Selasa, 11 Agustus 2015

Wajibnya Mengikuti Manhaj Salaf (Seri : 03)


Hasil gambar untuk jalan perbukitan
Para "As-Salaf Ash-sholih" dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti manhaj (metodologi) mereka dalam beragama adalah manusia-manusia pilihan yang Allah siapkan dalam mengemban risalah Al-Kitab dan Sunnah dari manusia terbaik di sisi Allah, yakni Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah memang memilih mereka untuk hal itu, karena Allah telah mengetahui ketulusan hati dan ketabahan mereka dalam menjalankan tugas mulia itu. Allah telah mengisyaratkan, bahkan menjelaskan ciri dan kehidupan para sahabat yang akan menjadi pioner dakwah Islam sebagaimana yang tercantum dalam ayat yang berbunyi,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا [الفتح/29]
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS.Al-Fath : 29)
Para sahabat diperumpamakan oleh Allah -Azza wa Jalla- dengan tunas yang menguatkan tanaman,karena para sahabat telah menguatkan dan mendukung Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dengan segala kemampuan mereka sampai titik darah penghabisan.
Ketulusan dan ketabahan mereka dalam membela dan menyebarkan Islam ke penjuru dunia membuat orang-orang kafir dan kaum musyrikin berang kepada para sahabat sampai hari ini.
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fidaa’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat yang agung ini, Para sahabat -radhiyallahu anhum-, niat mereka ikhlash (tulus) dan amalan mereka baik. Karenanya,setiap orang  yang memandangi mereka, akan takjub kepada mereka dalam sisi perangai dan jalan hidup mereka. Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Telah sampai berita kepadaku bahwa orang-orang Nashoro bila melihat para sahabat yang membuka negeri Syam, maka mereka bertutur, “Demi Allah, sungguh mereka (para sahabat) lebih baik dibandingkan para hawariyyun (murid-murid Nabi Isa -Shallallahu alaihi wa sallam-) berdasarkan berita sampai kepada kami”. Kaum Nashoro ini betul dalam perkara itu, karena umat Islam ini telah diagungkan dalam kitab-kitab yang berlalu.Sedang orang yang termulia dan terafdhol dari kalangan umat ini adalah para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.Allah sungguh telah meyebutkan mereka dalam kitab-kitab yang pernah diturunkan dan berita-berita yang tersebar. Setiap orang yang menapaki jejak (manhaj) para sahabat, maka ia sama hukumnya dengan para sahabat. Para sahabat telah memiliki keutamaan,andil, dan kesempurnaan yang tak mampu dikejar oleh seorang pun dari kalangan umat ini. Semoga Allah meridhoi mereka dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat kediaman mereka”.[1]
Keikhlasan dan ketabahan diri mereka tergambar dalam jihad (perjuangan) mereka dalam membela dan menyebarkan Islam. Mereka dalam jihadnya telah menghabiskan umur, harta, anak, bahkan nyawa mereka siap dilayangkan demi Islam. Mereka pantang menyerah dan senantiasa siaga dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memilih para sahabat dalam menemani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam setiap langkah dan gerakِ jihadnya. Allah -Ta'ala- berfiman,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ [الحج/78]
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia”. (QS. Al-Hajj : 78)   
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah memilih para sahabat untuk-Nya dan menjadikan mereka orang-orang dekat kepada-Nya dan manusia pilihan dari kalangan makhluk-Nya setelah para nabi dan rasul. Karena inilah, Allah memerintahkan mereka untuk berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Lantaran itu,mereka pun mengerahkan diri mereka demi Allah, mengesakan-Nya dalam cinta dan penyembahan. Mereka juga memilih Allah saja sebagai sembahan dan sesuatu yang mereka cintai di atas segala sesuatu selain-Nya sebagaimana halnya Allah telah memilih mereka (para sahabat) atas selain mereka. Akhirnya, merekapun menjadikan Allah saja sebagai  sebagai sembahan mereka yang mereka mendekatkan diri kepada-Nya dengan lisan, anggota badan, hati, cinta dan kehendak mereka. Jadi,mereka pun mengutamakan Allah dalam segala keadaan atas selain-Nya…Maksudnya disini bahwa mereka bila dengan kedudukan seperti ini di sisi Allah -Ta'ala-, maka termasuk perkara yang mustahil bila Allah menghalangi mereka semuanya dari kebenaran dalam suatu masalah, lalu sebagian mereka memfatwakan sebuah kesalahan di dalamnya dan sebagian dari mereka juga tidak memfatwakan kebenaran. Kemudian orang-orang setelah mereka (selain sahabat) mendapatkan petunjuk dalam permasalahan itu, wallahulmusta’aan!!”.[2]
Jihad yang mereka lakukan, entah berupa jihad lisan, harta, ilmu dan senjata, seluruhnya telah diakui oleh semua orang.Tak ada yang ragu tentang hal itu,kecuali seorang yang jahil tentang perihal kehidupan mereka. Bukti hal ini amat gamblang dan banyak kita temukan dalam sejarah hidup mereka.
Lihatlah abu Bakr Ash-Shiddiq yang telah mengorbankan seluruh harta benda dan jiwanya dalam membela Islam. Dengarkan Abu Bakr -radhiyallahu anhu- bertutur saat jiwanya terancam dalam hijrah bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
نَظَرْتُ إِلَى أَقْدَامِ الْمُشْرِكِينَ عَلَى رُءُوسِنَا وَنَحْنُ فِي الْغَارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ إِلَى قَدَمَيْهِ أَبْصَرَنَا تَحْتَ قَدَمَيْهِ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا
“Aku melihat kaki kaummusyrikin di atas kepala kami, sedang kami berada dalam gua.Akupun berkata, “Wahai Rasulullah, andaikan seorang diantara mereka melihat kedua kakinya,maka mereka pasti akan melihat kita di bawah keduanya. Beliau pun bersabda, “Wahai Abu Bakr, apa sangkaanmu tentang dua orang yang ketiganya adalah Allah?”[3]
Kisah lain yang menggambarkan penderitaan dan jihad para sahabat di saat mereka serba kekurangan, tapi mereka tetap setia membela agama Allah. Dari sahabat Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَّرَ عَلَيْنَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ نَتَلَقَّى عِيرًا لِقُرَيْشٍ وَزَوَّدَنَا جِرَابًا مِنْ تَمْرٍ لَمْ نَجِدْ لَهُ غَيْرَهُ فَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً كُنَّا نَمُصُّهَا كَمَا يَمُصُّ الصَّبِيُّ ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنْ الْمَاءِ فَتَكْفِينَا يَوْمَنَا إِلَى اللَّيْلِ وَكُنَّا نَضْرِبُ بِعِصِيِّنَا الْخَبَطَ ثُمَّ نَبُلُّهُ بِالْمَاءِ فَنَأْكُلُهُ وَانْطَلَقْنَا عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ فَرُفِعَ لَنَا كَهَيْئَةِ الْكَثِيبِ الضَّخْمِ فَأَتَيْنَاهُ فَإِذَا هُوَ دَابَّةٌ تُدْعَى الْعَنْبَرَ فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ مَيْتَةٌ وَلَا تَحِلُّ لَنَا ثُمَّ قَالَ لَا بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ فَكُلُوا فَأَقَمْنَا عَلَيْهِ شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِائَةٍ حَتَّى سَمِنَّا فَلَمَّا قَدِمْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا مِنْهُ فَأَرْسَلْنَا مِنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengutus kami dan beliau mengangkat Abu Ubaidah Ibnul Jarroh sebagai pemimpin kami demi menghadang rombongan dagang orang-orang Quraisy. Beliau membekali kami dengan sekarung korma dan kami tak mendapati selainnya. Abu Ubaidah pun memberikan kepada setiap orang diantara kami dengan sebutir korma. Kurma itu kami isap sebagaimana halnya bayi mengisap, lalu kami minum air setelahnya. Kurma itu mencukupi hari-hari kami sampai malam. Kami memungut dengan tongkat kami dedaunan yang berguguran,lalu kami basahi dengan air, dan memakannya. Kamipun berjalan menuju pinggir pantai dan tiba-tiba muncullah (terapung) di hadapan kami seekor hewan semisal batu besar (bukit). Kamipun mendatanginya,maka ternyata ia adalah hewan besar yang disebut dengan “Anbar”. Abu Ubaidah berkata, “Itu adalah bangkai, dan bangkai tak halal bagi kita”. Kemudian berkata, “Tidak demikian, bahkan kita ini adalah utusan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan di jalan Allah, serta amat butuh kepadanya.Karenanya,makanlah ikan itu”. Lalu kami pun tinggal disana selama sebulan, sedang kami berjumlah 300 orang sampai kami gemuk. Tatkala kami datang kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,maka kami pun menyebutkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Itu adalah rezki dari Allah yang Allah keluarkan bagi kalian. Apakah ada pada kalian sedikit dari daging ikan itu. Lantaran itu, kalian memberi makan buat kami dari ikan itu. Kemudian kami pun mengirim sebagian dari ikan itu kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan beliaupun memakannya”.[4]
Kisah ini adalah bukti terbesar dan tergamblang tentang pengorbanan dan jihad para sahabat. Mereka bersabar dengan segala macam kekurangan duniawi dan penderitaan demi menolong agama Allah. Tak ada waktu mereka,melainkan mereka isi dengan berbagai macam jihad. Diantara jihad terbesar mereka adalah penyebaran ilmu kepada generasi setelahnya.Merekalah yang menyampaikan dan mengajarkan Al-Kitab dan Sunnah kepada murid-murid mereka, lalu para murid menyampaikannya kepada generasi setelahnya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sampai kita pun merasakan hasil jerih payah dari jihad (perjuangan) mereka. Dari sanalah lahir kitab-kitab hadits yang berisi ucapan, perbuatan, taqrir dan sifat serta perihal kehidupan manusia terbaik, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan juga para sahabat itu sendiri. Semua itu lahir dari hasil jerih payah para sahabat -radhiyallahu anhum-.
Semua hasil jerih payah dan jihad para sahabat lahir dari pertolongan Allah, sedang pertolongan Allah lahir karena mereka menolong agama Allah yang dibarengi berpegang teguhnya mereka dan juga tawakkalnya mereka kepada Allah.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  [آل عمران/101]
“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Ali Imraan : 101)
Al-Imam Ibnul-Qoyyim Az-Zar’iy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan wajibnya mengikuti manhaj salaf (yakni, sahabat) dalam beragama, “Sisi pengambilan dalil pada ayat ini bahwa Allah -Ta'ala- mengabarkan tentang orang-orang berpegang teguh kepada-Nya bahwa mereka akan diberi petunjuk menuju kebenaran. Karenanya, kita katakan, “Para sahabat –semoga ridho Allah atas mereka- adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah. Jadi, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Lantaran itu, mengikuti mereka adalah perkara yang wajib”. [5]
Ketika para sahabat menolong agama Allah, maka mereka menolongnya dengan penuh usaha yang didasari dengan kesabaran mereka. Adapun kesabaran mereka, maka ia adalah perkara yang sudah maklum sebagaimana anda lihat dalam lembaran sejarah hidup mereka. Walaupun mereka hidup dengan penuh kekurangan dan kemiskinan, namun semangat mereka tak pernah surut dalam membela agama Allah. Tenaga dan pikiran mereka terkuras habis, tapi mereka tak pernah mengeluh. Lihat saja -sebagai bukti- kepada kisah yang diceritakan sahabat Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy saat mereka berjihad bersama pimpinan mereka, Abu Ubaidah -radhiyallahu anhu- menuju tepi pantai yang menelan waktu berhari-hari dengan perbekalan yang serba terbatas.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ  [السجدة/24]
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (QS. As-Sajdah : 24)
Jika kita memperhatikan ayat ini, maka mereka menjadi pemimpin saat mereka melakukan beberapa perkara: memberi petunjuk berdasarkan ilmu mereka, kesabaran mereka dan keyakinan (keimanan) mereka terhadap ayat-ayat Allah -Azza wa Jalla-. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam agama tak mungkin akan diraih, tanpa kesabaran dan keyakinan. Karena seorang yang mengajak kepada agama Allah, tak mungkin akan tercapai tujuan dan maksudnya, kecuali karena keyakinannya tentang kebenaran yang ia dakwahkan dan ilmunya tentang hal itu serta kesabarannya dalam menunaikan tugas dakwah menuju agama Allah dengan menanggung segala beban penderitaan dakwah dan menahan diri dari segala sesuatu yang melemahkan semangat dan kehendaknya. Barangsiapa yang memiliki kriteria seperti ini, maka ia akan menjadi pemimpin yang akan memberi petunjuk kepada kebenaran.
Para pembaca yang budiman, ayat ini walaupun ia adalah pujian bagi para pemimpin sholih dari kalangan Bani Israil terdahulu, namun ia sifatnya umum bagi setiap orang yang memenuhi sifat dan kriteria yang terdapat di dalamnya.[6]
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata saat menjelaskan status para sahabat dan wajibnya mengikuti manhaj mereka dalam beragama, “Diantara perkara yang sudah dimaklumi bahwa para sahabat Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- lebih berhak dan utama dengan sifat ini (yakni, sifat kepemimpinan) dibandingkan para sahabat Nabi Musa –alaihis salam-. Mereka (para sahabat) lebih sempurna keyakinannya dan lebih kuat kesabarannya dibandingkan seluruh umat. Karenanya, mereka lebih utama mendapatkan kedudukan kepemimpinan ini. Ini adalah perkara yang nyata –tanpa syak- berdasarkan persaksian Allah bagi mereka, sanjungan Allah bagi mereka dan persaksian Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi mereka bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi dan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan Allah. Diantara perkara yang mustahil bagi orang yang demikian keadaannya, kalau mereka semua keliru, dan (sebaliknya) orang-orang belakangan yang malah benar. Andaikan hal ini mungkin terjadi, maka fakta nyata akan terbalik dan orang-orang belakangan akan menjadi pemimpin bagi para sahabat yang wajib bagi mereka untuk rujuk kepada fatwa dan pendapatnya. Perkara ini sebagaimana halnya ia mustahil secara inderawi dan akal, maka ia juga mustahil menurut syariat, wabillahit taufiq”.[7]
Tak heran bila Al-Imam Abu Amer Al-Auza’iy -rahimahullah- pernah berkata,
وَاتِّبَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فِيْمَا فَعَلُوْهُ وَقَالُوْهُ أَحْسَنُ
“Mengikuti para sahabat -radhiyallahu anhum- dalam perkara yang mereka lakukan dan nyatakan adalah lebih baik”.[8]
Jika kesabaran para sahabat tidak diragukan lagi dalam membela dan mendakwahkan Islam, maka keimanan mereka pun demikian, sebab keimanan mereka terbina di atas ilmu yang mereka talaqqi (terima) dari Sang Guru yang terpercaya di sisi Allah, yakni Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Lantaran semua itu, Allah menjadikan keimanan para sahabat sebagai barometer bagi keimanan generasi yang ada setelah mereka sampai akhir zaman.
Allah -Ta'ala- berfirman,
(#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøŠs9Î) !$tBur tAÌRé& #n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»oÿôœÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤ŠÏãur !$tBur uÎAré& šcqŠÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ Ÿw ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB ÇÊÌÏÈ ÷bÎ*sù (#qãZtB#uä È@÷VÏJÎ/ !$tB LäêYtB#uä ¾ÏmÎ/ Ïs)sù (#rytG÷d$# ( bÎ)¨r (#öq©9uqs? $oÿ©VÎ*sù öNèd Îû 5-$s)Ï© ( ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù ª!$# 4 uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÊÌÐÈ
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136) فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ  [البقرة/136، 137]
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".Jika mereka beriman kepada semisal yang kalian telah beriman kepadanya, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, maka sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh : 136 & 137)

Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Maknanya, jika mereka (ahli Kitab) seperti keimanan kalian dan membenarkan seperti pembenaran kalian, maka sungguh mereka akan mendapatkan petunjuk. Nah, disinilah terjadi kesamaan antara dua keimanan”.[9]
Di dalam ayat ini amat jelas bahwa keimanan para sahabat merupakan standar dan barometer bagi keimanan manusia selain mereka. Bila seseorang mau mengetahui standar keimanannya, maka ia harus mencocokkan keimanannya dengan keimanan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qoyyim Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat di atas dan menjelaskan wajibnya mengikuti sahabat dalam beriman, “Ayat ini menjadikan keimanan para sahabat sebagai timbangan (standard an barometer) dalam membedakan antara hidayah dan penyimpangan; antara kebenaran dan kebatilan. Jika para ahli Kitab beriman kepada sesuatu yang diimani oleh para sahabat, maka mereka (ahli Kitab) akan memperoleh hidayah yang mutlak lagi sempurna. Bila mereka berpaling  dari keimanan terhadap sesuatu yang pernah diimani oleh para sahabat seperti halnya keimanan mereka (yakni, para sahabat), maka sungguh mereka (ahli Kitab) akan terjerumus dalam permusuhan dan perpecahan yang total lagi jauh. Sesuai tingkat kecocokan iman mereka dengan keimanan para sahabat, maka akan terwujud bagi mereka suatu hidayah; sesuai tingkat jauhnya mereka dari keimanan para sahabat, maka akan terjadi permusuhan di kalangan mereka. Sisi pengambilan dalil (dari ayat ini) bahwa mengikuti para sahabat dalam keimanan merupakan kunci hidayah dan penjaga dari segala permusuhan dan kesesatan. Keteladan (mengikuti) para sahabat mencakup keteladan kepada mereka dalam perkara aqidah, ucapan dan perbuatan mereka. Jadi, semua itu masuk dalam kategori iman di sisi para pengikut salaf. Sedang mencari hidayah dan keimanan merupakan kewajiban yang paling besar serta menjauhi permusuhan dan kesesatan merupakan totalitas kewajiban. Jadi, ini menunjukkan bahwa mengikuti para sahabat merupakan kewajiban yang paling besar”. [10]
Ini semakin menguatkan kita bahwa menyelisihi jalan dan manhaj para salaf dalam beragama merupakan pintu kesesatan. Itulah hikmahnya para ulama dalam segala hal senantiasa mengingatkan tentang pentingnya mengikuti para sahabat.
Contohnya, Al-Imam Utsman bin Ali Az-Zaila’iy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan nilai yang dikeluarkan dalam perkara khoroj dan jizyah,
وَاتِّبَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ فِيهِ وَاجِبٌ لِأَنَّ الْمَقَادِيرَ لَا تُعْرَفُ إلَّا تَوْقِيفًا
“Mengikuti para sahabat -radhiyallahu anhum ajma’in- di dalam perkara itu adalah wajib, karena masalah ukuran tidaklah diketahui, kecuali dengan cara tauqiif (didasari dengan nash)[11].[12]
Kenapa harus kembali kepada manhaj para sahabat yang tergambar dalam kesepakatan dan ijma’ diantara mereka? Jawabnya, demikianlah agar kita tak tersesat dari kebenaran yang mereka ketahui dari Pembawa syariat, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا  [النساء/115]
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’ : 115)

Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata, “Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan para sahabat dalam memahami syariat Allah adalah kewajiban dan menyelisihinya adalah suatu kesesatan”.[13]
Mengikuti para sahabat dalam perkara agama merupakan hal yang wajar, bahkan wajib bagi setiap muslim. Kenapa demikian? Karena mereka telah mendapatkan pendidikan dan tempaan langsung dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta'ala- berfirman,
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ  [الجمعة/2]
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Jumu’ah : 2)
Beliau diutus sebagai pengajar bagi para sahabat tentang Al-Kitab dan As-Sunnah, sebab ini merupakan tujuan utama kerasulan dan kenabian. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- hanyalah mengajari generasi sahabat, sedang generasi yang ada setelah mereka hanyalah talaqqi (menerima) ilmu dari jalur para sahabat. Para sahabat telah diajari oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang Al-Kitab beserta makna-maknanya, kaedah dan aturan-aturannya sebagaimana halnya beliau mengajari mereka tentang Sunnah dengan ta’lim (pengajaran) yang paling lengkap dan sempurna. Tak ada orang lain yang menyertai para sahabat dalam ber-talaqqi (menerima pelajaran) dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dari sanalah, tak ada seorang pun yang menyamai mereka dalam hal kesempurnaan ilmu dan pemahamannya. Karena, orang yang menerima langsung pengajaran dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan belajar di depan beliau, tak akan sama dengan orang yang menerima pengajaran dari selain beliau. Sebab, tak mungkin ada seseorang yang mampu menyamai Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hal penjelasan dan pengajaran. Nah, tentunya orang yang terbaik kita ikuti adalah orang yang paling sempurna ilmu dan pemahamannya, yakni para sahabat.
Al-Imam Muhammad Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah Az-Zar’iy -rahimahullah- berkata saat memetik faedah dari ayat ini tentang wajibnya mengikuti para sahabat, “Sisi pengambilan dalil (dari ayat ini) bahwa manusia yang paling utama untuk diikuti adalah manusia yang sempurna keilmuan dan pemahamannya, sedangkan para sahabat adalah manusia yang sempurna ilmu dan pemahamannya. Karenanya, selayaknya mereka diikuti dan didahulukan  ketika berselisih atau kontradiksinya pemahaman dan keputusan”. [14]
Lantaran itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menetap bahwa mengikuti para sahabat dan murid-murid mereka dari kalangan tabi’in adalah perkara wajib dan termasuk salah satu prinsip mereka dalam beragama.
Al-Imam Isma’il bin Abdir Rahman Ash-Shobuniy -rahimahullah- berkata, “Para Ahlus Sunnah meneladani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mereka laksana bintang-bintang. Siapa saja diantara sahabat yang dicontoh oleh mereka, maka mereka akan memperoleh hidayah”.[15] 
Karena ketinggian ilmu para sahabat, mereka pun memperoleh hidayah yang sempurna dari Allah -Azza wa Jalla- sehingga mereka menjadi manusia yang berjalan di atas jalan lurus, jalan al-haq.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ  [الحجرات/7]
“Dan Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang rosyid (yang lurus)”. (QS. Al-Hujurat : 7)
Kata “ar-rosyid” terambil dari kata “ar-rusydu” yang bermakna dhiddul ghoyyi (tidak menyimpang). Terkadang juga ia bermakna “al-hidayah” (petunjuk).
Para sahabat adalah orang-orang yang lurus jalannya lagi mendapatkan petunjuk yang telah sempurna hidayah dan kelurusan (ketepatan) mereka dalam memilih kebenaran. Semua ini mencakup kesempurnaah hidayah dalam ucapan, perbuatan, mengenal kekeliruan atau kebenaran, kebenaran dan kebatilan. Ini semua mengharuskan bahwa mereka (para sahabat) adalah manusia yang paling berhak mendapatkan hidayah menuju kebenaran dibandingkan selain mereka.
Itulah alasannya sampai Ibnul Qoyyim Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat memetik sisi pengambilan dalil tentang wajibnya mengikuti para sahabat, “Barangsiapa yang lurus lagi mendapatkan hidayah, maka tentu ucapan dan fatwanya lebih mendekati kebenaran dibandingkan orang yang tidak demikian halnya. Ini mengharuskan keteladan kepada mereka (para sahabat) serta mendahulukan ucapan dan pemahaman mereka karena kesempurnaan hidayah mereka. Sedangkan para sahabat demikianlah halnya berdasarkan nash ayat ini. Jadi, ayat ini mengharuskan pendahuluan pernyataan dan fatwa para sahabat, wallahu a’lam”. [16]
Jadi, pernyataan dan perbuatan para sahabat yang tak ada perselisihan di antara mereka di dalamnya merupakan hujjah yang harus dipegangi oleh setiap orang yang ingin selamat dari segala macam kesalahan dan penyimpangan dalam memahami syariat Allah -Azza wa Jalla-. Inilah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’aah dari zaman ke zaman.
Syaikh Muhammad bin Abdir Rahman Al-Khumayyis -hafizhahullah- berkata, “Diantara prinsip manhaj Ahlul Hadits, mengikuti ucapan para sahabat dan tabi’in (pengikut) mereka dalam kebaikan dari kalangan imam-imam agama dalam prinsip aqidah secara khusus dan dalam perkara agama secara umum. Adapun (wajibnya mengikuti) para sahabat, karena keutamaan yang diberikan kepada mereka berupa kemuliaan persahabatan (dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-), mereka mengambil ilmu agama dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, selamatnya hati mereka dan amalan mereka dari segala macam bid’ah, serta selamatnya lisan mereka dari keajaman (ketidakfasihan). Adapun (wajibnya mengikuti) para tabi’in, karena mereka juga telah mengambil ilmu agama secara langsung dari para sahabat dan karena kedekatan mereka dengan zaman kenabian”.[17]
Inilah keutamaan yang tidak dimiliki oleh generasi apapun setelah meninggalnya para sahabat. Dengan sebab itu, para ulama dari masa ke masa senantiasa menghormati ilmu para sahabat dan menyebutkan perbuatan dan pernyataan mereka di kala terjadinya khilaf, karena mereka semua berteladan kepada para sahabat -radhiyallahu anhum- .





[1] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/362-363)
[2] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/396) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[3] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Manaqib Al-Anshori, bab: Hijroh An-Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- wa Ash-haabih ilaa Al-Madinah, dan Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah, bab: Min Fadho’il Abi Bakr Ash-Shiddiq -radhiyallahu anhu- (no. 6119/1/1)
[4] HR. Muslim dalam Kitab Ash-Shoid wa Adz-Dzabaa’ih, bab: Ibaahah Maitaat Al-Bahr (no. 4974/17/1) dan Abu Dawud dalam Kitab Al-Ath’imah, bab: Fi Dawaabb Al-Bahr (no. 3840). Lihat Tuhfah Al-Asyroof (no. 2724).
[5] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/396-397) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[6] Ini sesuai kaedah “al-ibroh bi umuumil lafzhi laa bi khushuusis sabab”, artinya: yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh ayat tersebut, bukan kekhususan sebab turunnya ayat itu. wallahu A’lam. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (13/338-339) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Itqoon (1/85-86) karya Abu Bakr As-Suyuthiy dan ushul fi At-Tafsir (hal. 13), karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah, 1422 H]
[7] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/397) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[8] Lihat Asy-Syarh Al-Kabir (2/359) karya Al-Imam Abdur Rahman Ibnu Qudamah.
[9] Lihat Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an (2/142)
[10] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 53) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[11] Jika suatu perkara tidak ditemukan penjelasannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, lalu ada dalam penjelasan para sahabat, maka perlu diketahui bahwa penjelasan para sahabat, mereka terima dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karenanya, pernyataan para sahabat dalam kondisi seperti ini merupakan nash dan hujjah yang boleh dipegangi, wallahu A’lam bish showaab.
[12] Lihat Tabyiin Al-Haqoo’iq Syarh Kanz Ad-Daqoo’iq (9/417)
[13] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof (hal. 54), cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.
[14] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 59) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[15] Lihat Ar-Risalah fi I’tiqod Ahlis Sunnah wa Ash-haab Al-Hadits wa Al-A’immah (hal. 107) karya Al-Imam Ash-Shobuniy, dengan tahqiq Abul Yamin Al-Manshuriy, cet. Daar Al-Minhaaj, 1423 H.
[16] Lihat Basho’ir Dzawisy Syarof bi Syarh Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 59) oleh Salim bin Ied Al-Hilaliy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1420 H.
[17] Lihat I’tiqood Ahlis Sunnah Syarh Ash-haab Al-Hadits (hal. 134) oleh Syaikh Al-Khumayyis, cet. Wuzaaroh Asy-Syu’uunil Islaamiyyah- Syamilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya yang sopan