Kaum muslimin di zaman
ini diperhadapkan dengan sebuah realita yang mesti mereka terima, berupa
banyaknya perselisihan di kalangan mereka sendiri. Akhirnya, umat Islam
terkotak-kotak dalam berbagai ragam pemikiran, ideologi, manhaj, dan jalan
hidup yang ditawarkan oleh para dai-(penyeru)nya. Realita pahit seperti ini
memaksa kaum muslimin untuk memiliki sikap yang arogan dengan adanya kultus
individu, taklid buta kepada seorang tokoh, fanatik salah kepada suatu ajaran
dan pengusungnya.
Banyaknya penyeru (dai)
menuju kesesatan semakin menciptakan kebingungan dan kerancuan dalam bersikap
dan beragama di kalangan kaum muslimin. Semua mengajak kepada pemikiran
sesatnya. Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam sebuah sabdanya saat beliau ditanya oleh Hudzaifah ibnul Yaman
bahwa apakah ada kejelekan (berupa perpecahan dan lainnya) setelah kebaikan
yang dijumpai oleh kaum muslimin. Ketika itu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- menjawab,
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ
مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
“Ya ada, yaitu para dai (penyeru) di atas pintu-pintu
Jahannam[1].
Barangsiapa yang menyambut (ajakan) mereka ke Jahannam, maka para penyeru itu
akan menjebloskannya ke dalam Jahannam”.[2]
Alangkah benarnya sesuatu yang dinyatakan oleh Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- bahwa akan datang suatu zaman, sedang kaum muslimin saat itu
akan berpecah. Sejarah telah mencatat firqoh-firqoh (kelompok) sesat yang
mengajak ke Jahannam, semisal: kaum Syi’ah-Rofidhoh, Khawarij, Mu’tazilah,
Sufi, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Murji’ah, Qodariyyah, Jabriyyah dan lainnya.
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ
عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya Bani Isra’il (Yahudi) telah berpecah
menjadi 72 golongan. Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan; semua golongan
itu di neraka, kecuali satu golongan”. Mereka
bertanya, “Siapakah satu golongan itu wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Golongan (yang berada di atas sesuatu) yang aku pijaki dan para
sahabatku”.[3]
Ketika umat berselisih dan terkotak-kotak dalam
jaring-jaring ta’shshub (fanatik buta), maka tiba saat kita harus bertanya, “Solusi
apakah yang paling tepat dalam menyelesaikan problematika perpecahan dalam
tubuh kaum muslimin?!” Tentu solusinya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah serta sunnah atau pemahaman para sahabat yang kita kenal dengan “As-Salaf
Ash-Sholih” (Pendahulu yang Baik). Inilah yang pernah disinyalir oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat yang Al-Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu anhu- saat ia berkata,
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً
بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah sholat
bersama kami pada suatu hari. Kemudian beliau menghadap kepada kami seraya
memberikan mau’izhoh (wejangan) kepada kami dengan suatu wejangan mendalam yang
bercucuran air mata karenanya dan hati bergetar (takut) karenanya. Lalu ada
seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, seakan ini adalah wejangan orang
yang hendak berpisah. Lantaran itu, apa yang anda pesankan kepada kami?” Beliau
bersabda, “Aku wasiatkan kalian dengan ketaqwaan kepada Allah, mendengar dan
taat (kepada pemerintah muslim), walaupun ia adalah budak Habasyah. Karena,
barangsiapa yang akan hidup diantara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat
perselisihan (perpecahan) yang banyak. Lantaran itu, berpegang
teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ yang diberi petunjuk lagi lurus[4].
Berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama).
Sebab semua yang diada-ada adalah bid’ah, sedang setiap bid’ah adalah sesat”.[5]
Sejak 15 abad yang silam, Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- telah mengingatkan tentang adanya perpecahan di tubuh kaum muslimin.
Namun sebagai muslim beriman tak perlu takut dengan adanya perpecahan itu,
sebab beliau telah memberikan solusi dan rambu-rambu keselamatan dari buruknya
perpecahan. Demikianlah Allah menakdirkan adanya perpecahan agar Allah
menyaring orang-orang yang baik dari orang-orang yang buruk. Semua itu terjadi
demi menguji keimanan kita kepada Allah -Azza wa Jalla- dan Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai utusannya dalam menyampaikan
risalah-Nya.
Jadi, jalan keselamatan dari segala akibat buruk
perpecahan berupa bid’ah dan pemikiran sesat adalah berpegang teguh dengan
sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang bersumber dari wahyu ilahi,
serta mengambil pemahaman dan jalan para Kholifah yang empat (Abu Bakr, Umar,
Utsman dan Ali) dan juga para sahabat lainnya berdasarkan hadits Abdullah
bin Amer -radhiyallahu anhuma- di atas.
Ini semakin menguatkan hati kita tentang wajibnya
mengikuti manhaj salaf, sebab ia adalah ishmah (penjagaan) dari
kesesatan. Karenanya Ibnul Qoyyim dalam I’laam Al-Muwaqqi’in menyebutkan
beberapa dalil berikut tentang wajibnya berpegang teguh dan mengikuti dengan
manhaj para sahabat yang merupakan salaf (pendahulu) kita yang sholih. Diantara
dalil-dalil itu:
1.
Allah -Ta'ala- berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ [يوسف/108]
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku,
Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf : 108)
Al-Hafizh Ibnu Katsir
Ad-Dimasyqiy -rahimahullah-
berkata, “Allah -Ta'ala- berfirman kepada hamba dan rasul (utusan)-Nya
kepada dua makhluk: jin dan manusia demi memerintahkannya untuk mengabarkan
kepada manusia bahwa inilah jalanku, yakni jalan hidupku, metode dan sunnahku,
yaitu berdakwah (mengajak) kepada syahadat (pengakuan) bahwa tiada sembahan
yang haq, selain Allah saja, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Beliau mengajak kepada
agama Allah dengan jalan itu di atas bashiroh (ilmu), keyakinan serta
keterangan tentang hal itu. Beliau dan semua orang yang mau mengikuti beliau
mengajak kepada sesuatu yang didakwahkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- di atas bashiroh (ilmu), keyakinan serta keterangan syar’iy dan aqli
tentang hal itu”.[6]
Manusia yang paling bergembira
dengan ayat ini adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang
telah mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah dari guru mereka, yakni Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Selanjutnya mereka menyebarkan dan
menyempaikannya kepada generasi setelahnya melalui dakwah dan jihad yang mereka
lancarkan ke seluruh penjuru yang mampu mereka capai. Semua itu mereka bangun
di atas ilmu dan keyakinan.
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah -rahimahullah-
berkata, “Allah -Ta'ala- mengabarkan bahwa orang yang mengikuti Rasul
(-Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah orang yang mengajak kepada agama Allah.
Barangsiapa yang mengajak kepada Allah di atas bashiroh (ilmu), maka wajib
diikuti berdasarkan firman Allah -Ta'ala- tentang sesuatu yang Dia hikayatkan tentang
jin dan Dia meridhoinya,
يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ
وَآَمِنُوا بِهِ [الأحقاف/31]
“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang
yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya…”. (QS. Al-Ahqoof : 31)
Karena barangsiapa yang mengajak
kepada agama Allah di atas bashiroh, maka sungguh ia telah mengajak kepada
kebenaran dalam kondisi ia ilmui. Mengajak kepada hukum-hukum Allah adalah
ajakan kepada agama Allah, sebab ajakan itu merupakan ajakan kepada ketaatan
kepada-Nya dalam sesuatu yang Dia perintahkan dan larang.
Kalau begitu, para sahabat –ridhwanullahi
alaihim- sungguh telah mengikuti Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-. Lantaran
itu, wajib mengikuti mereka bila mengajak kepada agama Allah”.[7]
2.
Allah -Ta'ala- berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
[آل عمران/110]
“Kalian adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imraan : 110)
Seorang yang mau mendapatkan keutamaan sebagai generasi
terbaik, ia harus memenuhi tiga syarat dan sifat yang tertera dalam ayat yang
mulia ini: memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang mugkar dan beriman kepada
Allah.[8]
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa
diantara umat ini yang tersifati dengan sifat-sifat ini, maka ia akan masuk
bersama mereka (para sahabat) di dalam sanjungan dan pujian ini kepada mereka”. [9]
Ayat ini merupakan pujian yang ditujukan bagi para
sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebab mereka telah melakukan tiga
perkara tersebut[10].
Para sahabat adalah generasi yang paling giat
dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar. Keimanan mereka juga tak perlu
diragukan sebab mereka telah terdidik dan terbimbing langsung oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Apa yang beliau ketahui berupa perkara-perkara
keimanan, maka beliau segera mengajarkannya. Bagaimana mungkin aqidah dan iman
mereka tak kuat, sementara mereka ditempa dalam kurung waktu yang lama, mulai
dari Makkah sampai di kota
Madinah.
Mantapnya keimanan mereka telah diakui oleh semua ulama sehingga
perkara ini telah menjadi ijma’. Karenanya, para ulama saat menulis kitab-kitab
aqidah dan iman, maka mereka selalu kembali kepada pemahaman dan amaliah para
sahabat dalam perkara itu.
Al-Imam Abu Bakr Syamsuddin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Allah
-Ta'ala- memberikan persaksian bagi mereka (yakni, para sahabat) bahwa mereka
memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari perkara mungkar. Andaikan ada suatu
peristiwa di zaman mereka, sedang tak ada yang memberi fatwa, kecuali orang
yang keliru diantara mereka (para sahabat), maka tak (dianggap) ada seorangpun
diantara telah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari perkara mungkar”. [11]
Tapi tentu sebaliknya,
sebab para sahabat telah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari perkara
mungkar dengan sebaik-baiknya. Mereka telah mengorbankan waktu, tenaga, harta
dan nyawa mereka dalam menegakkan dua perkara itu. Tak ada yang mereka pikirkan
di waktu siang, maupun malam, selain perkara amar ma’ruf dan nahi mungkar!!
3.
Allah -Ta'ala- berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ [التوبة/119]
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)”. (QS. At-Taubah : 119)
Para ahli tafsir memiliki lima pendapat tentang orang-orang yang benar
(jujur). Pendapat pertama, mereka adalah Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- dan para sahabatnya. Ini dinyatakan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu
anhu-. Kedua, mereka adalah Abu Bakr dan Umar. Ini pendapat Sa’id bin
Jubair dan Adh-Dhohhak bin Muzahim. Ketiga, mereka adalah tiga orang
yang tertinggal perang Tabuk[12].
Mereka semua jujur kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang
ketertinggalan mereka (dari Perang Tabuk). Ini adalah pendapat As-Suddiy. Keempat,
mereka adalah para sahabat muhajirin. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibnu Juraij.
Kelima, bahwa firman Allah ini umum mencakup semua orang yang benar
(jujur) dalam ucapan, perbuatan dan keimanannya. Ini yang dinyatakan oleh
Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy.[13]
Al-Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata tentang maksud orang-orang
yang benar (jujur) di dalam ayat ini, “Beberapa orang salaf berkata,
“Mereka adalah para sahabat Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-“. Tak ragu
lagi bahwa mereka (para sahabat) adalah pemimpin orang-orang yang benar
(jujur). Karenanya, setiap orang yang jujur setelah mereka, maka kepada para
sahabatlah ia mencontoh dalam hal kejujurannya. Bahkan hakikat kejujuran
seseorang (dalam beragama) adalah mengikuti para sahabat dan juga bersama
mereka”. [14]
Di dalam ayat ini, Allah -Azza wa Jalla- telah memuji
orang-orang yang benar keimanan, ucapan dan perbuatannya, dan sebaliknya
mencela orang-orang yang dusta keimanan, ucapan dan perbuatannya.
Al-Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy -rahimahullah- berkata, “Para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
--alhamdulillah—termasuk orang-orang yang paling benar (jujur) ucapannya. Tak
dikenal ada seorang diantara mereka yang sengaja berdusta atas nama Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- . Walaupun terkadang muncul dari seorang
diantara mereka kekeliruan sebagaimana adanya. Para
sahabat memiliki dosa dan tidak ma’shum[15].
Akan tetapi para pemeriksa dan penguji (yakni, ahli hadits) telah membuktikan
hadits-hadits para sahabat dan melakukan uji coba terhadap hadits-hadits mereka
sebagaimana adanya. Nah, tidak ditemukan dari seorangpun diantara mereka suatu
kesengajaan dalam berdusta (atas nama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-),
berbeda dengan generasi berikutnya. Sebab, di kalangan penduduk kufah terdapat
sekelompok manusia yang sengaja berdusta. Oleh karena ini, seluruh sahabat
adalah orang-orang yang tsiqoh (terpercaya) berdasarkan kesepakatan ahli hadits
dan fikih”.[16]
Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga dikuatkan
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- saat beliau
berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seluruh sahabat adalah
orang-orang ‘uduul (terpercaya dan diridhoi). Tak ada yang menyelisihi dalam
perkara itu, kecuali orang-orang yang menyeleneh dari kalangan ahli bid’ah” .[17]
4.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا [البقرة/143]
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqoroh : 143)
Makna ayat ini akan semakin jelas jika kita membuka
lembaran kitab-kitab hadits. Disana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah
bersabda,
يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ هَلْ بَلَّغْتَ
فَيَقُولُ نَعَمْ فَيُقَالُ لِأُمَّتِهِ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُولُونَ مَا أَتَانَا
مِنْ نَذِيرٍ فَيَقُولُ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُولُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَتَشْهَدُونَ
أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ وَيَكُونُ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا فَذَلِكَ قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ
“Nabi
Nuh akan dipanggil pada hari kiamat seraya berkata, “Kami penuhi panggilan-Mu
dan kami sambut wahai Robb-ku”. Allah berfirman, “Apakah engkau telah
menyampaikan (risalah)?” Nuh menjawab, “Ya, sudah”. Dikatakan kepada umatnya,
“Apakah Nuh telah menyampaikan (risalah) kepada kalian?” Mereka menjawab, “Tak
ada seorang pemberi peringatan pun yang pernah datang kepada kami”. Lalu Allah
berfirman (kepada Nuh), “Siapakah yang akan bersaksi untukmu?” Nuh berkata,
“Muhammad dan umatnya”. Kemudian kalian pun bersaksi bahwa Nuh sungguh telah
menyampaikan (risalah)”. Sedang Rasul (yakni, Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi
wa sallam-) akan menjadi saksi bagi kalian. Itulah firman Allah –Jalla
Dzikruh-, (Kemudian beliau membacakan firman Allah di atas)”.[18]
Al-Imam Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyyah Az-Zar’iy -rahimahullah-
berkata saat menerangkan wajibnya mengikuti salaf (dalam hal ini para sahabat),
“Sisi pengambilan dalil berdasarkan ayat ini bahwa Allah -Ta'ala-
mengabarkan bahwa Dia telah menjadi mereka (para sahabat) sebagai umat terbaik
(pilihan). Inilah hakikat al-wasath (pertengahan). Jadi, mereka adalah
sebaik-baik umat dan paling terpercaya dalam ucapan, perbuatan, keinginan dan
niatnya. Dengan sebab inilah, mereka (para sahabat) akan menjadi saksi bagi
para Rasul tentang umat mereka pada hari kiamat”.[19]
Allah -Azza wa
Jalla- tentunya menjadikan para sahabat sebagai saksi di hari kiamat, karena
telah mengetahui kejujuran dan ilmu para sahabat. Sebagian ulama menjelaskan
bahwa saksi yang diterima di sisi Allah adalah saksi yang memberikan persaksian
dengan dasar ilmu tentang sesuatu yang ia persaksikan dan dengan dasar
kejujuran. Seorang saksi yang baik akan mengabarkan sesuatu yang benar sambil
bertumpu kepada ilmu dan pengetahuannya tentang perkara yang ia akan kabarkan.
Jadi, saksi
yang baik harus memiliki ilmu dan kejujuran. Nah, bukankah para sahabat orang
yang paling tinggi dan mendalam derajat keilmuannya di bandingkan generasi
setelahnya?! Adapan kejujuran mereka dalam ucapan, perbuatan dan niatnya, maka
mereka adalah manusia yang paling jujur menurut kesepakatan para ulama dari
zaman ke zaman. Tak ada yang menuduh mereka sebagai pendusta, kecuali pendusta,
seperti kaum Syi’ah-Rofidhoh –aamalahumullahu bimaa yastahiqqu-.[20]
Mungkin ada diantara
kita yang bertanya, “Dalam ayat tidak disebutkan para sahabat secara khusus
sebagai saksi, tapi ayat itu sifatnya umum mencakup semua umat Nabi Muhammad
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Lalu anda mengkhususkan ayat ini dengan para
sahabat?”
Betul ayat ini
lahiriahnya umum mencakup semua umat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Akan
tetapi ini tidaklah bertentangan dengan makna yang kami utarakan, sebab manusia
yang akan menjadi saksi pada hari kiamat adalah manusia yang jujur dan memiliki
ilmu tentang perkara yang akan ia persaksikan. Nah, tentunya mereka adalah para
sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan juga orang-orang yang mengikuti
jalan mereka dalam kebaikan, wallahu a’lam.
[1] Dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa yang
dimaksud dengan para penyeru tersebut adalah kaum Khawarij.
Walapun tentunya semua penyeru kepada kesesatan masuk dalam makna hadits di
atas. [Lihat Fathul Bari
(13/46), cet. Darus Salam, dengan tahqiq Ali bin Abdil Aziz Asy-Syibl,
1421 H]
[2] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Manaaqib,
bab: Alaamaat An-Nubuwwah fil Islaam (no. 3606) dan Kitab Al-Fitan,
bab: Kaifal Amru Idzaa lam Takun Jama’ah (no. 7084) dan Muslim dalam Kitab
Al-Imaroh, bab: Wajub Mulazamah Jama’ah Al-Muslimin inda Zhuhur
Al-Fitan wa fi Kulli Haalin wa Tahrim Al-Khuruj alaa Ath-Thoo’ah wa Mufaaroqoh
Al-Jama’ah (no. 4761/51/1) dari Hudzaifah ibnul Yaman -radhiyallahu anhu-.
[3] HR.
At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2641), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok
(444), Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wa An-Nahyu anha (hal.15-16),
Al-Ajurriy (16), Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afaa' (2/262/no.815),
Ibnu Nashr Al-Marwaziy dalam As-Sunnah (hal.18), Al-Lalika'iy
dalam Syarh Al-I'tiqod (147), dan Al-Ashbahaniy dalam Al-Hujjah
fi Bayan Al-Mahajjah (1/107). Hadits ini di-hasan-kan oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy As-Salafiy dalam Basho'ir
Dzawisy Syarof (hal.75), cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.
[4] Ini merupakan tazkiyah dan pujian Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- kepada Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali -radhiyallahu
anhum-. Hadits ini sebagian dalil yang membantah kaum Syi’ah-Rofidhoh yang
amat benci kepada tiga sahabat tersebut, selain Ali -radhiyallahu anhum
jami’an-. Semoga Allah menggagalkan makar kaum Syi’ah-Rofidhoh!!
[5] HR.
Abu Dawud dalam Sunan-nya (4607), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya
(2676), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (42 & 44). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa'
(2455), dan Takhrij Al-Misykah (165)
[6] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim
(4/422) oleh Ibnu Katsir -rahimahullah-.
[7] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/394) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy,
cet. Darul Hadits, 1422 H.
[8] Beriman kepada Allah tak akan sempurna sampai
seseorang mengimani empat perkara. Pertama, beriman tentang adanya Allah
-Azza wa Jalla-. Kedua, beriman kepada sifat rububiyyah-Nya berupa
mencipta, memberi rezqi, mengetahui perkara ghaib, mengatur alam semesta,
menghidupkan dan mematikan, dan lainnya. Ketiga, beriman kepada uluhiyyah
(peribadatan kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya). Keempat, beriman
kepada semua nama dan sifat-Nya. [Lihat Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah
(80-88) karya Syaikh Al-Utsaimin, cet. Dar Ats-Tsuroyya]
[9] Lihat Tafsir Ibni Katsir (2/103)
oleh Ibnu Katsir -rahimahullah-.
[10] Adapun Jama’ah Tabligh, maka mereka memiliki
jalan dan manhaj yang jauh dari tuntunan para sahabat. Karenanya, mereka tak
pantas bergembira dengan ayat di atas. Anggaplah mereka memerintahkan yang
ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Namun keimanan mereka kepada Allah amat jauh
dari tuntunan sahabat. Mereka dalam perkara keimanan terhadap tauhid asmaa’ dan
sifat Allah mengikuti manhaj Asy’ariyyah-Maturidiyyah dari kalangan ahli kalam.
Keimanan kepada tauhid rububiyyah dan uluhiyyah juga menyelisihi
jalannya para sahabat sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Tholibur Rahman
Al-Bakistaniy dalam kitabnya yang berjudul “Jama’ah At-Tabligh: Aqo’iduha
wa Ta’rifuha” (hal. 239-252), cet. Darul Bayan, Islamabad , Pakistan ,
1419 H.
[11] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/394) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy,
cet. Darul Hadits, 1422 H.
[12] Tiga orang sahabat itu adalah Ka’ab bin Malik
Al-Anshoriy As-Salamiy, Muroroh bin Ar-Robi’ Al-Anshoriy Al-Ausiy dan Hilal bin
Umayyah Al-Anshoriy Al-Waqifiy. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/70)
oleh Salim Al-Hilaliy -hafizhahullah-]
[13] Lihat Zaadul Masiir (3/242) oleh
Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jauziy Ad-Dimasqiy- Syamilah.
[14] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/393) oleh Ibn Al-Qoyyim, cet. Darul Hadits.
[15] Namun harus kita yakini bahwa para sahabat bila
melakukan dosa atau kesalahan, maka ia telah bertobat darinya sebelum ia
meninggal. Jika tidak, maka kesalahan dan dosa-dosanya telah diampuni oleh
Allah, karena banyaknya kebaikan dan pengorbanan mereka dalam membela Islam.
[16] Lihat Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi
Naqd Kalam Asy-Syi’ah wa al-Qodariyyah (1/307) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
[17] Lihat Al-Ishobah fi Tamyiiz Ash-Shohabah
(1/10) oleh Ibnu Hajar.
[18] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir,
bab: Qoulihi -Ta'ala-, “Wa Kadzalika Ja’alnaakum Ummatan Wasathan…” (no.
4487) dan lainnya dari Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu anhu-. Lihat Tuhfah
Al-Asyroof (no. 4003)
[19] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/395).
[20] Mereka menuduh para sahabat sebagai manusia
pendusta, bahkan kafir dan murtad!! Semua ini mereka lakukan demi menjatuhkan
kredibilitas dan martabat para sahabat yang menjadi penyambung pertama dari
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kaum Syi’ah ingin memadamkan cahaya
agama Allah. Namun Allah enggan, selain menyempurnakan cahaya agama-Nya
sehingga kaum Syi’ah semakin geram dengan tersebarnya kebaikan Islam dan Sunnah
para sahabat -radhiyallahu anhum- .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan