Selasa, 11 Agustus 2015

Wajibnya Mengikuti Manhaj Salaf (Seri : 05)



.............................................................................................................
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- telah memberikan persaksian kepada para sahabat di dalam Al-Qur’an bahwa mereka adalah manusia-manusia pilihan yang memiliki banyak keistimewaan (khususnya, dalam perkara ilmu, amanah, keikhlasan mereka dalam berjihad demi menyampaikan risalah Islam kepada semua umat manusia), sehingga semua menjadi bukti dan contoh yang kuat bagi kita tentang wajibnya mengikuti manhaj para salaf, manhaj para sahabat -radhiyallahu anhum-.

Jika di dalam Al-Qur’an Allah memberikan tazkiyah (rekomendasi) bagi manhaj para sahabat sebagai manhaj yang haqq dan wajib kita ikuti, maka tak pelak bila Rasul Allah, Nabi Muhammad bin Abdillah -Shallallahu alaihi wa sallam- juga memberikan tazkiyah kepada mereka. Tazkiyah yang lahir dari sebuah pengalaman hidup dan bimbingan Allah -Azza wa Jalla-. Beliau telah melihat keikhlasan dan kesungguhan mereka dalam berjihad dengan ilmu, lisan, harta dan jiwa mereka. Keikhlasan dan kesungguhan yang membawa rahmat dan pertolongan dari Allah. Cukuplah sebagai bukti atas keikhlasan dan kesungguhan mereka, sampainya ilmu dan hidayah menuju Islam dan sunnah yang murni melalui tangan mereka. Nama dan usaha mereka senantiasa harum sepanjang
perjalanan sejarah kehidupan manusia sampai tegaknya kiamat.

Bukankah sebuah kebanggaan bagi para sahabat ketika Allah tidak lagi melahirkan suatu generasi yang tiada serupanya; hidup dan berjihad bersama Rasul Allah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang memili kedudukan tinggi di sisi Allah. Tak ada suatu generasi yang datang setelah mereka, kecuali generasi itu pasti akan berutang budi kepada para sahabat. Bagaimana tidak, sementara para sahabatlah yang menjadi mata rantai pertama sehingga ilmu hadits dan sunnah sampai kepada kita. Bahkan semua ajaran Islam yang tercatat dalam Al-Qur’an, semuanya sampai kepada kita melalui jalur periwayatan para sahabat sebagai murid Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang siap meneruskannya kepada generasi selanjutnya
.
Di hari-hari yang penuh kesusahan, saat munculnya dajjal, banyak manusia yang tersesat dan mengikuti agama sesat yang diserukan oleh Dajjal, kecuali mereka yang mempertahankan ilmu dan hidayah yang mereka dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyyah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengabarkan kisah manusia beriman di akhir zaman saat ia bertemu dengan Dajjal,
فَإِذَا رَآهُ الْمُؤْمِنُ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذَا الدَّجَّالُ الَّذِي ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Bila Dajjal dilihat orang yang beriman, maka ia (orang beriman itu) akan berkata, “Inilah Dajjal yang pernah disebutkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”.[1]

Disini akan muncul sebuah pertanyaan, “Dari manakah orang beriman itu mengenal Dajjal?” Jawabnya, ia mengetahui dan mengenalnya melalui hadits-hadits tentang Dajjal yang telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian para sahabat meriwayatkannnya kepada para ulama tabi’in, dan para tabi’in juga meriwaayatkannya kepada para muridnya. Begitulah seterusnya sampai kepada para imam yang menulis hadits, semisal Imam Al-Bukhoriy, Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Dawud As-Sijistaniy, Abu Isa At-Tirmidziy, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Ahmad bin Hambal dan lainnya. Selanjutnya hadits-hadits itu tersebar dan dihafal oleh banyak orang serta dinukil dengan alat sederhana sampai munculnya alat percetakan modern, sehingga abadilah sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai akhir zaman.

Syaikh Abu Usamah Salim Al-Hilaly -hafizhahullah- saat memetik faedah makna yang terkandung di dalam hadits yang mulia ini, “Sunnah Nabawiyyah yang shohih akan terus terjaga sampai akhir zaman. Perkara yang menunjukkan hal itu bahwa orang yang beriman itu mengenal Dajjal melalui Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-…Eksisnya mata rantai sanad (periwayatan) dalam keadaan tersambung awalnya dengan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”.[2]

Hadits ini menjadi bukti kuat bahwa para sahabat memiliki banyak kebaikan dan jasa dalam mempelajari ilmu dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, mengajarkan dan menyampaikannya kepada generasi setelah sehingga tak ada suatu tempat, kecuali nama mereka dikenal.

Oleh karena itu, amat layak bila Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ وَكَانُوا يَضْرِبُونَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, lalu orang-orang yang berikutnya (para tabi’in), lalu orang-orang yang berikutnya (para tabi’ut-tabi’in). Kemudian akan datang beberapa kaum yang persaksian seorang diantara mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”. Ibrahim (yakni, An-Nakho’iy) berkata, “Dahulu mereka memukul kami karena persaksian dan sumpah”.[3]

Hadits ini merupakan rekomendasi bagi tiga generasi emas (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) bahwa mereka adalah manusia terbaik dalam memahahi, mengamalkan, menyampaikan dan memperjuangkan Islam.

Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini dijadikan dalil dalam merekomendasi tiga generasi tersebut, walaupun tingkatan mereka dalam hal keutamaan berbeda-beda. Hal ini dibawa kepada yang dominan, sebab sungguh dijumpai ada orang setelah sahabat dari kalangan dua generasi (tabi’in dan tabi’ut tabi’in) yang terdapat pada dirinya sifat-sifat yang tercela tersebut. Hanya saja hal itu jarang. Beda halnya dengan orang-orang yang ada setelah tiga generasi ini, maka sifat-sifat tercela itu banyak dan masyhur di kalangan mereka”. [4]
Sesuatu yang ditegaskan merupakan perkara yang sudah masyhur di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahkan ia termasuk ijma’ (kesepakatan) para ulama’. Tak heran bila para ulama dari zaman ke zaman senantiasa mengagungkan para sahabat, menghormati dan mengedepankan mereka atas generasi lain yang datang setelah mereka.

Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, Para ulama telah sepakat bahwa generasi yang terbaik adalah generasi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang yang dimaksudkan adalah para sahabat. Sungguh kami telah utarakan bahwa pendapat yang benar, dipijaki oleh mayoritas ulama bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, walaupun sejenak, maka ia termasuk sahabat. Riwayat yang berbunyi, “Sebaik-baik umat”, ia berdasarkan keumumannya. Sedang yang dimaksudkan darinya adalah keumuman generasi itu. Hal itu tidaklah mengharuskan adanya pengutamaan para sahabat atas para nabi –Sholawatullahi wa salamuhu alaih- atau pengutamaan person-person wanita atas Maryam, Asiyah (istri Fir’aun) dan lainnya. Bahkan yang dimaksudkan adalah keumuman generasi tersebut bila dihubungkan dengan semua generasi secara global”.[5]

1.      Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Bintang-bintang adalah pengaman bagi langit. Bila bintang hilang, maka aka datanglah kepada langit sesuatu yang dijanjikan padanya. Sedang aku adalah pengaman bagi para sahabatku. Bila aku pergi, maka akan datanglah kepada para sahabatku sesuatu yang dijanjikan kepada mereka. Para sahabatku adalah pengaman bagi bagi umatku. Bila sahabatku pergi, maka datanglah kepada umatku sesuatu yang dijanjikan baginya”.[6]

Di dalam hadits terdapat suatu gambaran bahwa keberadaan para sahabat akan menjadi jaminan bagi umat dari segala macam bid’ah, berkuasa pemikiran sesat, munculnya banyak keyakinan batil, berkuasanya kaum kuffar atas kaum muslimin. Ketika wafatnya para sahabat, maka muncullah segala macam penyimpangan, bid’ah, kemusyrikan dan kekafiran.[7]

Bila anda mengamati hadits ini, maka anda akan mendapatkan suatu faedah berharga bahwa manhaj (jalan hidup) para sahabat adalah hujjah dan petunjuk yang wajib diikuti oleh generasi setelahnya, sebab tak ada suatu permasalahan yang mereka tetapkan, kecuali mereka merujuk dan kembali kepada sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, perbuatan dan petunjuk beliau.

Al-Imam Al-Mubarok bin Muhammad Al-Jazariy -rahimahullah- yang dikenal dengan Ibnul Atsir berkata, “Isyarat (yang terdapat dalam hadits ini) adalah tentang datangnya keburukan ketika hilangnya para pelaku kebaikan. Karena, tatkala beliau berada di tengah mereka, maka beliau menjelaskan kepada mereka sesuatu yang mereka perselisihkan tentangnya. Tatkala beliau wafat, maka muncullah berbagai macam pendapat dan pemikiran pun berbeda. Para sahabat dahulu mengembalikan urusan kepada Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-, baik dalam bentuk sabda, perbuatan atau petunjuk. Tatkala beliau hilang (wafat), maka cahaya berkurang dan kezhaliman semakin menguat. Demikianlah kondisi langit ketika hilangnya bintang-bintang”.[8]

Ketika meninggalnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, mulailah muncul perselisihan. Hanya saja perselisihan itu masih bisa di atasi oleh para sahabat dengan ilmu dan iman yang mereka miliki. Adapun setelah meninggalnya para sahabat, maka muncullah banyak pemikiran sesat serta berbagai warna kekafiran dan kesyirikan.[9]

Tatkala muncul berbagai macam perselisihan dalam beragama, maka tak ada solusi yang paling jitu, kecuali kembali kepada para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah yang mereka terima dari Guru mereka, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Inilah yang ditegaskan oleh  Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Lazimilah ketaqwaan kepada Allah, mendengar, dan taat (kepada pemerintah), walaupun ia hamba Habasyah. Kalian akan melihat setelahku perselisihan yang banyak. Lantaran itu, pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rosyidiin (yang lurus) lagi mendapatkan petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan, karena semua bid’ah adalah sesat”.[10]

Ini merupakan pujian dan rekomendasi seorang guru kepada muridnya. Sang Guru yang mulia, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mempersaksikan bahwa para sahabatnya yang empat (Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali) -radhiyallahu anhum- adalah memiliki jalan hidup dan manhaj yang sama dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah manusia yang paling paham tentang maksud Allah dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka telah terdidik langsung di hadapan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Jadi, wajar bila mereka memiliki kedudukan tinggi seperti ini.[11]

Al-Imam Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,
“Makna yang sepantasnya dipegangi (dari hadits ini) dan kembali kepadanya, yakni mengamalkan sesuatu yang ditunjukkan oleh susunan kalimat ini berdasarkan sesuatu yang dituntut oleh bahasa Arab. Jadi, sunnah adalah jalan hidup. Seakan-akan beliau bersabda, “Lazimilah jalan hidupku dan jalan hidup Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali -radhiyallahu anhum-)”. Sedangkan jalan hidup mereka sama dengan jalan hidup Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah manusia yang amat kuat semangatnya dan pengamalannya terhadap sunnah dalam segala dan dalam segala kondisi. Mereka menjaga diri dari menyelisihi beliau dalam perkara yang paling kecil, apalagi dalam perkara yang paling besar. Jika mereka tak mampu menemukan dalil dari Kitabullah  dan Sunnah Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka mereka mengamalkan pendapat yang tampak (kuat) setelah mengadakan pemeriksaan, riset, musyawarah dan tadabbur. Pendapat (mereka) ini ketika tak ada dalil juga merupakan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”.[12]

Hadits yang mulia ini bila kita tadabburi kata demi kata yang ada di dalamnya, maka kita akan mendapatkan beberapa buah faedah:
a.     Ketika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menggandengkan sunnahnya dengan sunnah para kholifah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa Islam tak mungkin akan dipahami dengan baik, kecuali dengan bantuan pemahaman para salaf.
b.    Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menganggap bahwa sunnah para kholifah yang empat sebagai sunnah beliau. Dari sini jelas bahwa sunnah mereka termasuk sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
c.     Beliau seusai menganjurkan untuk mengikuti sunnahnya sunnah para kholifah itu, beliau mengingatkan tentang bahaya bid’ah. Ini menunjukkan bahwa setiap orang yang menyelisihi manhaj salaf, akan terjatuh dalam bid’ah, walaupun ia tak sadar.
d.    Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menganggap bahwa berpegang dengan sunnah beliau dan sunnah para kholifah yang empat adalah jalan keluar (solusi) dari segala macam perselisihan dan perbuatan bid’ah. Jadi, Barangsiapa yang senantiasa melazimi sunnah, sedang ia tak berpaling kepada selainnya, maka ia termasuk Al-Firqoh An-Najiyah (Golongan yang Selamat).[13]
e.     Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah memasukkan sunnahnya dan sunnah para kholifah beliau ke dalam perselisihan yang banyak. Ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sisi Allah. Sebab, perselisihan yang banyak bukan berasal dari Allah!![14]

Para pembaca yang budiman, kesungguhan para sahabat dalam mempelajari agamanya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu mengamalkannya sebagai bentuk keteladanan mereka kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah perkara yang tak perlu diragukan lagi!!!

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam memuji para sahabatnya,
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Tak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada suatu umat sebelumku, kecuali nabi itu memiliki murid-murid setia dan sahabat yang berpegang teguh dengan sunnahnya dan meneladani urusan (agama)nya. Kemudian muncullah setelah mereka generasi pengganti yang mengucapkan sesuatu yang mereka tak kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang mereka tak diperintahkan (untuk dikerjakan). Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan tangannya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan lisannya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan hatinya, maka ia mukmin. Tak ada lagi keimanan seberat biji sawi di balik itu semua”.[15]

Siapakah yang paling kuat dan sangat tegar dalam berpegang teguh dengan sunnah dan meneladaninya? Tak ada jawaban lain, selain para sahabat. Lain halnya dengan generasi selain mereka, apalagi seiring dengan jauhnya zaman kenabian; manusia semakin jauh dari sunnah. Banyak bid’ah dan penyimpangan yang bermunculan. Bahkan sebagian orang yang dahulu kita harap sebagai pembela sunnah, ternyata ia hanya membela sunnah demi kepentingan pribadi dan dunia yang hina; ia hanya menginginkan popularitas dan memperkaya diri. Adapun para sahabat, mereka mengorbankan segala yang mereka miliki di jalan Allah. Jangankan harta dan lainnya, nyawa saja mereka siap korbankan demi Allah. Subhanallah, semoga kita dijadikan seperti mereka.

Kemudian ada sebuah pertanyaan yang akan muncul dalam benak kita, “Bagaimanakah cara para sahabat berpegang dengan sunnah dan meneladani agama yang dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-?” Tentunya mereka tak mungkin akan berpegang teguh dengan sunnah atau meneladani agama, kecuali dengan ilmu. Sebab mereka tak akan mengamalkan sesuatu sebelum mereka mengilmuinya. Jadi, keutamaan dan pujian kepada, semuanya kembali kepada ilmu yang menumbuhkan iman dan amal sholih. Inilah yang biasa disebut dengan “ilmu yang bermanfaat” (العِلْمُ النَّافِعُ).[16]

Ilmu yang bermanfaat inilah yang menjadi sebab para sahabat selamat dari segala macam penyimpangan dan siksa neraka. Ilmu yang mendapatkan bimbingan dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga mereka berada di atas petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang murni, belum terkotori dengan segala macam penyimpangan dan kesalahan. Semua ini mengisyaratkan kepada kita bahwa manhaj (jalan hidup) para sahabat dalam beragama adalah hujjah yang wajib kita teladani. Hujjah yang akan menghindarkan kita dari pemikiran sesat!!

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka, kecuali satu golongan” Mereka bertanya, “Siapakah golongan itu?” Beliau jawab, “Sesuatu yang aku pijaki dan para sahabatku”.[17]
Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berada di atas sebuah millah (agama). Mereka bersatu di atas prinsip agama dan kaedah yang sama sebagai manhaj bagi mereka dalam beragama dan beribadah kepada Allah. Jadi, menyelisihi manhaj mereka dalam perkara-perkara prinsip adalah penyimpangan yang diingatkan dalam hadits ini.

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshoriy yang dikenal Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Ini menjelaskan bahwa perpecahan yang di-tahdzir (diingatkan bahayanya) di dalam ayat ini[18] dan hadits ini hanyalah dalam perkara prinsip agama dan kaedah-kaedahnya, karena perpecahan (dalam perkara itu) disebut dengan millah (agama). Hal ini juga mengabarkan bahwa berpegang teguh dengan sesuatu diantara millah-millah itu akan menyebabkan seseorang masuk neraka”.[19]

Tak ada jalan keselamatan dari penyimpangan dan api neraka, melainkan seseorang mengikuti manhaj dan jalan hidup para salaf (pendahulu) kita yang sholih dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang menapaki jalan mereka dalam beragama. Sebuah jalan yang lurus dan telah digariskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi mereka sewaktu beliau masih hidup di antara mereka. Jalan lurus yang mereka lalui telah jelas dengan sejelas-jelasnya melalui penerangan Guru mereka, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah membuat sebuah garis bagi kami seraya bersabda, “Inilah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat lagi beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis tersebut seraya bersabda, “Inilah beberapa jalan yang bermacam-macam. Di atas setiap jalan diantaranya terdapat setan yang mengajak kepadanya”.[20]

Demikianlah para sahabat mendapatkan bimbingan dalam bermanhaj, baik dalam perkara ushul (prinsip), maupun furu’, sehingga mereka ditinggalkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang mereka masih tetap berada di atas minhaj nubuwwah.

Al-Imam Abdul Qohir Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata,
“Dahulu kaum muslimin ketika wafatnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, semuanya berada di atas sebuah manhaj dalam ushuluddin (prinsip agama) dan furu’-nya, selain orang-orang yang menampakkan kesamaan dan menyembunyikan kemunafikan”.[21]

Bagaimana mereka tidak berada di atas jalan yang sama, sedang mereka telah mendapatkan bimbingan dan pengajaran dengan seterang-terangnya. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh aku akan meninggalkan kalian di atas yang yang putih (terang). Malamnya seperti siangnya. Tak ada yang menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa”.[22]

Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah meninggalkan para sahabatnya di atas agama yang lurus lagi kokoh dan jalan yang putih bersih, tak ada kekaburan dan kesamaran padanya. Tak ada udzur bagi orang yang menyimpang darinya. Karena, hujjah telah tegak dan sampai kepadanya. Demikian itu termasuk kekhususan para sahabat. Sebab mereka itu tak sama dengan yang lain. Mereka telah menerima dan menyampaikan (risalah), sedang manusia adalah pengikut mereka dalam hal ilmu dengan penjelasan yang bersih ini dan manusia berutang jasa kepada mereka. Karena, perkara seperti ini –pada asalnya- tak cocok bagi yang lainnya. Jadi, setiap perkara yang samara, bermasalah dan kabur, maka penjelasan dan penerangannya terdapat dalam ilmu para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, baik dalam perkara aqidah, ucapan, perbuatan, mau pun dalam seluruh perkara agama. Hal ini tak diketahui oleh orang yang jahil dan diketahui oleh orang yang tahu. Semua ini memutuskan wajibnya kembali kepada ilmu mereka ketika terjadinya masalah, kekaburan dan perselisihan”.[23]

Para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah manusia pilihan yang diberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak diberikan kepada generasi setelahnya dalam menyampaikan risalah dan dakwah Islam. Mereka diberikan keikhlasan dan kesabaran yang tinggi dalam mencari kebaikan dan menyebarkannya.

Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu anhu- berkata,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ ، وَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ قُلُوْبِ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ
"Sesungguhnya Allah -Ta'ala- telah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik hati hamba. Lantaran itu, Allah memilihnya untuk diri-Nya, dan mengutusnya membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat lagi hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menemukan hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Lantaran itu, Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya; mereka berperang di atas agama-Nya".[24]

Abdu Robbih bin Abd Al-Azdiy -rahimahullah- berkata,
عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ الْحَسَنِ فِيْ مَجْلِسٍ ، فَذَكَرَ كَلاَمًا ، وَذَكَرَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ : « أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا -وَرَبِّ الْكَعْبَةِ- عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيْمِ
"Kami pernah berada di sisi Al-Hasan di suatu majelis. Kemudian beliau menyebutkan suatu ucapan, dan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, "Mereka itulah para sahabat Muhammad, mereka orang-orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, paling sedikit pemaksaan dirinya. Mereka adalah kaum  yang dipilih oleh Allah -Azza wa Jalla- untuk menemani Nabi-Nya, dan menegakkan agama-Nya. Lantaran itu, tirulah akhlak mereka, dan jalan hidup (manhaj) mereka, karena mereka –demi Tuhannya Ka'bah—berada di atas jalan yang lurus".[25]

Semua ini menjelaskan kepada kita tentang wajibnya kembali kepada manhaj salaf, manhaj para sahabat dan pengikutnya. Sebab manhaj (jalan) mereka dalam beragama adalah perkara yang mereka talaqqi (terima) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai guru dan pembimbing mereka.

Barang siapa yang mencontoh para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka ia akan selamat. Karena, jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang lurus dan pintas. Jalan mereka bukanlah jalan berliku-liku dan berkelak-kelok nan jauh.

Lantaran itu, sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata,
من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ؛ فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا وأعمقها علما وأقلها تكلفا وأقومها هديا وأحسنها حالا ، قوما اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم ، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم ؛ فإنهم كانوا على الهدى المستقيم
“Baransiapa diantara kalian yang mau berteladan, maka hendaknya ia berteladan kepada para sahabat Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini; paling dalam ilmunya, amat sedikit pemaksaan dirinya, paling lurus petunjuknya dan paling baik kondisinya. Mereka adalah kaum yang Allah -Ta'ala- pilih untuk menemani Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-. Lantaran itu, kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak-jejak mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus”.[26]

Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qoyyim ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
“Diantara perkara yang mustahil, orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, amat sedikit pemaksaan dirinya, paling lurus petunjuknya dan paling baik kondisinya, bila Allah menghalanginya dari kebenaran dalam hukum-hukum mereka, lalu generasi yang ada setelah diberi taufiq dalam hal itu”.[27]

Inilah beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan wajibnya berpegang teguh dengan manhaj para sahabat dalam beragama. Apa yang kami bawakan disini, hanyalah sebagian diantara dalil-dalil tersebut. Andaikan bukan waktu yang membatasi kita dan perasaan bosan yang akan menimpa pembaca, niscaya kami akan membawakan lagi beberapa dalil dan atsar dari para sahabat serta kalam para ahli ilmu dari zaman ke zaman yang menyatakan bahwa manhaj para sahabat adalah hujjah yang dipegangi oleh setiap orang yang mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab jalan satu-satunya yang terbaik menuju surga adalah jalan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi para sahabat dan umatnya setelah itu. Dari sini kita juga telah mengetahui kebatilan sebagian orang-orang yang melenceng dari manhaj salaf ketika mereka berhujjah dengan ucapan yang tak diketahui asal-muasalnya, yaitu ungkapan batil, “Banyak jalan menuju Roma”.

Dari sisi hujjah, ungkapan ini telah batil berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah berlalu. Dari sisi akal, ungkapan ini juga batil. Sebab, memang banyak jalan menuju Roma, tapi tidak semua jalan itu baik dan nyaman, bahkan boleh jadi mencelakakan.

Terakhir, kami berharap kepada Allah semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan menjadi bahan renungan agar kita senantiasa di atas jalan dan manhaj salaf. Semoga kita semua dikumpulkan bersama mereka di dalam surga, amiin.






[1] HR. Muslim dalam Kitab Al-Fitan wa Asyrooh As-Saa’ah, bab: fi Shifah Ad-Dajjal wa Tahrim Al-Madinah alaih wa Qotlih Al-Mu’min wa Ihyaa’ih (no. 7303-113/3)
[2] Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Sholihin (3/288-289), cet. Dar Ibnil Jauziy, 1422 H.
[3] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadaat, bab: Laa Yasyhadu Syahadah Jaur idzaa Usyhida (no. 2652) dan Muslim dalam Kitab Fadho’il Ash-Shohabah, bab: Fadhl Ash-Shohabah tsummalladzina Yalunahum tsummalladzina Yalunahum (52/no. 208/6414)
[4] Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (7/10), cet. Darus Salam, 1421 H.
[5] Lihat Al-Minhaj (15/301), cet. Darul Ma’rifah, 1420 H.
[6] HR. Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah (no. 2531)
[7] Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ Ash-Shogier (6/385) karya Abdur Ro’uf Al-Munawiy.
[8] Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (1/166).
[9] Sahabat yang paling terakhir meninggal secara mutlak adalah Abu At-Tufail Amir bin Watsilah Al-Laitsiy -radhiyallahu anhu-. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (7/229) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, cet. Dar Al-Fikr, 1404 H dan Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (7/8), tahqiq Ali bin Abdil Aziz Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]
[10] HR. Abu Dawud dalam Kitab As-Sunnah, bab: Fi Luzum As-Sunnah (4607), At-Tirmidziy dalam Kitab Al-Ilm, bab: Maa Jaa’a fil Akhdzi bis Sunnah wa Ijtinaab Al-Bida’ (2676) dan Ibnu Majah dalam Al-Muqoddimah, bab: Ittiba’ Sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Rosyidin Al-Mahdiyyin (no. 43 & 44). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (no. 2455) dan Ash-Shohihah (no. 937).
[11] Hadits ini juga bantahan kuat atas kaum Syi’ah-Rofidhoh yang mengkafirkan Abu Bakr, Umar dan Utsman -radhiyallahu anhum-. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyifati mereka sebagai mahdiyyun (orang-orang yang mendapatkan petunjuk), namun Syi’ah menggelari para sahabat tersebut sebagai orang-orang kafir. Sungguh lancang kaum Syi’ah-Rofidhoh!! Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal kepada mereka!!!
[12] Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy () karya Al-Imam Al-Mubarokfuriy.
[13] Inilah sebabnya Ahlus Sunnah disebut juga dengan nama “Al-Firqoh An-Najiyah” (Golongan yang Selamat). Karena berpegangnya mereka dengan sunnah, maka mereka selamat di dunia dari segala macam bid’ah dan perpecahan; di akhirat mereka juga akan selamat dari neraka. Allahummaj’alnaa minhum.
[14] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 70-72) karya Syaikh Salim Al-Hilaliy.
[15] HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (no. 50)
[16] Lihat Fadhl Ilm As-Salaf ala Ilm Al-Kholaf (hal. 1-10).
[17] HR. At-Tirmidziy (no. 2641). Hadits di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ Ash-Shogir (no. 5343) dan Ash-Shohihah (no. 1348).
[18] Yakni ayat ke-53 dalam Surah Al-Mu’minun.
[19] Lihat Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an (12/137) oleh Al-Qurthubiy, tahqiq Muhammad bin Ibrahim Al-Hafnawiy, cet. Darul Hadits, 1416 H.
[20] HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/435 & 465), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (no. 11174), Ad-Darimiy dalam As-Sunan (no. 208), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 208).
[21] Lihat Al-Farqu Bainal Firoq (hal. 14) karya Abdul Qohir Al-Baghdadiy, via Basho’ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 83).
[22] HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (no. 48 & 49). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (59).
[23] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 84).
[24] [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/379), Ath-Thoyalisiy Al-Musnad (246), Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (105), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no. 1144)]
[25] [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/305), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no. 1161)]
[26] HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’Bayanil Ilm (2/97) dan lainnya. Syaikh Al-Albaniy menisbahkan atsar ini kepada Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- dalam Ash-Shohihah (no. 2648).
[27] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/400), tahqiq Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya yang sopan