ciri khas sifat sifat orang beriman adalah mereka melaksanakan
hal itu.” [Lihat Mu’amalah Al-Hukkam (hal.35)]
Kemudian, mengingkari kemungkaran perlu didudukkan dengan
baik dan diletakkan sesuai porsinya. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara
mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, dengan mengingkari
kemungkaran yang dibuat oleh rakyat. Sedang rakyat pun harus disikapi dengan
baik dan hikmah.
Apa bila anda bertanya tentang metode syar’i dalam
mengingkari penguasa, maka perkara ini telah dijelaskan oleh para ulama. Dalam
pembahasan berikut ini kami akan kupas metode mereka mengingkari, dan
menasihati penguasa. Ini perlu diketahui, karena banyak orang yang tak paham.
Al-Imam Ibnul Jauziy
-rahimahullah- berkata, “perkara yang dibolehkan dalam amar ma’ruf dan
nahi Mungkar hubungannya dengan penguasa, yaitu memberikan pengertian dan nasihat.
Adapun berkata-kata kasar, seperti “Wahai orang zholim”, “wahai orang yang tidak
takut kepada Allah!” Jika hal itu menggerakan/membangkitkan fitnah (musibah) yang
menyebabkan kejelekannya tertular kepada orang lain, maka tidak boleh dilakukan.
Jika ia tidak takut, kecuali atas dirinya, maka boleh menurut jumhur ulama. Menurut
pendapatku, hal itu terlarang.” [ Lihat Al- Adab Asy-Syari’ah
(1/195-197)]
Ibnu An-Nuhhas Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Seseorang yang
menasehati penguasa hendaknya memilih pembicaraan empat mata bersama penguasa dibandingkan
berbicara bersamanya di depan publik, bahkan diharapkan (adanya kebaikan) andaikan
ia berbicara dengan penguasa secara sirr ((rahasia), dan menasehatinya secara
tersembunyi, tanpa pihak ketiga.” [Tanbih Al- Ghofilin (hal.
64)]
Apa yang ditetapkan oleh Ibnul Jauziy, dan Ibnu An-Nahhas,
bahwa menasihati penguasa dengan cara rahasia dan tersembunyi, ini telah
dikuatkan oleh hadits-hadits dan atsar dari Nabi -Shallallahu 'alaihi wa
sallam- , para sahabat, serta para ulama’ Ahlus Sunnah yang menapaki jalan
mereka..
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ
َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ
لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ
قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa
ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah ia menampakkan
secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya ia ia mengambil tangannya agar ia
bisa berduaan. Jika ia terima ,aka itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh
ia telah menunaikan tugas yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404) dan
Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 514)]
As-Syaukaniy -rahimahullah-
berkata, “Sesungguhnya bagi orang
yang nampak baginya kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia
menasihati penguasa, dan tidak menampakan celaan padanya didepan publik”. [Lihat
As-Sail Al-Jarrar (4/556)]
Dari sini, kita mengetahui kesalahan fatal sebagian
orang, ketika melihat penguasa bersalah dan bermaksiat, atau membiarkan
kemaksiatan, maka serta-merta mereka mengumpulkan manusia untuk demontrasi
sehingga tersebarlah aib penguasa.
Demo -sekalipun diniatkan sebagai “nasihat”-, namun tetap
dianggap perbuatan salah karena ia merupakan sebuah sarana yang membeberkan aib
penguasa. Oleh karena itu, satu hal yang amat
menyayat hati, dan membuat kita sedih, ketika kita menyaksikan ada sebagian
mahasiswa dan masyarakat umum -bahkan terkadang ia adalah “aktivis dakwah
Islam”- memompa, dan mengompori semangat pemuda-pemuda Islam untuk
melakukan demonstrasi.
Al-Allamah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj
salaf, membeberkan aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar,
karena hal itu akan mengantarkan kepada kudeta, tidak mau dengar dan taat dalam
perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak
membawa manfaat. Tapi metode yang
diikuti di sisi salaf: menasehati secara empat mata, menyurat, dan
menghubungi para ulama yang berhubungan langsung dengannya sehingga
penguasa bisa diarahkan kepada hal yang baik”. [ Lihat Haquq Ar-Ro’iy
wa Ar- Ro’iyyah (27)]
Jadi, seorang yang ingin menasihati pemerintah, maka ia
lakukan dengan cara rahasia, dan empat mata. Bukan menasihatinya secara
terang-terangan di depan publik. Oleh karena itu, termasuk di antara kesalahan
sebagian orang, menasihati penguasa, lalu disebarkan nasihat dan hasil
pertemuannya dengan pemerintah, baik lewat radio, televisi, koran, majalah,
buletin, mimbar, majelis taklim, pertemuan umum, demonstrasi, dan lainnya.
Diantara metode yang paling buruk dalam menasihati
penguasa, keluar ke jalan-jalan berkonvoi dalam rangka berdemo, apakah disertai
kekacauan, ataukah, tidak!! Dengarkan Al-Faqih Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Demonstrasi merupakan perkara baru yang
tidak pernah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaih wasallam- , dan tidak
pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin dan para sahabat-radhiyallah anhum-.
Kemudian di dalamnya juga terdapat kerusuhan, dan huru-hara yang menjadikannya
terlarang, dimana juga terjadi di dalamnya pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu dan
lainnya. Juga terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, antara
anak muda dengan orang tua , serta perkara-perkara yang semacamnya, berupa
kerusakan dan kemungkaran.Adapun masalah menekan dan mendesak pemerintah,
maka jika pemerintahnya muslim, cukuplah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya –Shollallahu
alaih wasallam- sebagai pengingat baginya. Ini merupakan sebaik-baik perkara
(baca:nasihat) yang disodorkan kepada seorang muslim. Jika pemerintahnya
kafir, maka jelas mereka (orang-orang kafir) itu tidak mau mempedulikan para
demonstran. Boleh jadi Pemerintah kafir itu akan bersikap ramah dan baik di
depan para demonstran, sekalipun di batinnya tersembunyi kejelekan. Karenanya,
kami memandang bahwa demo merupakan perkaara munkar. Adapun ucapan
(baca: alasan) mereka: “Inikan demo yang damai (tak ada kerusuhan,pent.)!!”, maka
boleh jadi demonya damai di awalnya atau awal kalinya, kemudian berubah jadi
demo perusakan. Aku nasihatkan kepada para pemuda agar mereka mengikuti
jalan hidupnya para Salaf. Karena Allah telah memuji orang-orang Muhajirin dan Anshor; Allah telah memuji orang-orang
yang mengikuti mereka dalam kebaikan ”. [Lihat Buletin Silsilah
Ad-Difa’ anis Sunnah (7): “Aqwaal ‘Ulama’ As-Sunnah fil Muzhaharat wa maa
Yatarattab Alaih min Mafasid ‘Azhimah”, hal.2-3, cet. Maktabah
Al-Furqon, UEA.]
Alangkah benarnya apa yang dikatakan
beliau bahwa demo-walaupun tanpa kerusuhan- merupakan perkara baru dan bid’ah.
Bid’ahnya orang-orang Khawarij. Anggaplah demo itu damai, akan tetapi itu
merupakan sarana dalam menyebarkan aib penguasa, karena dengan keluarnya
seseorang ke jalan-jalan untuk demo, akan memberikan opini bahwa mereka akan
pergi mengeritik, dan membongkar aib, dan kekurangan penguasa. Membeberkan aib
penguasa muslim merupakan metode lama yang dipergunakan oleh kaum Khawarij yang
suka memberontak.
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqolany – rahimahullah- berkata dalam menjelaskan hakekat orang-orang Al-Qo’diyyah
(salah satu kelompok Khawarij), “Al-Qo’diyyah: adalah kelompok
Khawarij yang tidak memandang (harusnya) memerangi (pemerintah). Bahkan mereka
hanya mengingkari pemerintah yang zholim sesuai kemampuan, mereka mengajak
kepada pendapat mereka, dan juga mereka menghias-hiasi --disamping hal tsb--
untuk memberontak, serta mengira itu baik” [ Lihat At-Tahdzib (8/114) sebagaimana dalam Lamm Ad-Durr
Al-Mantsur (hal.60) karya Jamal Ibn Furoihan Al-Haritsy, cet. Dar
Al-Minhaj, Mesir.]
Dalam kitabnya yang lain,
Al-Hafizh –rahimahullah- berkata, ”Al-Qo’diyyah: adalah
orang-orang yang menghias-hiasi pemberontakan atas pemerintah, sekalipun mereka
tidak melakukan (pemberontakan itu) secara langsung”. [ Lihat Hadyus
Sari (459) yang dinukil dari Lamm Ad-Durr Al-Mantsur, hal.60,
cet. Dar Al-Minhaj.]
Jadi, tugas Al-Qo’diyyah dahulu sama
persis dengan tugas sebagian orang yang membakar semangat pemuda-pemuda untuk
membangkang, dan tidak taat kepada pemerintah, bahkan terkadang mengarahkan
mereka kepada pemberontakan fisik lewat ajang demonstrasi. Ini adalah tercela
dalam pandangan ulama’ Ahlus Sunnah berdasarkan dalil-dalil, baik naqli, maupun
aqli.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata: “Aku tidak memandang
bahwa demonya para wanita ataupun demonya para laki-laki termasuk solusi. Akan
tetapi, itu merupakan musibah, dan termasuk sebab kejelekan; termasuk sebab
dizhaliminya sebagian orang, dengan cara yang tak benar. Akan tetapi cara-cara
yang syar’i adalah menyurat, menasihati, berda’wah kepada kebaikan dengan
cara damai. Demikianlah yang ditempuh para ulama; demikianlah para sahabat
Nabi –Shallallahu alaih wasallam- dan para pengikut mereka dalam kebaikan : dengan
cara menyurat, berbicara langsung dengan orang yang berbuat salah, dengan
pemerintah, dan penguasa dengan menghubunginya, menasihatinya, dan menyuratinya
tanpa membeberkannya di atas mimbar dan lainnya!! Katanya, “Pemerintah
melakukan begini dan begini!!”. Akhirnya, hasilnya begini (kerusakan), Wallahul
Musta’an“.
Dalam kesempatan lain, Beliau juga berkata: “Dikategorikan
dalam masalah ini (kesalahan dalam menasihati penguasa), apa yang dilakukan
oleh sebagian orang berupa demo yang menimbulkan keburukan yang besar
bagi para da’i. Jadi, karnaval dan teriak-teriakan bukanlah merupakan jalan
untuk memperbaiki dan da’wah. Jalan yang benar (dalam menasihati
pemerintah,pent.) adalah dengan cara berziarah dan menyurati dengan cara yang
baik”. [ Lihat Buletin Silsilah
Ad-Difa’ (7) (hal.1-2),cet. Maktabah Al-Furqon, UEA]
Inilah tuntunan dan metode lurus berdasarkan bimbingan
wahyu dalam menasihati dan meluruskan pemerintah, sebuah metode yang bersih
dari tendensi pribadi, dendam, riya', sum'ah dan kesombongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan