Ust. Abu Asybal Al-Muhammadiy, Lc.[1]
Impotensi atau disfungsi ereksi (Bahasa
Inggris: erectile dysfunction) adalah ketidakmampuan untuk
memulai ereksi atau
mempertahankan ereksi. Penyakit ini terkadang ditemukan pada kaum pria. Pada
wanita, ada kemiripan dengan mandul. Penyakit ini merupakan penyakit yang
menghalangi seseorang untuk mendapatkan keturunan. Penyebabnya banyak dan
bermacam-macam (https://id.wikipedia.org/wiki/Disfungsi_ereksi)
Kasus adanya
pasangan yang impotensi, sering kali ditanyakan oleh para istri atau wanita
pada umumnya,
"Apa hukumnya wanita minta cerai, karena suaminya mengalami
impotensi?"
Hukum asalnya
seorang wanita diharamkan meminta dan menggugat cerai dr suaminya, kecuali bila
ada alasan yang syar'i.
Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
أيُّما امرأةٍ
سألت زوجَها طلاقاً فِي غَيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الجَنَّةِ
“Wanita
mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak
[alasan yang benar] maka haram baginya bau surga.”[2]
Adapun jika ada
udzur syar'i, misanya suami impoten, sehingga suami dianggap tidak bisa
menunaikan nafkah batin istrinya berupa kebutuhan biologis, maka boleh bagi si
istri meminta cerai. Sebab ini merupakan udzur dan perkara yang menyusahkan
wanita dan membuatnya menderita.
Seorang wanita
layaknya seorang lelaki mendambakan kebahagiaan lahir-batin serta menantikan
datangnya keturunan yang sholih dapat meneruskan usaha dan perjuangannya.
Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Siapa
saja diantara kalian yang memiliki al-ba'ah (kemampuan), maka hendaknya ia
menikah. Siapa yang tak mampu, maka hendaknya ia melazimi puasa. Karena, puasa
itu pelindung (dr gejolak syahwat)." [3]
Jika salah
satunya ada pada seorang lelaki, maka ia dianggap tidak mampu dan tercela
baginya untuk menikah dalam kondisi tersebut.[4]
Karena, pasti ia akan menzholimi calon istrinya dan lainnya serta tak mampu
memenuhi kebutuhan mereka.
Al-Imam
Al-Qodhi 'Iyadh -rahimahullah- berkata,
اتَّفَقَ
كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ حَقًّا فِي الْجِمَاعِ،
فَيَثْبُتُ الْخِيَارُ لَهَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَجْبُوبَ وَالْمَمْسُوحَ
جَاهِلَةً بِهِمَا، وَيُضْرَبُ لِلْعِنِّينِ أَجَلُ سَنَةٍ لِاحْتِمَالِ زَوَالِ
مَا بِهِ.
"Para ulama sepakat bahwa seorang wanita punya hak dalam
hal jimak. Karenanya, telah tetap baginya pilihan (antara pisah dan tidak),
jika ia menikah dengan suami yang kehilangan pelir atau kehilangan kemaluan
dalam kondisi ia tak tahu (sebelumnya); dan bagi suami yang impoten diberi masa
tenggang selama setahun, karena masih mungkinnya hal itu hilang." [Lihat
Fathul Bari
(9/468)]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata,
وَإِذَا كَانَ
الزَّوْجُ عِنِّينًا أَوْ مَجْبُوبًا فَعَامَّتُهُمْ عَلَى أَنَّ لَهَا الْفَسْخَ
"Jika
sang suami impoten, atau kehilangan pelir, maka mayoritas ulama berpendapat
bahwa si istri memiliki hak fasakh." [Lihat
Majmu' Al-Fatawa (29/351)]
Seorang
ulama Syafi'iyyah, Al-Imam Utsman Ibnush Sholah
-rahimahullah- berkata,
لا يثبت لها
الفسخ بعد ثبوت التعنين حتى يضرب له الحاكم أجل سنة فإذا مضت السنة ولم يطأها فلها
الفسخ بحكم الحاكم والله أعلم
"Tidak
sah baginya fasakh setelah jelasnya padanya impotensi sampai pemerintah
menetapkan bagi suami (masa tenggang) selama setahun. Jika setahun telah
berlalu dan ia tak mampu menggauli istri, maka istri berhak menggugat fasakh
berdasarkan keputusan pemerintah, wallahu a'lam." [Lihat
Fatawa Ibnish Sholaah (jld. 1/hlm. 72)]
Syaikh
Athiyyah Shoqr Al-Mishriy -rahimahullah-
berkata dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar,
وإذا ظهر أن
بالزوج عيبا يمنع الإنجاب . كأن كان مجبوبا -أى مقطوع الذكر-أو عنينا - أى غير
قادر على الجماع لضعف خلقى أو كبر السن مثلا-أو خصيا-أى مقطوع الخصيتين -فللزوجة
أن ترفع الأمر إلى القضاء لطلب التفريق بينه وبينها ، وإذا ثبت ذلك عند القاضى بأى
طريق من طرق الإثبات أمر الزوج بتطليقها ، فإن لم يطلقها ناب عنه القاضى فى
تطليقها منعا للضرر الذى يلحقها -وهذا الطلاق يكون بائنا بينونة صغرى
"Jika
tampak bahwa pada suami ada aib yang menghalangi terjadinya kelahiran,
misalnya: suami terputus dzakarnya atau ia impoten (ia tak mampu berjimak)
karena kelemahan fisik, atau lansia –misalnya-, atau terputus pelirnya, maka si
istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan demi meminta adanya pemisahan
antara suami dan istri. Jika hal itu terbukti di sisi hakim dengan suatu metode
diantara metode-metode pembuktian, maka suami diperintah untuk menalak
istrinya. Jika ia tidak mentalaknya, maka suami diganti oleh hakim dalam sang
istri demi mencegah madhorot yang akan menimpa istri. Talak ini merupakan talak
ba'in shugro." [Lihat Fatawa Al-Azhar
(10/89)][5]
Al-Imam
Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Maushiliy Al-Hanafiy
-rahimahullah- berkata,
فإذاكان الزوج
عنينا وخاصمته المرأة في ذلك أجّله القاضي سنة فإن وصل إليها، وإلا فرق بينهما إن
طلب المرأة ذلك، لأن لها حقا في الوطء فلها المطالبة به ، ويجوز أن يكون ذلك لمرض
، ويحتمل أن يكون لآفة أصلية فجعلت السنة معرفة لذلك لاشتمالها على الفصول الأربعة
؛ فإن كان المرض من برودة أزاله حر الصيف ، وإن كان من رطوبة أزاله يبس الخريف ،
وإن كان من حرارة أزاله برد الشتاء ، وإن كان من يبس أزاله رطوبة الربيع على ما عليه
العادة ، وروي ذلك عن عمر وعلي وابن مسعود رضي الله عنهم ، فإذا مضت السنة، ولم
يصل إليها علم أنه لآفة أصلية فتخير
"Jika
suami impoten, dan istri menggugatnya dalam hal itu, maka hakim memberi masa
tempo kepada suami selama setahun. Jika ia telah sampai setahun. Jika ia sudah
bisa berhubungan, (maka tidak dipisah). Namun jika tidak mampu, maka dipisah
diantara keduanya, jika si istri meminta hal itu. Karena istri punya hak jimak,
sehingga ia punya hak tuntutan dalam hal itu.
Impotensi
tersebut boleh jadi karena penyakit. Mungkin juga karena gangguan alami,
sehingga masa tempo setahun dijadikan sebagai tanda pengenal bagi hal itu,
karena setahun itu mencakup empat musim. Jika penyakit impoten itu terjadi
karena (pengaruh) dingin, maka ia akan dihilangkan oleh panasnya musim panas.
Jika impoten karena kelembaban, maka ia dihilangkan oleh udara kering di musim
gugur. Jika impotennya karena panas,
maka ia akan dihilangkan oleh dinginnya musim dingin. Jika impoten karena udara
kering, maka ia akan dihilangkan dengan kelembaban musim semi sebagai biasanya.
Hal itu (masa tenggang setahun) telah diriwayatkan dr Umar, Ali, Ibnu Mas'ud
-radhiyallahu anhum-.
Jika telah
lewat setahun, namun suami masih saja belum mampu berjimak dg istrinya, maka
diketahuilah bahwa penyakit impotennya (lahir) karena gangguan pembawaan,
sehingga si istri diberi pilihan (antara berpisah atau tidak)." [Lihat Al-Ikhtiyar
li Ta'lil Al-Mukhtar (3/128-129)]
Syaikh
Abdur Rohman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata,
وَإِذَا وَجَدَتْهُ
عَنِيْناً: أُجِّلَ إِلَى سَنَةٍ، فَإِنْ مَضَتْ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلَهَا الْفَسْخُ
“Jika
istri mendapati suaminya impoten, maka ditunda (diberi waktu kesempatan)
satu tahun, jika telah berlalu dan suami masih impoten, maka istri berhak
menuntut fasakh.”[6]
Al-Allamah
Syaikh Sholih bin abdillah Al-Fawzan -hafizhahullah-
berkata,
هناك عيوب تثبت
الخيار في النكاح، فمنها : - أن من وجدت زوجها لا يقدر على الوطء لكونه عنينا أو
مقطوع الذكر فلها الفسخ ، وإن ادعت أنه عنين ، فأقر بذلك ، أجل سنة ، فإن وطئ فيها
، وإلا ، فلها الفسخ .
"Disana
terdapat beberapa aib (kekurangan) yang menetapkan adanya khiyar (pilihan bagi
sepasang suami-istri) dalam hal pernikahan. Diantaranya, siapa saja (dari
kalangan istri) yang mendapati suaminya tidak mampu berhubungan kelamin, karena
ia (suami) impoten atau terputus kemaluannya, maka si istri punya hak fasakh.
Jika ia
mengklaim bahwa suaminya impoten, lalu suami mengakuinya, maka ia diberi tempo
setahun. Jika ia mampu berjimak (dalam waktu setahun itu), (maka tdk ada
fasakh). Namun jika tak mampu, maka si istri memiliki hal fasakh." [Lihat
Al-Mulakhkhosh Al-Fiqhiy (jld. 2/hlm. 199)]
Inilah pendapat
yang lurus dari para ulama berdasarkan atsar-atsar yang shohih dari para salaf.[7]
Jadi seorang
wanita yang mendapatkan suami yang impoten, maka :
1. istri berhak meminta agar pernikahannya dibatalkan.
Itulah fasakh (الفسخ).
2. Gugatan istri hendaknya diangkat ke pengadilan agar
diputuskan urusan keduanya.[8]
3. Namun sebelum fasakh ditetapkan, maka si suami diberi
masa tenggang satu tahun.
4. Ketika tiba masa tenggangnya sdh habis, maka si suami
harus menalak istrinya, atau hakim yang menggantikannya jika suami enggan.
5. Istri yang telah fasakh nikahnya, memiliki masa iddah
selama 3 kali haidh.
6. Jika ternyata suami sembuh dr penyakit impotensinya dlm
masa tenggang, maka si istri tak berhak menggugat fasakh. Tapi boleh juga ia bertahan hidup bersamanya karena ada kemaslahatan yg menuntut kedua pihak.
7. Jika keduanya dipisah, sedang mereka sudah berhubungan
badan, maka istri tetap mendapatkan maharnya. Jika belum, maka si wanita hanya
berhak setengah dr maharnya.[9]
Demikian apa yg
perlu kami jawab dr pertanyaan itu. Semoga bermanfaat dan memberi solusi. Jika
ada benarnya, maka semua itu adalah taufik dr Allah. Namun jika kami keliru,
maka itu berasal dr kelemahan kami.
Simak juga artikel menarik lainnya:
* Jangan Makan dan Minum dengan Tangan Kiri
* Dimanakah Tempat Turunnya Nabi Adam
* Masihkah Ada Pintu Tobat Bagiku
* Menyoal Parade Tauhid
* Bolehkah Bayi yang Baru Lahir Diadzani?
* Jangan Makan dan Minum dengan Tangan Kiri
* Dimanakah Tempat Turunnya Nabi Adam
* Masihkah Ada Pintu Tobat Bagiku
* Menyoal Parade Tauhid
* Bolehkah Bayi yang Baru Lahir Diadzani?
[1] Al-Muhammadiy
bukan nisbah ke organisasi Muhammadiyah, tapi nisbah kepada Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Penulis adalah alumnus Islamic University of Medinah, KSA.
[2]
HR Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1928,
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1187), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(no. 2055). Di-shohih-kan oleh Syaikh Albaniy dalam (no. 3279)
[4]
Beda
halnya jika ia mendapatkan wanita yang paham dg kondisinya yg mengidap impoten,
sehingga ia menggugurkan hak jimak dr suaminya.
[7] Pendapat para salaf dalam hal ini
bisa ditengok di dalam Al-Mushonnaf, karya Ibnu Abi Syaibah dari Umar
(3/504 & 4/149), Asy-Sya'biy (3/504), dan lainnya.
[8] Urusan
sperti ini harus diangkat ke pengadilan agar para hakim yg mengadilinya dg
baik. Sebab, terkadang terjadi silang pendapat dan kesalahpahaman. Kadang juga
salah satu pihak berdusta dalam gugatannya, karena ada tendensi tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan