Allah memang memilih
mereka untuk hal itu, karena Allah telah mengetahui ketulusan hati dan
ketabahan mereka dalam menjalankan tugas mulia itu. Allah telah mengisyaratkan,
bahkan menjelaskan ciri dan kehidupan para sahabat yang akan menjadi pioner
dakwah Islam sebagaimana yang tercantum dalam ayat yang berbunyi,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
[الفتح/29]
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS.Al-Fath : 29)
Para sahabat diperumpamakan oleh Allah -Azza wa
Jalla- dengan tunas yang menguatkan tanaman,karena para sahabat telah
menguatkan dan mendukung Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dengan segala
kemampuan mereka sampai titik darah penghabisan.
Ketulusan dan ketabahan mereka dalam membela dan
menyebarkan Islam ke penjuru dunia membuat orang-orang kafir dan kaum musyrikin
berang kepada para sahabat sampai hari ini.
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fidaa’ Ibnu Katsir
Ad-Dimasyqiy -rahimahullah-
berkata saat menafsirkan ayat yang agung ini, “Para
sahabat -radhiyallahu anhum-, niat mereka ikhlash (tulus) dan amalan mereka
baik. Karenanya,setiap orang yang
memandangi mereka, akan takjub kepada mereka dalam sisi perangai dan jalan
hidup mereka. Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Telah sampai berita
kepadaku bahwa orang-orang Nashoro bila melihat para sahabat yang membuka
negeri Syam, maka mereka bertutur, “Demi Allah, sungguh mereka (para sahabat)
lebih baik dibandingkan para hawariyyun (murid-murid Nabi Isa -Shallallahu
alaihi wa sallam-) berdasarkan berita sampai kepada kami”. Kaum Nashoro ini
betul dalam perkara itu, karena umat Islam ini telah diagungkan dalam
kitab-kitab yang berlalu.Sedang orang yang termulia dan terafdhol dari kalangan
umat ini adalah para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.Allah
sungguh telah meyebutkan mereka dalam kitab-kitab yang pernah diturunkan dan
berita-berita yang tersebar. Setiap orang yang menapaki jejak (manhaj) para
sahabat, maka ia sama hukumnya dengan para sahabat. Para sahabat telah memiliki
keutamaan,andil, dan kesempurnaan yang tak mampu dikejar oleh seorang pun dari
kalangan umat ini. Semoga Allah meridhoi mereka dan menjadikan surga Firdaus
sebagai tempat kediaman mereka”.[1]
Keikhlasan dan ketabahan diri mereka tergambar
dalam jihad (perjuangan) mereka dalam membela dan menyebarkan Islam. Mereka
dalam jihadnya telah menghabiskan umur, harta, anak, bahkan nyawa mereka siap
dilayangkan demi Islam. Mereka pantang menyerah dan senantiasa siaga dalam
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memilih para sahabat
dalam menemani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam setiap langkah dan
gerakِ
jihadnya. Allah -Ta'ala- berfiman,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا
الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى
وَنِعْمَ النَّصِيرُ [الحج/78]
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia”. (QS. Al-Hajj : 78)
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Allah telah
mengabarkan bahwa Dia telah memilih para sahabat untuk-Nya dan menjadikan
mereka orang-orang dekat kepada-Nya dan manusia pilihan dari kalangan
makhluk-Nya setelah para nabi dan rasul. Karena inilah, Allah memerintahkan
mereka untuk berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Lantaran
itu,mereka pun mengerahkan diri mereka demi Allah, mengesakan-Nya dalam cinta
dan penyembahan. Mereka juga memilih Allah saja sebagai sembahan dan sesuatu
yang mereka cintai di atas segala sesuatu selain-Nya sebagaimana halnya Allah
telah memilih mereka (para sahabat) atas selain mereka. Akhirnya, merekapun
menjadikan Allah saja sebagai sebagai
sembahan mereka yang mereka mendekatkan diri kepada-Nya dengan lisan, anggota
badan, hati, cinta dan kehendak mereka. Jadi,mereka pun mengutamakan Allah
dalam segala keadaan atas selain-Nya…Maksudnya disini bahwa mereka bila dengan
kedudukan seperti ini di sisi Allah -Ta'ala-, maka termasuk perkara yang
mustahil bila Allah menghalangi mereka semuanya dari kebenaran dalam suatu
masalah, lalu sebagian mereka memfatwakan sebuah kesalahan di dalamnya dan
sebagian dari mereka juga tidak memfatwakan kebenaran. Kemudian orang-orang
setelah mereka (selain sahabat) mendapatkan petunjuk dalam permasalahan itu,
wallahulmusta’aan!!”.[2]
Jihad yang mereka lakukan, entah berupa jihad
lisan, harta, ilmu dan senjata, seluruhnya telah diakui oleh semua orang.Tak
ada yang ragu tentang hal itu,kecuali seorang yang jahil tentang perihal
kehidupan mereka. Bukti hal ini amat gamblang dan banyak kita temukan dalam
sejarah hidup mereka.
Lihatlah abu Bakr Ash-Shiddiq yang telah
mengorbankan seluruh harta benda dan jiwanya dalam membela Islam. Dengarkan Abu
Bakr -radhiyallahu anhu- bertutur saat jiwanya terancam dalam hijrah bersama
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
نَظَرْتُ إِلَى أَقْدَامِ الْمُشْرِكِينَ
عَلَى رُءُوسِنَا وَنَحْنُ فِي الْغَارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ
نَظَرَ إِلَى قَدَمَيْهِ أَبْصَرَنَا تَحْتَ قَدَمَيْهِ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا
ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا
“Aku
melihat kaki kaummusyrikin di atas kepala kami, sedang kami berada dalam
gua.Akupun berkata, “Wahai Rasulullah, andaikan seorang diantara mereka melihat
kedua kakinya,maka mereka pasti akan melihat kita di bawah keduanya. Beliau pun
bersabda, “Wahai Abu Bakr, apa sangkaanmu tentang dua orang yang ketiganya
adalah Allah?”[3]
Kisah lain yang menggambarkan penderitaan dan
jihad para sahabat di saat mereka serba kekurangan, tapi mereka tetap setia
membela agama Allah. Dari sahabat Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy -radhiyallahu
anhu-, ia berkata,
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَّرَ عَلَيْنَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ نَتَلَقَّى
عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَزَوَّدَنَا جِرَابًا مِنْ تَمْرٍ لَمْ نَجِدْ لَهُ غَيْرَهُ فَكَانَ
أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً كُنَّا نَمُصُّهَا كَمَا يَمُصُّ الصَّبِيُّ
ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنْ الْمَاءِ فَتَكْفِينَا يَوْمَنَا إِلَى اللَّيْلِ وَكُنَّا
نَضْرِبُ بِعِصِيِّنَا الْخَبَطَ ثُمَّ نَبُلُّهُ بِالْمَاءِ فَنَأْكُلُهُ وَانْطَلَقْنَا
عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ فَرُفِعَ لَنَا كَهَيْئَةِ الْكَثِيبِ الضَّخْمِ فَأَتَيْنَاهُ
فَإِذَا هُوَ دَابَّةٌ تُدْعَى الْعَنْبَرَ فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَيْتَةٌ وَلَا
تَحِلُّ لَنَا ثُمَّ قَالَ لَا بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ فَكُلُوا
فَأَقَمْنَا عَلَيْهِ شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِائَةٍ حَتَّى سَمِنَّا فَلَمَّا قَدِمْنَا
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ
هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا
مِنْهُ فَأَرْسَلْنَا مِنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَكَلَ
“Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengutus kami dan beliau mengangkat Abu
Ubaidah Ibnul Jarroh sebagai pemimpin kami demi menghadang rombongan dagang
orang-orang Quraisy. Beliau membekali kami dengan sekarung korma dan kami tak
mendapati selainnya. Abu Ubaidah pun memberikan kepada setiap orang diantara
kami dengan sebutir korma. Kurma itu kami isap sebagaimana halnya bayi mengisap,
lalu kami minum air setelahnya. Kurma itu mencukupi hari-hari kami sampai malam.
Kami memungut dengan tongkat kami dedaunan yang berguguran,lalu kami basahi
dengan air, dan memakannya. Kamipun berjalan menuju pinggir pantai dan
tiba-tiba muncullah (terapung) di hadapan kami seekor hewan semisal batu besar
(bukit). Kamipun mendatanginya,maka ternyata ia adalah hewan besar yang disebut
dengan “Anbar”. Abu Ubaidah berkata, “Itu adalah bangkai, dan bangkai tak halal
bagi kita”. Kemudian berkata, “Tidak demikian, bahkan kita ini adalah utusan
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan di jalan Allah, serta amat butuh
kepadanya.Karenanya,makanlah ikan itu”. Lalu kami pun tinggal disana selama
sebulan, sedang kami berjumlah 300 orang sampai kami gemuk. Tatkala kami datang
kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,maka kami pun menyebutkan hal
itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Itu adalah rezki dari Allah yang Allah
keluarkan bagi kalian. Apakah ada pada kalian sedikit dari daging ikan itu.
Lantaran itu, kalian memberi makan buat kami dari ikan itu. Kemudian kami pun
mengirim sebagian dari ikan itu kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan beliaupun memakannya”.[4]
Kisah ini adalah bukti terbesar dan tergamblang
tentang pengorbanan dan jihad para sahabat. Mereka bersabar dengan segala macam
kekurangan duniawi dan penderitaan demi menolong agama Allah. Tak ada waktu
mereka,melainkan mereka isi dengan berbagai macam jihad. Diantara jihad
terbesar mereka adalah penyebaran ilmu kepada generasi setelahnya.Merekalah
yang menyampaikan dan mengajarkan Al-Kitab dan Sunnah kepada murid-murid
mereka, lalu para murid menyampaikannya kepada generasi setelahnya dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran sampai kita pun merasakan hasil jerih payah dari jihad
(perjuangan) mereka. Dari sanalah lahir kitab-kitab hadits yang berisi ucapan,
perbuatan, taqrir dan sifat serta perihal kehidupan manusia terbaik, yakni
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan juga para sahabat itu sendiri.
Semua itu lahir dari hasil jerih payah para sahabat -radhiyallahu anhum-.
Semua hasil jerih payah dan jihad para sahabat
lahir dari pertolongan Allah, sedang pertolongan Allah lahir karena mereka
menolong agama Allah yang dibarengi berpegang teguhnya mereka dan juga
tawakkalnya mereka kepada Allah.
Allah -Ta'ala-
berfirman,
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [آل عمران/101]
“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Ali Imraan : 101)
Al-Imam Ibnul-Qoyyim Az-Zar’iy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan
wajibnya mengikuti manhaj salaf (yakni, sahabat) dalam beragama, “Sisi
pengambilan dalil pada ayat ini bahwa Allah -Ta'ala- mengabarkan tentang
orang-orang berpegang teguh kepada-Nya bahwa mereka akan diberi petunjuk menuju
kebenaran. Karenanya, kita katakan, “Para
sahabat –semoga ridho Allah atas mereka- adalah orang-orang yang berpegang
teguh kepada Allah. Jadi, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
Lantaran itu, mengikuti mereka adalah perkara yang wajib”. [5]
Ketika para sahabat menolong agama Allah, maka
mereka menolongnya dengan penuh usaha yang didasari dengan kesabaran mereka.
Adapun kesabaran mereka, maka ia adalah perkara yang sudah maklum sebagaimana
anda lihat dalam lembaran sejarah hidup mereka. Walaupun mereka hidup dengan
penuh kekurangan dan kemiskinan, namun semangat mereka tak pernah surut dalam
membela agama Allah. Tenaga dan pikiran mereka terkuras habis, tapi mereka tak
pernah mengeluh. Lihat saja -sebagai bukti- kepada kisah yang diceritakan
sahabat Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy saat mereka berjihad bersama pimpinan
mereka, Abu Ubaidah -radhiyallahu anhu- menuju tepi pantai yang menelan waktu
berhari-hari dengan perbekalan yang serba terbatas.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ [السجدة/24]
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami. (QS.
As-Sajdah : 24)
Jika kita memperhatikan ayat ini, maka mereka
menjadi pemimpin saat mereka melakukan beberapa perkara: memberi petunjuk
berdasarkan ilmu mereka, kesabaran mereka dan keyakinan (keimanan) mereka
terhadap ayat-ayat Allah -Azza wa Jalla-. Sebagian ulama menjelaskan bahwa
kepemimpinan dalam agama tak mungkin akan diraih, tanpa kesabaran dan
keyakinan. Karena seorang yang mengajak kepada agama Allah, tak mungkin akan
tercapai tujuan dan maksudnya, kecuali karena keyakinannya tentang kebenaran
yang ia dakwahkan dan ilmunya tentang hal itu serta kesabarannya dalam
menunaikan tugas dakwah menuju agama Allah dengan menanggung segala beban
penderitaan dakwah dan menahan diri dari segala sesuatu yang melemahkan
semangat dan kehendaknya. Barangsiapa yang memiliki kriteria seperti ini, maka
ia akan menjadi pemimpin yang akan memberi petunjuk kepada kebenaran.
Para pembaca yang budiman, ayat ini walaupun ia
adalah pujian bagi para pemimpin sholih dari kalangan Bani Israil terdahulu,
namun ia sifatnya umum bagi setiap orang yang memenuhi sifat dan kriteria yang
terdapat di dalamnya.[6]
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata saat menjelaskan
status para sahabat dan wajibnya mengikuti manhaj mereka dalam beragama, “Diantara
perkara yang sudah dimaklumi bahwa para sahabat Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam- lebih berhak dan utama dengan sifat ini (yakni, sifat kepemimpinan)
dibandingkan para sahabat Nabi Musa –alaihis salam-. Mereka (para sahabat)
lebih sempurna keyakinannya dan lebih kuat kesabarannya dibandingkan seluruh
umat. Karenanya, mereka lebih utama mendapatkan kedudukan kepemimpinan ini. Ini
adalah perkara yang nyata –tanpa syak- berdasarkan persaksian Allah bagi
mereka, sanjungan Allah bagi mereka dan persaksian Rasul -Shallallahu alaihi wa
sallam- bagi mereka bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi dan bahwa mereka
adalah orang-orang pilihan Allah. Diantara perkara yang mustahil bagi orang
yang demikian keadaannya, kalau mereka semua keliru, dan (sebaliknya)
orang-orang belakangan yang malah benar. Andaikan hal ini mungkin terjadi, maka
fakta nyata akan terbalik dan orang-orang belakangan akan menjadi pemimpin bagi
para sahabat yang wajib bagi mereka untuk rujuk kepada fatwa dan pendapatnya.
Perkara ini sebagaimana halnya ia mustahil secara inderawi dan akal, maka ia
juga mustahil menurut syariat, wabillahit taufiq”.[7]
Tak heran bila Al-Imam Abu Amer Al-Auza’iy
-rahimahullah- pernah berkata,
وَاتِّبَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
فِيْمَا فَعَلُوْهُ وَقَالُوْهُ أَحْسَنُ
“Mengikuti para sahabat -radhiyallahu anhum- dalam perkara yang
mereka lakukan dan nyatakan adalah lebih baik”.[8]
Jika kesabaran para sahabat tidak diragukan lagi
dalam membela dan mendakwahkan Islam, maka keimanan mereka pun demikian, sebab
keimanan mereka terbina di atas ilmu yang mereka talaqqi (terima) dari
Sang Guru yang terpercaya di sisi Allah, yakni Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Lantaran semua itu, Allah menjadikan keimanan para sahabat sebagai
barometer bagi keimanan generasi yang ada setelah mereka sampai akhir zaman.
Allah -Ta'ala-
berfirman,
(#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé&
$uZøs9Î) !$tBur tAÌRé&
#n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) @Ïè»oÿôÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur ÅÞ$t6óF{$#ur
!$tBur uÎAré&
4ÓyqãB
4Ó|¤Ïãur !$tBur uÎAré&
cqÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB ÇÊÌÏÈ ÷bÎ*sù (#qãZtB#uä
È@÷VÏJÎ/ !$tB
LäêYtB#uä ¾ÏmÎ/ Ïs)sù (#rytG÷d$# (
bÎ)¨r (#öq©9uqs?
$oÿ©VÎ*sù öNèd
Îû 5-$s)Ï©
(
ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù ª!$#
4
uqèdur ßìÏJ¡¡9$#
ÞOÎ=yèø9$# ÇÊÌÐÈ
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ
إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا
أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا
نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136) فَإِنْ
آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ [البقرة/136، 137]
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada
Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya".Jika mereka beriman kepada semisal yang kalian telah
beriman kepadanya, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling,
maka sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah
akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh : 136 & 137)
Al-Imam Abu Abdillah
Al-Qurthubiy
-rahimahullah- berkata, “Maknanya, jika mereka (ahli Kitab) seperti
keimanan kalian dan membenarkan seperti pembenaran kalian, maka sungguh mereka
akan mendapatkan petunjuk. Nah, disinilah terjadi kesamaan antara dua
keimanan”.[9]
Di dalam ayat ini amat
jelas bahwa keimanan para sahabat merupakan standar dan barometer bagi keimanan
manusia selain mereka. Bila seseorang mau mengetahui standar keimanannya, maka
ia harus mencocokkan keimanannya dengan keimanan para sahabat Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-.
Al-Imam Abu Abdillah
Muhammad Ibnul Qoyyim Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan
ayat di atas dan menjelaskan wajibnya mengikuti sahabat dalam beriman, “Ayat
ini menjadikan keimanan para sahabat sebagai timbangan (standard an barometer)
dalam membedakan antara hidayah dan penyimpangan; antara kebenaran dan
kebatilan. Jika para ahli Kitab beriman kepada sesuatu yang diimani oleh para
sahabat, maka mereka (ahli Kitab) akan memperoleh hidayah yang mutlak lagi
sempurna. Bila mereka berpaling dari
keimanan terhadap sesuatu yang pernah diimani oleh para sahabat seperti halnya
keimanan mereka (yakni, para sahabat), maka sungguh mereka (ahli Kitab) akan
terjerumus dalam permusuhan dan perpecahan yang total lagi jauh. Sesuai tingkat
kecocokan iman mereka dengan keimanan para sahabat, maka akan terwujud bagi
mereka suatu hidayah; sesuai tingkat jauhnya mereka dari keimanan para sahabat,
maka akan terjadi permusuhan di kalangan mereka. Sisi pengambilan dalil (dari
ayat ini) bahwa mengikuti para sahabat dalam keimanan merupakan kunci hidayah
dan penjaga dari segala permusuhan dan kesesatan. Keteladan (mengikuti) para
sahabat mencakup keteladan kepada mereka dalam perkara aqidah, ucapan dan
perbuatan mereka. Jadi, semua itu masuk dalam kategori iman di sisi para
pengikut salaf. Sedang mencari hidayah dan keimanan merupakan kewajiban yang
paling besar serta menjauhi permusuhan dan kesesatan merupakan totalitas
kewajiban. Jadi, ini menunjukkan bahwa mengikuti para sahabat merupakan
kewajiban yang paling besar”. [10]
Ini semakin menguatkan kita bahwa menyelisihi
jalan dan manhaj para salaf dalam beragama merupakan pintu kesesatan. Itulah
hikmahnya para ulama dalam segala hal senantiasa mengingatkan tentang
pentingnya mengikuti para sahabat.
Contohnya, Al-Imam Utsman bin Ali Az-Zaila’iy
-rahimahullah- berkata saat menjelaskan nilai yang dikeluarkan dalam perkara
khoroj dan jizyah,
وَاتِّبَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ الْمَقَادِيرَ لَا تُعْرَفُ إلَّا تَوْقِيفًا
“Mengikuti para sahabat -radhiyallahu anhum
ajma’in- di dalam perkara itu adalah wajib, karena masalah ukuran tidaklah
diketahui, kecuali dengan cara tauqiif (didasari dengan nash)[11]”.[12]
Kenapa harus kembali
kepada manhaj para sahabat yang tergambar dalam kesepakatan dan ijma’ diantara
mereka? Jawabnya, demikianlah agar kita tak tersesat dari kebenaran yang mereka
ketahui dari Pembawa syariat, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta'ala-
berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’ : 115)
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata, “Ini
menunjukkan bahwa mengikuti jalan para sahabat dalam memahami syariat Allah
adalah kewajiban dan menyelisihinya adalah suatu kesesatan”.[13]
Mengikuti para sahabat dalam perkara agama
merupakan hal yang wajar, bahkan wajib bagi setiap muslim. Kenapa demikian?
Karena mereka telah mendapatkan pendidikan dan tempaan langsung dari Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta'ala- berfirman,
uqèd
Ï%©!$#
y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$#
Zwqßu
öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã
¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê
&ûüÎ7B
ÇËÈ
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ [الجمعة/2]
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Jumu’ah : 2)
Beliau diutus sebagai pengajar bagi para sahabat
tentang Al-Kitab dan As-Sunnah, sebab ini merupakan tujuan utama kerasulan dan
kenabian. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- hanyalah mengajari generasi
sahabat, sedang generasi yang ada setelah mereka hanyalah talaqqi (menerima)
ilmu dari jalur para sahabat. Para sahabat telah diajari oleh Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- tentang Al-Kitab beserta makna-maknanya, kaedah dan
aturan-aturannya sebagaimana halnya beliau mengajari mereka tentang Sunnah
dengan ta’lim (pengajaran) yang paling lengkap dan sempurna. Tak ada
orang lain yang menyertai para sahabat dalam ber-talaqqi (menerima
pelajaran) dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dari sanalah, tak
ada seorang pun yang menyamai mereka dalam hal kesempurnaan ilmu dan
pemahamannya. Karena, orang yang menerima langsung pengajaran dari Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- dan belajar di depan beliau, tak akan sama
dengan orang yang menerima pengajaran dari selain beliau. Sebab, tak mungkin
ada seseorang yang mampu menyamai Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam hal penjelasan dan pengajaran. Nah, tentunya orang yang terbaik kita
ikuti adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya, yakni para
sahabat.
Al-Imam Muhammad Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
Az-Zar’iy -rahimahullah-
berkata saat memetik faedah dari ayat ini tentang wajibnya mengikuti para
sahabat, “Sisi pengambilan dalil (dari ayat ini) bahwa manusia yang paling
utama untuk diikuti adalah manusia yang sempurna keilmuan dan pemahamannya,
sedangkan para sahabat adalah manusia yang sempurna ilmu dan pemahamannya.
Karenanya, selayaknya mereka diikuti dan didahulukan ketika berselisih atau kontradiksinya
pemahaman dan keputusan”. [14]
Lantaran itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah
menetap bahwa mengikuti para sahabat dan murid-murid mereka dari kalangan
tabi’in adalah perkara wajib dan termasuk salah satu prinsip mereka dalam
beragama.
Al-Imam Isma’il bin Abdir Rahman Ash-Shobuniy -rahimahullah- berkata, “Para Ahlus Sunnah
meneladani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mereka
laksana bintang-bintang. Siapa saja diantara sahabat yang dicontoh oleh mereka,
maka mereka akan memperoleh hidayah”.[15]
Karena ketinggian ilmu para sahabat, mereka pun
memperoleh hidayah yang sempurna dari Allah -Azza wa Jalla- sehingga mereka menjadi
manusia yang berjalan di atas jalan lurus, jalan al-haq.
Allah -Ta'ala-
berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي
كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ
الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ [الحجرات/7]
“Dan Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau
ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat
kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang rosyid (yang
lurus)”. (QS. Al-Hujurat : 7)
Kata “ar-rosyid” terambil dari kata “ar-rusydu”
yang bermakna dhiddul ghoyyi (tidak menyimpang). Terkadang juga ia
bermakna “al-hidayah” (petunjuk).
Itulah alasannya sampai Ibnul Qoyyim
Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat memetik sisi pengambilan
dalil tentang wajibnya mengikuti para sahabat, “Barangsiapa yang lurus lagi
mendapatkan hidayah, maka tentu ucapan dan fatwanya lebih mendekati kebenaran
dibandingkan orang yang tidak demikian halnya. Ini mengharuskan keteladan
kepada mereka (para sahabat) serta mendahulukan ucapan dan pemahaman mereka
karena kesempurnaan hidayah mereka. Sedangkan para sahabat demikianlah halnya
berdasarkan nash ayat ini. Jadi, ayat ini mengharuskan pendahuluan pernyataan
dan fatwa para sahabat, wallahu a’lam”. [16]
Jadi, pernyataan dan perbuatan para sahabat yang
tak ada perselisihan di antara mereka di dalamnya merupakan hujjah yang harus
dipegangi oleh setiap orang yang ingin selamat dari segala macam kesalahan dan
penyimpangan dalam memahami syariat Allah -Azza wa Jalla-. Inilah manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’aah dari zaman ke zaman.
Syaikh Muhammad bin Abdir Rahman Al-Khumayyis -hafizhahullah- berkata, “Diantara prinsip
manhaj Ahlul Hadits, mengikuti ucapan para sahabat dan tabi’in (pengikut)
mereka dalam kebaikan dari kalangan imam-imam agama dalam prinsip aqidah secara
khusus dan dalam perkara agama secara umum. Adapun (wajibnya mengikuti) para
sahabat, karena keutamaan yang diberikan kepada mereka berupa kemuliaan
persahabatan (dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-), mereka mengambil
ilmu agama dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, selamatnya hati mereka dan
amalan mereka dari segala macam bid’ah, serta selamatnya lisan mereka dari
keajaman (ketidakfasihan). Adapun (wajibnya mengikuti) para tabi’in, karena
mereka juga telah mengambil ilmu agama secara langsung dari para sahabat dan
karena kedekatan mereka dengan zaman kenabian”.[17]
Inilah keutamaan yang tidak dimiliki oleh generasi
apapun setelah meninggalnya para sahabat. Dengan sebab itu, para ulama dari
masa ke masa senantiasa menghormati ilmu para sahabat dan menyebutkan perbuatan
dan pernyataan mereka di kala terjadinya khilaf, karena mereka semua berteladan
kepada para sahabat -radhiyallahu anhum- .
[1] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/362-363)
[2] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/396)
oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul
Hadits, 1422 H.
[3] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Manaqib
Al-Anshori, bab: Hijroh An-Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- wa
Ash-haabih ilaa Al-Madinah, dan Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah,
bab: Min Fadho’il Abi Bakr Ash-Shiddiq -radhiyallahu anhu- (no. 6119/1/1)
[4] HR. Muslim dalam Kitab
Ash-Shoid wa Adz-Dzabaa’ih, bab: Ibaahah Maitaat Al-Bahr (no.
4974/17/1) dan Abu Dawud dalam Kitab Al-Ath’imah, bab: Fi
Dawaabb Al-Bahr (no. 3840). Lihat Tuhfah Al-Asyroof (no.
2724).
[5] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/396-397)
oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul
Hadits, 1422 H.
[6] Ini sesuai kaedah “al-ibroh bi umuumil lafzhi
laa bi khushuusis sabab”, artinya: yang menjadi pegangan adalah keumuman
lafazh ayat tersebut, bukan kekhususan sebab turunnya ayat itu. wallahu A’lam.
[Lihat Majmu’ Al-Fatawa (13/338-339) karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, Al-Itqoon (1/85-86) karya Abu Bakr As-Suyuthiy dan ushul
fi At-Tafsir (hal. 13), karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin,
cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah, 1422 H]
[7] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/397)
oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul
Hadits, 1422 H.
[8] Lihat Asy-Syarh Al-Kabir (2/359)
karya Al-Imam Abdur Rahman Ibnu Qudamah.
[10] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh
Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 53) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet.
Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[11] Jika suatu perkara tidak ditemukan penjelasannya
dari Al-Kitab dan As-Sunnah, lalu ada dalam penjelasan para sahabat, maka perlu
diketahui bahwa penjelasan para sahabat, mereka terima dari Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Karenanya, pernyataan para sahabat dalam kondisi seperti ini
merupakan nash dan hujjah yang boleh dipegangi, wallahu A’lam bish
showaab.
[12] Lihat Tabyiin Al-Haqoo’iq Syarh Kanz
Ad-Daqoo’iq (9/417)
[13] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof (hal.
54), cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.
[14] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh
Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 59) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet.
Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[15] Lihat Ar-Risalah fi I’tiqod Ahlis Sunnah wa
Ash-haab Al-Hadits wa Al-A’immah (hal. 107) karya Al-Imam Ash-Shobuniy,
dengan tahqiq Abul Yamin Al-Manshuriy, cet. Daar Al-Minhaaj, 1423 H.
[16] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh
Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 59) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet.
Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[17] Lihat I’tiqood Ahlis Sunnah Syarh Ash-haab
Al-Hadits (hal. 134) oleh Syaikh Al-Khumayyis, cet. Wuzaaroh
Asy-Syu’uunil Islaamiyyah- Syamilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan