oleh : Ust. Abul Asybal, Lc.
(Lulusan Medinah, KSA)
Kawat gigi atau
behel kini menjadi trend di kalangan manusia, tidak luput di dalamnya kaum
muslimin ikut meggunakannya. Sebagian orang mempertanyakan hal ini kepada kami,
"bolehkah untuk sekedar berhias?"
Pada hukum
asalnya haram mengubah ciptaan Allah, misalnya operasi mengecilkan hidung dan
operasi ganti kelamin. Allah Ta’ala berfirman,
وَلآمُرَنَّهُمْ
فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ الله
“dan
akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya”. (QS. An-Nisa’ :119)
Jika tujuannya
adalah pengobatan dan mengembalikan ke dalam bentuk ciptaan Allah, maka
hukumnya boleh. Misalnya operasi hidrocepalus, operasi pengangkatan tumor,
operasi cacat bawaan.
Sahabat Arfajah
bin As’ad -radhiyallahu anhu- , ia menggunakan emas untuk memperbaiki
hidungnya, padahal emas haram bagi kaum laki-laki. Maka mengembalikan
susunan gigi yang tidak rata,misalnya gigi maju ke depan dan merusak
penampilan, maka hukumnya boleh.
Adapun hanya
sekedar gigi jarang alias renggang, maka itu bukan udzur dan alasan yang
dibenarkan untuk mengubah posisi gigi. Apalagi berjaraknya gigi alias
renggangnya gigi, bukanlah celah dan aib.
Bahkan dahulu
bangsa Arab mengubah gigi yg merupakan ciptaan Allah dengan cara menjarangkan
dan merenggangkan gigi. Makanya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- (sebagaimana
yg akan datang) dalam sebagian riwayat telah melaknat orang yang menjarangkan
atau merenggangkan giginya dalam rangka berhias.
Dari Arfajah
bin As'ad -radhiyallahu anhu- bahwa:
أَنَّهُ أُصِيبَ
أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ
فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
“Hidungnya
terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian
beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas.”[1]
Syaikh Shalih
Al-Fauzan hafidzahullah berkata,
إذا احتيج إلى
هذا كأن يكون في الأسنان تشويه واحتيج إلى إصلاحها فهذا لا بأس به…. أما إذا كان
هذا لعلاج مثلاً أو لإزالة تشويه أو لحاجة لذلك كأن لا يتمكن الإنسان من الأكل إلا
بإصلاح الأسنان وتعديلها فلا بأس بذلك .
“Bila ada hajat
untuk meratakan gigi, misalnya susunan gigi tampak jelek, sehingga perlu
diratakan, maka hukumnya tidak mengapa (boleh). Jika pengobatan ini
(meratakan gigi), dengan tujuan menghilangkan penampilan gigi yang jelek atau
ada kebutuhan yang lain semisal seorang itu tidak bisa makan dengan baik,
kecuali jika susunan gigi diperbaiki dan dirapikan, maka hal tersebut hukumnya
tidak mengapa.”[2]
Sahabat Ibnu
Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata,
نهى عن النامصة
والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir
gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit.”[3]
Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata,
قوله (إلا من
داء) : ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة،
فإنه ليس بمحرم
“Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ dzahir maksudnya bahwa
keharaman yang disebutkan,yaitu jika dilakukan untuk tujuan memperindah
penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam
ini tidak haram.”[4]
Memasang Kawat Hanya Sekedar Berhias
Jika hanya
sekedar tujuan seperti ini, maka memasang kawat gigi/behel termasuk
mengutak-atik gigi. Ia masuk dalam larangan yg ada dlm hadits berikut:
Sahabat Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ اللَّهُ
الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ،
لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Semoga
Allah melaknat orang yang mentato, yang minta ditato, yang mencabut alis, yang
minta dikerok alis, yang merenggangkan gigi, untuk memperindah penampilan, yang
mengubah ciptaan Allah.”[5]
Syaikh Shalih
Al-Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Al-Muntaqo min Fatawa
Al-Fawzan,
أما إذا لم يُحتج
إلى هذا فهو لا يجوز ، بل جاء النهي عن وشر الأسنان وتفليجها للحسن وجاء الوعيد
على ذلك لأن هذا من العبث ومن تغيير خلق الله
“Adapun jika
tidak ada hajat untuk itu (mengutak-atik gigi), maka hukumnya tidak boleh.
Bahkan terdapat larangan meruncingkan dan mengikir gigi agar tampak indah.
Terdapat ancaman keras atas tindakan ini, karena hal ini adalah suatu yang
sia-sia dan termasuk mengubah ciptaan Allah.”[6]
Ulama
Syafi'iyyah Negeri Syam, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata,
وأما
قوله:(المتفلجات للحسن) فمعناه يفعلن ذلك طلباً للحسن، وفيه إشارةٌ إلى أن الحرام
هو المفعول لطلب الحسن، أما لو احتاجت إليه لعلاجٍ أو عيبٍ في السن ونحوه فلا بأس
“Adapaun Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang merenggangkan gigi, untuk memperindah
penampilan,” maksudnya: mereka melakukan hal itu untuk mendapatkan
penampilan yang baik. Dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa yang
diharamkan adalah melakukan perenggangan gigi untuk memperindah penampilan.
Namun jika dilakukan karena kebutuhan, baik untuk pengobatan atau karena cacat
di gigi atau semacamnya, maka hukumnya tidak mengapa (boleh).”[7]
Kesimpulan:
Dari pembahasan
di atas, maka ada beberapa poin yang bisa kita simpulkan:
a. Tidak boleh mengubah ciptaan Allah -Azza wa Jalla-.
b. Diantara bentuk mengubah ciptaan Allah, seseorang
memasang kawat gigi alias behel, karena sekedar berhias.
c. Haram memasang behel gigi demi berhias, krn termasuk
mengubah ciptaan Allah -Tabaroka wa Ta'ala-.
d. Jika merenggangkan gigi demi berhias, maka merapatkan
gigi dengan behel atau yg lainnya sama hukumnya, yakni haram.
e. Boleh memasang behel gigi, bila untuk meluruskan posisi
bagi orang yang giginya maju-mundur 'tidak beraturan', atau bagi mereka yang
susah mengunyah makanan karena gigi gerahamnya renggang. Adapun jika yg
renggang adalah gigi depan, maka tidaklah memengaruhi kunyahan. Maka berarti
merapatkannya tidak perlu, krn tak ada hajat kepadanya.
f. Mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan terlaknat.
[2] Lihat
http://ar.islamway.net/fatwa/7821/%D8%AA%D9%82%D9%88%D9%8A%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B3%D9%86%D8%A7%D9%86-%D9%88%D8%AA%D9%82%D8%B1%D9%8A%D8%A8%D9%87%D8%A7-%D9%85%D9%86-%D8%A8%D8%B9%D8%B6%D9%87%D8%A7-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B9%D8%B6
[3] HR. Ahmad dalam Al-Musnad (jld.
1/hlm. 415). Syuaib Al-Arna'uth menyatakan sanadnya kuat dalam Takhrijul
Musnad (no. 3945)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan