"Masihkah Ada Pintu Tobat Bagiku?" Pertanyaan ini juga pernah
terlontar dari mulut seorang bajingan durjana yang pernah melumuri kehidupannya
dengan berbagai macam maksiat. Dia adalah sebuah pribadi yang biadab sampai ia
telah menumpahkan darah, dan membunuh 100 nyawa sebagaimana yang dikabarkan
oleh Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits yang shohih.
Pembaca yang budiman, cerita dan
kisah pembunuh 100 nyawa tersebut, ada baiknya kami sajikan agar para pembaca
bisa meneguk ibroh dari lautan ilmu yang terdapat dalam kalam nabawi (sabda
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-).
Kisahnya, Nabi -Shallallahu
'alaihi wa sallam- bersabda,
كَانَ فِيْمَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا, فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ
أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ , فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً
وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا فَهَلْ لَهْ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ: لاَ, فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ
بِهِ مِائَةً, ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ
عَالِمٍ, فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ , فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ:
نَعَمْ, وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ
كَذَا وَكَذَا , فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ, فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ
وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ, فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ, فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا
نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ, فَاخْتَصَمَتْ فِيْهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ
وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ, فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً
بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ, وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ
خَيْرًا قَطُّ, فَأَتَاهُ مَلَكٌ فِيْ صُوْرَةِ آدَمِيٍّ, فَجَعَلُوْهُ حَكَمًا بَيْنَهُمْ,
فَقَالَ: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ , فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى
فَهُوَ لَهُ, فَقَاسُوْهُ فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إِلَى اْلأَرْضِ الَّتِيْ أَرَادَ,
فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ
"Dahulu ada seorang laki-laki sebelum
kalian yang telah membunuh 99 nyawa. Dia bertanya tentang orang yang paling
berilmu di atas permukaan bumi. Lalu ditunjukkanlah seorang rahib (ahli
ibadah). Kemudian ia pun datang kepada sang rahib seraya mengatakan bahwa
dirinya telah membunuh 99 nyawa. Apakah masih ada taubat baginya? "tidak
ada!!", tukas si rahib. Maka orang itu membunuh si rahib dan menyempurnakan
(bilangan 99) dengan membunuh si rahib menjadi 100 nyawa. Kemudian ia bertanya
lagi tentang orang yang paling berilmu di atas pemukaan bumi. Lalu ditunjukkan
seorang yang berilmu (ulama') seraya menyatakan bahwa dirinya telah membunuh
100 nyawa, apakah masih ada taubat baginya. Orang yang berilmu itu
menyatakan bahwa siapakah yang menghalangi antara dirinya dengan taubat?
"Berangkatlah engkau ke negeri demikian dan demikian, karena disana ada
sekelompok manusia yang menyembah Allah -Ta'ala- . Maka sembahlah Allah bersama
mereka, dan janganlah engkau kembali kembali ke kampungmu, karena ia adalah
kampung yang jelek", kata orang yang beilmu itu. Orang itu pun berangkat
sampai di tengah perjalanan, ia di datangi oleh kematian. Maka para malaikat
rahmat, dan malaikat adzab (siksa) pun bertengkar tentang orang itu. Malaikat
rahmat berkata, "Dia (bekas pembunuh) ini telah datang dalam keadaan
bertaubat lagi menghadapkan hatinya kepada Allah -Ta'ala-". Malaikat adzab
berkata, "Orang ini sama sekali belum mengamalkan suatu kebaikan".
Lalu mereka (para malaikat itu) pun didatangi oleh seorang malaikat dalam
bentuk seorang manusia. Mereka (para malaikat) pun menjadikannya sebagai hakim.
Malaikat (yang menjadi hakim) berkata, "Ukurlah antara dua tempat itu;
kemana saja laki-laki lebih itu dekat, maka berarti ia kesitu". Mereka
mengukurnya; ternyata laki-laki itu lebih dekat ke negeri yang ia inginkan.
Akhirnya malaikat rahmat menggenggam (ruh)nya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab
Al-Anbiyaa', bab: Am Hasibta anna Ashhaba Kahfi war Roqim
(3283), Muslim dalam Kitab At-Taubah, bab: Qobul Taubah
Al-Qotil Wa in Katsuro qotluh (2766), Ibnu Majah dalam Kitab Ad-Diyat,
bab: Hal li Qotil Al-Mu'min Taubah (2622)]
Hadits ini adalah hadits yang
shohih dari Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- ketika beliau
menceritakan sebagian diantara berita-berita gaib orang-orang Bani Isra'il.
Berita ini beliau terima melalui wahyu dari Allah, bukan dari kitab Taurat,
atau Injil.
Hadits ini banyak mengandung
mutiara hikmah yang terpancar dari wahyu Allah -Ta'ala- . Para ulama' telah mengeluarkan hikmah, dan
faedah-faedahnya dalam kitab-kitab hadits.
Di dalam hadits ini terdapat
bimbingan bagi kita agar seorang ketika ingin bertaubat, maka hendaknya ia
meninggalkan kampung halamannya yang penuh dengan maksiat atau kekafiran,
karena dikhawatirkan ia akan kembali kepada kebiasaannya berupa maksiat atau
kekafiran yang pernah ia lakukan dahulu sebelum taubat.
Selain itu, teman juga punya pengaruh besar
dalam mengembalikan seseorang ke lembah maksiat. Berapa banyak manusia yang
dahulu mau bertaubat, bahkan sudah bertaubat dari kebiasaannya, seperti zina,
khomer, dan lainnya. Namun beberapa saat kemudian ia kembali lagi kepada
kebiasaannya yang buruk tersebut.
Oleh karena itu Nabi -Shallallahu
'alaihi wa sallam- bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ
خَلِيْلِهِ, فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ
"Seorang itu berada di atas jalan
hidup (kebiasaan) temannya. Lantaran itu, hendaknya seseorang diantara kalian memeperhatikan
orang yang ia temani". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4833), dan
At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2378). Hadits ini di-hasan-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shohihah (927)]
Abu Hamid -rahimahullah- berkata, "Menemani
orang yang bersemangat akan membangkitkan semangat. Menemani orang yang zuhud
akan membuat kita zuhud terhadap dunia, karena tabiat manusia tercipta untuk
selalu menyerupai dan meneladani orang". [Lihat Tuhfah
Al-Ahwadziy bi Syarh Jami' At-Tirmidziy (7/42), cet. Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah]
Jadi, seorang yang mau bertaubat,
atau sudah bertaubat, namun ia masih tetap bergaul dan bersahabat dengan
teman-teman lamanya dari kalangan ahli maksiat, maka yakin bahwa orang itu tak
bisa bertaubat dengan benar. Kalaupun ia bisa bertaubat, maka taubatnya tak
akan nashuha (murni).
Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar
Al-Asqolaniy -rahimahullah-
berkata ketika mengomentari hadits pembunuh 100 nyawa di atas, "Di
dalam hadits ini terdapat keutamaan berpindah dari kampung yang ia bermaksiat
di dalamnya, karena sesuai dengan pengalaman, orang seperti ini akan
terkalahkan (terpengaruh), entah karena ia teringat dengan
perbuatan-perbuatannya yang lalu sebelum ia taubat, dan terpengaruh dengannya,
atau entah karena ada orang yang menolongnya kepada maksiat, dan mendorongnya
kepada hal itu. Oleh karena ini, pada akhir hadits beliau bersabda, "…dan
janganlah engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang
jelek". Jadi, di dalamnya terdapat isyarat bahwa seorang yang mau
bertaubat seyogyanya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya yang telah biasa
ia lakukan dahulu di masa ia bermaksiat, dan berpindah darinya
seluruhnya". [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/517),
cet. Darul Ma'rifah]
Inilah jalan bagi orang yang mau
bertaubat. Seorang yang mau taubat nasuha, ia harus meninggalkan maksiat,
menyesali maksiatnya, dan bertekad kuat untuk tidak kembali lagi kepadanya.
Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia kembalikan, dan meminta maaf kepadanya.
[Lihat Riyadhus Sholihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin (hal.
17), karya An-Nawawiy -rahimahullah-]
Taubat nashuha (taubat yang murni
dan sungguh-sungguh) tak mungkin akan tercapai dan berkelanjutan, kecuali jika
seseorang tak mau meninggalkan lingkungannya yang rusak, lalu mencari
lingkungan yang jauh dari perkara-perkara yang mendorong dirinya terjatuh dalam
maksiat. Oleh karena itu, seorang dianjurkan untuk berangkat mencari lingkungan
orang-orang beriman, dan beramal sholeh yang terhiasi oleh cahaya ilmu.
Sehingga ia bisa mendapatkan teman dari kalangan orang sholeh, dan berilmu yang
membantu dirinya untuk selalu taat, dan tegar dalam meninggalkan maksiat.
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied
Al-Hilaliy -hafizhahullah-
berkata saat memetik beberapa buah faedah hadits di atas, "(Di dalam
hadits ini terkandung beberapa faedah, di antaranya,) disyari'atkan berpindah
dari kampung yang ia bermaksiat kepada Allah di dalamnya menuju kepada negeri
yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, atau penduduknya lebih sedikit
kejelekannya dibandingkan yang pertama. Seyogyanya bagi orang yang bertaubat
agar ia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang ia biasa kerjakan di masa ia
senang bermaksiat, dan berubah, serta menyibukkan diri dengan selainnya.
Menemani orang yang berilmu agama, bertaqwa, dan sholeh akan sangat membantu untuk
taat kepada Allah, dan mengekang setan. Bersabarnya seseorang dalam usaha
mencari orang-orang yang sholeh merupakan dalil (tanda) yang menunjukkan tentang
benarnya kemauan seseorang dalam bertaubat kepada Allah". [Lihat Bahjah
An-Nazhirin (1/62), cet. Dar Ibnul Jauziy, 1422 H]
Jadi, seseorang yang jujur
taubatnya akan nampak pada dirinya tanda-tanda perubahan, dan usaha untuk
berubah. Oleh karena itu, seorang tak mungkin akan dikatakan jujur bertaubat,
jika ia masih dalam kebiasaannya bermaksiat, dan tidak ada usaha pada dirinya
untuk meninggalkan teman-temannya lamanya yang menjerumuskan dirinya dalam
lembah maksiat. Seorang tak cukup hanya mengucapkan, "Astaghfirullah"
(Aku memohon ampunan dosa kepada), lalu tak ada perubahan pada dirinya
untuk baik, dan tak mau meninggalkan teman-teman lamanya.
Terakhir kami nasihatkan dengan
firman Allah -Ta'ala- ,
وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور : 31]
"Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung". (QS. An-Nuur: 31).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan