.............................................................................................................
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- telah memberikan persaksian
kepada para sahabat di dalam Al-Qur’an bahwa mereka adalah manusia-manusia
pilihan yang memiliki banyak keistimewaan (khususnya, dalam perkara ilmu,
amanah, keikhlasan mereka dalam berjihad demi menyampaikan risalah Islam kepada
semua umat manusia), sehingga semua menjadi bukti dan contoh yang kuat bagi
kita tentang wajibnya mengikuti manhaj para salaf, manhaj para sahabat
-radhiyallahu anhum-.
Jika di dalam Al-Qur’an Allah memberikan tazkiyah
(rekomendasi) bagi manhaj para sahabat sebagai manhaj yang haqq dan wajib kita
ikuti, maka tak pelak bila Rasul Allah, Nabi Muhammad bin Abdillah -Shallallahu
alaihi wa sallam- juga memberikan tazkiyah kepada mereka. Tazkiyah yang lahir
dari sebuah pengalaman hidup dan bimbingan Allah -Azza wa Jalla-. Beliau telah
melihat keikhlasan dan kesungguhan mereka dalam berjihad dengan ilmu,
lisan, harta dan jiwa mereka. Keikhlasan dan kesungguhan yang membawa rahmat
dan pertolongan dari Allah. Cukuplah sebagai bukti atas keikhlasan dan
kesungguhan mereka, sampainya ilmu dan hidayah menuju Islam dan sunnah yang murni
melalui tangan mereka. Nama dan usaha mereka senantiasa harum sepanjang
perjalanan sejarah kehidupan manusia sampai tegaknya kiamat.
Bukankah sebuah kebanggaan bagi para sahabat ketika Allah
tidak lagi melahirkan suatu generasi yang tiada serupanya; hidup dan berjihad
bersama Rasul Allah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang memili kedudukan tinggi
di sisi Allah. Tak ada suatu generasi yang datang setelah mereka, kecuali
generasi itu pasti akan berutang budi kepada para sahabat. Bagaimana tidak,
sementara para sahabatlah yang menjadi mata rantai pertama sehingga ilmu hadits
dan sunnah sampai kepada kita. Bahkan semua ajaran Islam yang tercatat dalam
Al-Qur’an, semuanya sampai kepada kita melalui jalur periwayatan para sahabat
sebagai murid Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang siap meneruskannya
kepada generasi selanjutnya
.
Di hari-hari yang penuh kesusahan, saat munculnya dajjal,
banyak manusia yang tersesat dan mengikuti agama sesat yang diserukan oleh
Dajjal, kecuali mereka yang mempertahankan ilmu dan hidayah yang mereka dari
Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyyah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
mengabarkan kisah manusia beriman di akhir zaman saat ia bertemu dengan Dajjal,
فَإِذَا رَآهُ الْمُؤْمِنُ
قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذَا الدَّجَّالُ الَّذِي ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Bila Dajjal dilihat orang yang beriman, maka ia (orang beriman
itu) akan berkata, “Inilah Dajjal yang pernah disebutkan oleh Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam-”.[1]
Disini akan
muncul sebuah pertanyaan, “Dari manakah orang beriman itu mengenal Dajjal?” Jawabnya,
ia mengetahui dan mengenalnya melalui hadits-hadits tentang Dajjal yang telah
diriwayatkan oleh para sahabat dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kemudian para sahabat meriwayatkannnya kepada para ulama tabi’in, dan para
tabi’in juga meriwaayatkannya kepada para muridnya. Begitulah seterusnya sampai
kepada para imam yang menulis hadits, semisal Imam Al-Bukhoriy, Muslim bin
Al-Hajjaj, Abu Dawud As-Sijistaniy, Abu Isa At-Tirmidziy, An-Nasa’iy, Ibnu
Majah, Ahmad bin Hambal dan lainnya. Selanjutnya hadits-hadits itu tersebar dan
dihafal oleh banyak orang serta dinukil dengan alat sederhana sampai munculnya
alat percetakan modern, sehingga abadilah sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- sampai akhir zaman.
Syaikh
Abu Usamah Salim Al-Hilaly -hafizhahullah- saat
memetik faedah makna yang terkandung di dalam hadits yang mulia ini, “Sunnah
Nabawiyyah yang shohih akan terus terjaga sampai akhir zaman. Perkara yang
menunjukkan hal itu bahwa orang yang beriman itu mengenal Dajjal melalui Sunnah
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-…Eksisnya mata rantai sanad
(periwayatan) dalam keadaan tersambung awalnya dengan Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam-”.[2]
Hadits ini
menjadi bukti kuat bahwa para sahabat memiliki banyak kebaikan dan jasa dalam
mempelajari ilmu dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, mengajarkan
dan menyampaikannya kepada generasi setelah sehingga tak ada suatu tempat,
kecuali nama mereka dikenal.
Oleh karena itu, amat layak bila Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ
تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ
وَكَانُوا يَضْرِبُونَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, lalu orang-orang
yang berikutnya (para tabi’in), lalu orang-orang yang berikutnya (para
tabi’ut-tabi’in). Kemudian akan datang beberapa kaum yang persaksian seorang
diantara mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”.
Ibrahim (yakni, An-Nakho’iy) berkata, “Dahulu mereka memukul kami karena
persaksian dan sumpah”.[3]
Hadits ini merupakan rekomendasi bagi tiga generasi emas
(sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) bahwa mereka adalah manusia terbaik
dalam memahahi, mengamalkan, menyampaikan dan memperjuangkan Islam.
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy
-rahimahullah- berkata, “Hadits ini dijadikan dalil dalam
merekomendasi tiga generasi tersebut, walaupun tingkatan mereka dalam hal
keutamaan berbeda-beda. Hal ini dibawa kepada yang dominan, sebab sungguh
dijumpai ada orang setelah sahabat dari kalangan dua generasi (tabi’in dan tabi’ut
tabi’in) yang terdapat pada dirinya sifat-sifat yang tercela tersebut. Hanya
saja hal itu jarang. Beda halnya dengan orang-orang yang ada setelah tiga
generasi ini, maka sifat-sifat tercela itu banyak dan masyhur di kalangan
mereka”. [4]
Sesuatu yang ditegaskan
merupakan perkara yang sudah masyhur di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
bahkan ia termasuk ijma’ (kesepakatan) para ulama’. Tak heran bila para ulama
dari zaman ke zaman senantiasa mengagungkan para sahabat, menghormati dan
mengedepankan mereka atas generasi lain yang datang setelah mereka.
Al-Imam Abu
Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para
ulama telah sepakat bahwa generasi yang terbaik adalah generasi Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang yang dimaksudkan adalah para sahabat.
Sungguh kami telah utarakan bahwa pendapat yang benar, dipijaki oleh mayoritas
ulama bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, walaupun sejenak, maka ia termasuk sahabat. Riwayat yang berbunyi, “Sebaik-baik
umat”, ia berdasarkan keumumannya. Sedang yang dimaksudkan darinya adalah
keumuman generasi itu. Hal itu tidaklah mengharuskan adanya pengutamaan para
sahabat atas para nabi –Sholawatullahi wa salamuhu alaih- atau pengutamaan
person-person wanita atas Maryam, Asiyah (istri Fir’aun) dan lainnya. Bahkan
yang dimaksudkan adalah keumuman generasi tersebut bila dihubungkan dengan
semua generasi secara global”.[5]
1.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا
ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا
ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا
ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Bintang-bintang adalah pengaman bagi langit. Bila
bintang hilang, maka aka datanglah kepada langit sesuatu yang dijanjikan
padanya. Sedang aku adalah pengaman bagi para sahabatku. Bila aku pergi, maka
akan datanglah kepada para sahabatku sesuatu yang dijanjikan kepada mereka. Para sahabatku adalah pengaman bagi bagi umatku. Bila
sahabatku pergi, maka datanglah kepada umatku sesuatu yang dijanjikan baginya”.[6]
Di dalam hadits terdapat suatu gambaran bahwa keberadaan
para sahabat akan menjadi jaminan bagi umat dari segala macam bid’ah, berkuasa
pemikiran sesat, munculnya banyak keyakinan batil, berkuasanya kaum kuffar atas
kaum muslimin. Ketika wafatnya para sahabat, maka muncullah segala macam
penyimpangan, bid’ah, kemusyrikan dan kekafiran.[7]
Bila anda mengamati hadits ini, maka anda akan
mendapatkan suatu faedah berharga bahwa manhaj (jalan hidup) para sahabat
adalah hujjah dan petunjuk yang wajib diikuti oleh generasi setelahnya, sebab
tak ada suatu permasalahan yang mereka tetapkan, kecuali mereka merujuk dan
kembali kepada sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, perbuatan dan
petunjuk beliau.
Al-Imam Al-Mubarok bin Muhammad Al-Jazariy
-rahimahullah- yang dikenal dengan Ibnul
Atsir berkata, “Isyarat (yang terdapat dalam hadits ini)
adalah tentang datangnya keburukan ketika hilangnya para pelaku kebaikan.
Karena, tatkala beliau berada di tengah mereka, maka beliau menjelaskan kepada
mereka sesuatu yang mereka perselisihkan tentangnya. Tatkala beliau wafat, maka
muncullah berbagai macam pendapat dan pemikiran pun berbeda. Para
sahabat dahulu mengembalikan urusan kepada Rasul -Shallallahu alaihi wa
sallam-, baik dalam bentuk sabda, perbuatan atau petunjuk. Tatkala beliau
hilang (wafat), maka cahaya berkurang dan kezhaliman semakin menguat. Demikianlah
kondisi langit ketika hilangnya bintang-bintang”.[8]
Ketika meninggalnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
mulailah muncul perselisihan. Hanya saja perselisihan itu masih bisa di atasi
oleh para sahabat dengan ilmu dan iman yang mereka miliki. Adapun setelah
meninggalnya para sahabat, maka muncullah banyak pemikiran sesat serta berbagai
warna kekafiran dan kesyirikan.[9]
Tatkala muncul berbagai macam perselisihan dalam
beragama, maka tak ada solusi yang paling jitu, kecuali kembali kepada para
sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah
yang mereka terima dari Guru mereka, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Inilah yang ditegaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam sabdanya,
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Lazimilah ketaqwaan kepada Allah, mendengar, dan taat
(kepada pemerintah), walaupun ia hamba Habasyah. Kalian akan melihat setelahku
perselisihan yang banyak. Lantaran itu, pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafa’
Ar-Rosyidiin (yang lurus) lagi mendapatkan petunjuk. Gigitlah dengan gigi
geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan, karena
semua bid’ah adalah sesat”.[10]
Ini merupakan pujian dan rekomendasi seorang guru kepada
muridnya. Sang Guru yang mulia, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah
mempersaksikan bahwa para sahabatnya yang empat (Abu Bakr, Umar, Utsman dan
Ali) -radhiyallahu anhum- adalah memiliki jalan hidup dan manhaj yang sama
dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah manusia yang
paling paham tentang maksud Allah dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Mereka telah terdidik langsung di hadapan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jadi, wajar bila mereka memiliki kedudukan tinggi seperti ini.[11]
Al-Imam Asy-Syaukaniy -rahimahullah-
berkata,
“Makna yang sepantasnya dipegangi (dari hadits ini) dan
kembali kepadanya, yakni mengamalkan sesuatu yang ditunjukkan oleh susunan
kalimat ini berdasarkan sesuatu yang dituntut oleh bahasa Arab. Jadi, sunnah
adalah jalan hidup. Seakan-akan beliau bersabda, “Lazimilah jalan hidupku dan
jalan hidup Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali -radhiyallahu
anhum-)”. Sedangkan jalan hidup mereka sama dengan jalan hidup Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah manusia yang amat kuat
semangatnya dan pengamalannya terhadap sunnah dalam segala dan dalam segala
kondisi. Mereka menjaga diri dari menyelisihi beliau dalam perkara yang paling
kecil, apalagi dalam perkara yang paling besar. Jika mereka tak mampu menemukan
dalil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka mereka mengamalkan pendapat yang
tampak (kuat) setelah mengadakan pemeriksaan, riset, musyawarah dan tadabbur.
Pendapat (mereka) ini ketika tak ada dalil juga merupakan sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-”.[12]
Hadits yang mulia ini bila kita tadabburi kata demi kata
yang ada di dalamnya, maka kita akan mendapatkan beberapa buah faedah:
a.
Ketika Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- menggandengkan sunnahnya dengan sunnah para
kholifah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa Islam tak mungkin akan dipahami
dengan baik, kecuali dengan bantuan pemahaman para salaf.
b.
Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- menganggap bahwa sunnah para kholifah yang empat
sebagai sunnah beliau. Dari sini jelas bahwa sunnah mereka termasuk sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-.
c.
Beliau seusai
menganjurkan untuk mengikuti sunnahnya sunnah para kholifah itu, beliau
mengingatkan tentang bahaya bid’ah. Ini menunjukkan bahwa setiap orang yang
menyelisihi manhaj salaf, akan terjatuh dalam bid’ah, walaupun ia tak sadar.
d.
Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- menganggap bahwa berpegang dengan sunnah beliau
dan sunnah para kholifah yang empat adalah jalan keluar (solusi) dari segala
macam perselisihan dan perbuatan bid’ah. Jadi, Barangsiapa yang senantiasa
melazimi sunnah, sedang ia tak berpaling kepada selainnya, maka ia termasuk
Al-Firqoh An-Najiyah (Golongan yang Selamat).[13]
e.
Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah memasukkan sunnahnya dan sunnah para
kholifah beliau ke dalam perselisihan yang banyak. Ini menunjukkan bahwa
keduanya berasal dari sisi Allah. Sebab, perselisihan yang banyak bukan berasal
dari Allah!![14]
Para pembaca yang budiman, kesungguhan para sahabat dalam
mempelajari agamanya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu
mengamalkannya sebagai bentuk keteladanan mereka kepada Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- adalah perkara yang tak perlu diragukan lagi!!!
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam
memuji para sahabatnya,
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ
قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ
وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ
مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Tak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada suatu umat
sebelumku, kecuali nabi itu memiliki murid-murid setia dan sahabat yang
berpegang teguh dengan sunnahnya dan meneladani urusan (agama)nya. Kemudian
muncullah setelah mereka generasi pengganti yang mengucapkan sesuatu yang
mereka tak kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang mereka tak diperintahkan
(untuk dikerjakan). Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan
tangannya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan
lisannya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang berjihad (menghadapi) mereka dengan
hatinya, maka ia mukmin. Tak ada lagi keimanan seberat biji sawi di balik itu
semua”.[15]
Siapakah yang paling kuat dan sangat tegar dalam
berpegang teguh dengan sunnah dan meneladaninya? Tak ada jawaban lain, selain
para sahabat. Lain halnya dengan generasi selain mereka, apalagi seiring dengan
jauhnya zaman kenabian; manusia semakin jauh dari sunnah. Banyak bid’ah dan
penyimpangan yang bermunculan. Bahkan sebagian orang yang dahulu kita harap
sebagai pembela sunnah, ternyata ia hanya membela sunnah demi kepentingan
pribadi dan dunia yang hina; ia hanya menginginkan popularitas dan memperkaya diri.
Adapun para sahabat, mereka mengorbankan segala yang mereka miliki di jalan
Allah. Jangankan harta dan lainnya, nyawa saja mereka siap korbankan demi
Allah. Subhanallah, semoga kita dijadikan seperti mereka.
Kemudian ada sebuah pertanyaan yang akan muncul dalam
benak kita, “Bagaimanakah cara para sahabat berpegang dengan sunnah dan
meneladani agama yang dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-?”
Tentunya mereka tak mungkin akan berpegang teguh dengan sunnah atau meneladani
agama, kecuali dengan ilmu. Sebab mereka tak akan mengamalkan sesuatu sebelum
mereka mengilmuinya. Jadi, keutamaan dan pujian kepada, semuanya kembali kepada
ilmu yang menumbuhkan iman dan amal sholih. Inilah yang biasa disebut dengan
“ilmu yang bermanfaat” (العِلْمُ النَّافِعُ).[16]
Ilmu yang bermanfaat inilah yang menjadi sebab para
sahabat selamat dari segala macam penyimpangan dan siksa neraka. Ilmu yang
mendapatkan bimbingan dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga mereka berada
di atas petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang murni, belum
terkotori dengan segala macam penyimpangan dan kesalahan. Semua ini mengisyaratkan
kepada kita bahwa manhaj (jalan hidup) para sahabat dalam beragama adalah
hujjah yang wajib kita teladani. Hujjah yang akan menghindarkan kita dari
pemikiran sesat!!
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam
neraka, kecuali satu golongan” Mereka bertanya, “Siapakah golongan itu?” Beliau
jawab, “Sesuatu yang aku pijaki dan para sahabatku”.[17]
Hadits ini menunjukkan
bahwa para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berada di atas sebuah millah
(agama). Mereka bersatu di atas prinsip agama dan kaedah yang sama sebagai
manhaj bagi mereka dalam beragama dan beribadah kepada Allah. Jadi, menyelisihi
manhaj mereka dalam perkara-perkara prinsip adalah penyimpangan yang diingatkan
dalam hadits ini.
Al-Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshoriy yang dikenal Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Ini
menjelaskan bahwa perpecahan yang di-tahdzir (diingatkan bahayanya) di
dalam ayat ini[18]
dan hadits ini hanyalah dalam perkara prinsip agama dan kaedah-kaedahnya,
karena perpecahan (dalam perkara itu) disebut dengan millah (agama). Hal ini
juga mengabarkan bahwa berpegang teguh dengan sesuatu diantara millah-millah
itu akan menyebabkan seseorang masuk neraka”.[19]
Tak ada jalan
keselamatan dari penyimpangan dan api neraka, melainkan seseorang mengikuti
manhaj dan jalan hidup para salaf (pendahulu) kita yang sholih dari kalangan
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang menapaki jalan
mereka dalam beragama. Sebuah jalan yang lurus dan telah digariskan oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- bagi mereka sewaktu beliau masih hidup di antara
mereka. Jalan lurus yang mereka lalui telah jelas dengan sejelas-jelasnya
melalui penerangan Guru mereka, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Abdullah bin Mas’ud
-radhiyallahu anhu- berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا
عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ
عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah membuat
sebuah garis bagi kami seraya bersabda, “Inilah jalan Allah”. Kemudian beliau
membuat lagi beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis tersebut seraya
bersabda, “Inilah beberapa jalan yang bermacam-macam. Di atas setiap jalan
diantaranya terdapat setan yang mengajak kepadanya”.[20]
Demikianlah para sahabat mendapatkan bimbingan dalam
bermanhaj, baik dalam perkara ushul (prinsip), maupun furu’, sehingga mereka
ditinggalkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang mereka masih
tetap berada di atas minhaj nubuwwah.
Al-Imam Abdul Qohir Al-Baghdadiy
-rahimahullah- berkata,
“Dahulu kaum muslimin ketika wafatnya Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam-, semuanya berada di atas sebuah manhaj dalam
ushuluddin (prinsip agama) dan furu’-nya, selain orang-orang yang menampakkan
kesamaan dan menyembunyikan kemunafikan”.[21]
Bagaimana mereka tidak berada di atas jalan yang sama,
sedang mereka telah mendapatkan bimbingan dan pengajaran dengan
seterang-terangnya. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ
لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh aku
akan meninggalkan kalian di atas yang yang putih (terang). Malamnya seperti
siangnya. Tak ada yang menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa”.[22]
Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
-rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah
meninggalkan para sahabatnya di atas agama yang lurus lagi kokoh dan jalan yang
putih bersih, tak ada kekaburan dan kesamaran padanya. Tak ada udzur bagi orang
yang menyimpang darinya. Karena, hujjah telah tegak dan sampai kepadanya.
Demikian itu termasuk kekhususan para sahabat. Sebab mereka itu tak sama dengan
yang lain. Mereka telah menerima dan menyampaikan (risalah), sedang manusia
adalah pengikut mereka dalam hal ilmu dengan penjelasan yang bersih ini dan
manusia berutang jasa kepada mereka. Karena, perkara seperti ini –pada asalnya-
tak cocok bagi yang lainnya. Jadi, setiap perkara yang samara, bermasalah
dan kabur, maka penjelasan dan penerangannya terdapat dalam ilmu para sahabat
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, baik dalam perkara aqidah, ucapan,
perbuatan, mau pun dalam seluruh perkara agama. Hal ini tak diketahui oleh
orang yang jahil dan diketahui oleh orang yang tahu. Semua ini memutuskan
wajibnya kembali kepada ilmu mereka ketika terjadinya masalah, kekaburan dan
perselisihan”.[23]
Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu
anhu- berkata,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ ، وَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ،
ثُمَّ نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ قُلُوْبِ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ
وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ
"Sesungguhnya Allah -Ta'ala- telah melihat hati para
hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah
sebaik-baik hati hamba. Lantaran itu, Allah memilihnya untuk diri-Nya, dan
mengutusnya membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat lagi hati para
hamba-Nya setelah hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menemukan
hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Lantaran itu, Dia
menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya; mereka berperang di atas agama-Nya".[24]
Abdu Robbih bin Abd Al-Azdiy
-rahimahullah- berkata,
عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ
قَالَ : كُنَّا عِنْدَ الْحَسَنِ فِيْ مَجْلِسٍ ، فَذَكَرَ كَلاَمًا ، وَذَكَرَ أَصْحَابَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ : « أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا
تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَإِقَامَةِ
دِيْنِهِ ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا
-وَرَبِّ الْكَعْبَةِ- عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيْمِ
"Kami
pernah berada di sisi Al-Hasan di suatu majelis. Kemudian beliau menyebutkan
suatu ucapan, dan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya
berkata, "Mereka itulah para sahabat Muhammad, mereka orang-orang yang
paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, paling
sedikit pemaksaan dirinya. Mereka adalah kaum
yang dipilih oleh Allah -Azza wa Jalla- untuk menemani Nabi-Nya, dan
menegakkan agama-Nya. Lantaran itu, tirulah akhlak mereka, dan jalan hidup
(manhaj) mereka, karena mereka –demi Tuhannya Ka'bah—berada di atas jalan yang
lurus".[25]
Semua ini menjelaskan kepada kita tentang wajibnya
kembali kepada manhaj salaf, manhaj para sahabat dan pengikutnya. Sebab
manhaj (jalan) mereka dalam beragama adalah perkara yang mereka talaqqi
(terima) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai guru dan pembimbing
mereka.
Barang siapa yang mencontoh para sahabat Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam-, maka ia akan selamat. Karena, jalan yang mereka tempuh
adalah jalan yang lurus dan pintas. Jalan mereka bukanlah jalan berliku-liku
dan berkelak-kelok nan jauh.
Lantaran itu, sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud
-radhiyallahu anhu- berkata,
من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى
الله عليه وسلم ؛ فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا وأعمقها علما وأقلها تكلفا وأقومها
هديا وأحسنها حالا ، قوما اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم ، فاعرفوا
لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم ؛ فإنهم كانوا على الهدى المستقيم
“Baransiapa
diantara kalian yang mau berteladan, maka hendaknya ia berteladan kepada para
sahabat Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, mereka adalah
orang yang paling baik hatinya diantara umat ini; paling dalam ilmunya, amat
sedikit pemaksaan dirinya, paling lurus petunjuknya dan paling baik kondisinya.
Mereka adalah kaum yang Allah -Ta'ala- pilih untuk menemani Nabi-Nya
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Lantaran itu, kenalilah keutamaan mereka, dan
ikutilah jejak-jejak mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus”.[26]
Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qoyyim ad-Dimasyqiy -rahimahullah-
berkata,
“Diantara perkara yang mustahil, orang yang paling baik
hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, amat sedikit pemaksaan
dirinya, paling lurus petunjuknya dan paling baik kondisinya, bila Allah
menghalanginya dari kebenaran dalam hukum-hukum mereka, lalu generasi yang ada
setelah diberi taufiq dalam hal itu”.[27]
Inilah beberapa dalil
dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan wajibnya berpegang teguh dengan
manhaj para sahabat dalam beragama. Apa yang kami bawakan disini, hanyalah
sebagian diantara dalil-dalil tersebut. Andaikan bukan waktu yang membatasi
kita dan perasaan bosan yang akan menimpa pembaca, niscaya kami akan membawakan
lagi beberapa dalil dan atsar dari para sahabat serta kalam para ahli ilmu dari
zaman ke zaman yang menyatakan bahwa manhaj para sahabat adalah hujjah yang
dipegangi oleh setiap orang yang mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebab jalan satu-satunya yang terbaik menuju surga adalah jalan yang telah
digariskan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi para
sahabat dan umatnya setelah itu. Dari sini kita juga telah mengetahui kebatilan
sebagian orang-orang yang melenceng dari manhaj salaf ketika mereka berhujjah
dengan ucapan yang tak diketahui asal-muasalnya, yaitu ungkapan batil, “Banyak
jalan menuju Roma”.
Dari sisi hujjah,
ungkapan ini telah batil berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah
berlalu. Dari sisi akal, ungkapan ini juga batil. Sebab, memang banyak jalan
menuju Roma, tapi tidak semua jalan itu baik dan nyaman, bahkan boleh jadi
mencelakakan.
Terakhir, kami berharap
kepada Allah semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan menjadi bahan renungan
agar kita senantiasa di atas jalan dan manhaj salaf. Semoga kita semua
dikumpulkan bersama mereka di dalam surga, amiin.
[1] HR. Muslim dalam Kitab Al-Fitan wa Asyrooh
As-Saa’ah, bab: fi Shifah Ad-Dajjal wa Tahrim Al-Madinah alaih wa
Qotlih Al-Mu’min wa Ihyaa’ih (no. 7303-113/3)
[2] Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh
Ash-Sholihin (3/288-289), cet. Dar Ibnil Jauziy, 1422 H.
[3] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadaat,
bab: Laa Yasyhadu Syahadah Jaur idzaa Usyhida (no. 2652) dan Muslim
dalam Kitab Fadho’il Ash-Shohabah, bab: Fadhl Ash-Shohabah
tsummalladzina Yalunahum tsummalladzina Yalunahum (52/no. 208/6414)
[4] Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy
(7/10), cet. Darus Salam, 1421 H.
[5] Lihat Al-Minhaj (15/301), cet.
Darul Ma’rifah, 1420 H.
[7] Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’
Ash-Shogier (6/385) karya Abdur Ro’uf Al-Munawiy.
[8] Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits
(1/166).
[9] Sahabat yang paling terakhir meninggal secara
mutlak adalah Abu At-Tufail Amir bin Watsilah Al-Laitsiy -radhiyallahu
anhu-. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (7/229) karya Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqolaniy, cet. Dar Al-Fikr, 1404 H dan Fathul Bari Syarh Shohih
Al-Bukhoriy (7/8), tahqiq Ali bin Abdil Aziz Asy-Syibl, cet.
Darus Salam, 1421 H]
[10] HR. Abu Dawud dalam Kitab
As-Sunnah, bab: Fi Luzum As-Sunnah (4607), At-Tirmidziy dalam Kitab
Al-Ilm, bab: Maa Jaa’a fil Akhdzi bis Sunnah wa Ijtinaab Al-Bida’
(2676) dan Ibnu Majah dalam Al-Muqoddimah, bab: Ittiba’ Sunnah
Al-Khulafaa’ Ar-Rosyidin Al-Mahdiyyin (no. 43 & 44). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil
(no. 2455) dan Ash-Shohihah (no. 937).
[11] Hadits ini juga bantahan kuat atas kaum Syi’ah-Rofidhoh
yang mengkafirkan Abu Bakr, Umar dan Utsman -radhiyallahu anhum-. Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- menyifati mereka sebagai mahdiyyun (orang-orang
yang mendapatkan petunjuk), namun Syi’ah menggelari para sahabat tersebut
sebagai orang-orang kafir. Sungguh lancang kaum Syi’ah-Rofidhoh!! Semoga Allah
memberikan balasan yang setimpal kepada mereka!!!
[12] Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy () karya
Al-Imam Al-Mubarokfuriy.
[13] Inilah sebabnya Ahlus Sunnah disebut juga dengan
nama “Al-Firqoh An-Najiyah” (Golongan yang Selamat). Karena berpegangnya
mereka dengan sunnah, maka mereka selamat di dunia dari segala macam bid’ah dan
perpecahan; di akhirat mereka juga akan selamat dari neraka. Allahummaj’alnaa
minhum.
[14] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof
(hal. 70-72) karya Syaikh Salim Al-Hilaliy.
[16] Lihat Fadhl Ilm As-Salaf ala Ilm Al-Kholaf (hal.
1-10).
[17] HR. At-Tirmidziy (no. 2641). Hadits di-hasan-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ Ash-Shogir (no.
5343) dan Ash-Shohihah (no. 1348).
[18] Yakni ayat ke-53 dalam Surah Al-Mu’minun.
[19] Lihat Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an (12/137)
oleh Al-Qurthubiy, tahqiq Muhammad bin Ibrahim Al-Hafnawiy, cet. Darul
Hadits, 1416 H.
[20] HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/435
& 465), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (no. 11174), Ad-Darimiy
dalam As-Sunan (no. 208), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 208).
[21] Lihat Al-Farqu Bainal Firoq (hal.
14) karya Abdul Qohir Al-Baghdadiy, via Basho’ir Dzawi Asy-Syarof
(hal. 83).
[22] HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah
(no. 48 & 49). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Takhrij Al-Misykah (59).
[23] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof
(hal. 84).
[24] [HR. Ahmad dalam Al-Musnad
(1/379), Ath-Thoyalisiy Al-Musnad (246), Al-Baghowiy dalam Syarh
As-Sunnah (105), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no.
1144)]
[26] HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’Bayanil Ilm
(2/97) dan lainnya. Syaikh Al-Albaniy menisbahkan atsar ini kepada
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- dalam Ash-Shohihah
(no. 2648).
[27] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/400),
tahqiq Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan