Selasa, 18 Agustus 2015

Solusi Istri saat Suami Impoten








Ust. Abu Asybal Al-Muhammadiy, Lc.[1]

Impotensi atau disfungsi ereksi (Bahasa Inggriserectile dysfunction) adalah ketidakmampuan untuk memulai ereksi atau mempertahankan ereksi. Penyakit ini terkadang ditemukan pada kaum pria. Pada wanita, ada kemiripan dengan mandul. Penyakit ini merupakan penyakit yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan keturunan. Penyebabnya banyak dan bermacam-macam (https://id.wikipedia.org/wiki/Disfungsi_ereksi)

Kasus adanya pasangan yang impotensi, sering kali ditanyakan oleh para istri atau wanita pada umumnya,
"Apa hukumnya wanita minta cerai, karena suaminya mengalami impotensi?"

Hukum asalnya seorang wanita diharamkan meminta dan menggugat cerai dr suaminya, kecuali bila ada alasan yang syar'i.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak [alasan yang benar] maka haram baginya bau surga.”[2]

Adapun jika ada udzur syar'i, misanya suami impoten, sehingga suami dianggap tidak bisa menunaikan nafkah batin istrinya berupa kebutuhan biologis, maka boleh bagi si istri meminta cerai. Sebab ini merupakan udzur dan perkara yang menyusahkan wanita dan membuatnya menderita.

Seorang wanita layaknya seorang lelaki mendambakan kebahagiaan lahir-batin serta menantikan datangnya keturunan yang sholih dapat meneruskan usaha dan perjuangannya.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Siapa saja diantara kalian yang memiliki al-ba'ah (kemampuan), maka hendaknya ia menikah. Siapa yang tak mampu, maka hendaknya ia melazimi puasa. Karena, puasa itu pelindung (dr gejolak syahwat)." [3]

Para ulama menjelaskan hadits ini bahwa kata al-ba'ah (kemampuan) mengandung dua hal : nafkah berupa biaya hidup, dan kebutuhan biologis (jimak). [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibn Al-Hajjaj (9/173) oleh Al-Imam An-Nawawiy]

Jika salah satunya ada pada seorang lelaki, maka ia dianggap tidak mampu dan tercela baginya untuk menikah dalam kondisi tersebut.[4] Karena, pasti ia akan menzholimi calon istrinya dan lainnya serta tak mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Para pembaca yang kami muliakan, disini ada baiknya kami bawakan sejumlah nukilan dr para ulama kita seputar persoalan yang kita bahas, semoga dengannya kita akan mengerti dan anda tahu bahwa ini bukan pendapat pribadi kami.

Al-Imam Al-Qodhi 'Iyadh -rahimahullah- berkata,
اتَّفَقَ كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ حَقًّا فِي الْجِمَاعِ، فَيَثْبُتُ الْخِيَارُ لَهَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَجْبُوبَ وَالْمَمْسُوحَ جَاهِلَةً بِهِمَا، وَيُضْرَبُ لِلْعِنِّينِ أَجَلُ سَنَةٍ لِاحْتِمَالِ زَوَالِ مَا بِهِ.
"Para ulama sepakat bahwa seorang wanita punya hak dalam hal jimak. Karenanya, telah tetap baginya pilihan (antara pisah dan tidak), jika ia menikah dengan suami yang kehilangan pelir atau kehilangan kemaluan dalam kondisi ia tak tahu (sebelumnya); dan bagi suami yang impoten diberi masa tenggang selama setahun, karena masih mungkinnya hal itu hilang." [Lihat Fathul Bari (9/468)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata,
وَإِذَا كَانَ الزَّوْجُ عِنِّينًا أَوْ مَجْبُوبًا فَعَامَّتُهُمْ عَلَى أَنَّ لَهَا الْفَسْخَ
"Jika sang suami impoten, atau kehilangan pelir, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa si istri memiliki hak fasakh." [Lihat Majmu' Al-Fatawa (29/351)]

Seorang ulama Syafi'iyyah, Al-Imam Utsman Ibnush Sholah -rahimahullah- berkata,
لا يثبت لها الفسخ بعد ثبوت التعنين حتى يضرب له الحاكم أجل سنة فإذا مضت السنة ولم يطأها فلها الفسخ بحكم الحاكم والله أعلم
"Tidak sah baginya fasakh setelah jelasnya padanya impotensi sampai pemerintah menetapkan bagi suami (masa tenggang) selama setahun. Jika setahun telah berlalu dan ia tak mampu menggauli istri, maka istri berhak menggugat fasakh berdasarkan keputusan pemerintah, wallahu a'lam." [Lihat Fatawa Ibnish Sholaah (jld. 1/hlm. 72)]

Syaikh Athiyyah Shoqr Al-Mishriy -rahimahullah- berkata dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar,
وإذا ظهر أن بالزوج عيبا يمنع الإنجاب . كأن كان مجبوبا -أى مقطوع الذكر-أو عنينا - أى غير قادر على الجماع لضعف خلقى أو كبر السن مثلا-أو خصيا-أى مقطوع الخصيتين -فللزوجة أن ترفع الأمر إلى القضاء لطلب التفريق بينه وبينها ، وإذا ثبت ذلك عند القاضى بأى طريق من طرق الإثبات أمر الزوج بتطليقها ، فإن لم يطلقها ناب عنه القاضى فى تطليقها منعا للضرر الذى يلحقها -وهذا الطلاق يكون بائنا بينونة صغرى
"Jika tampak bahwa pada suami ada aib yang menghalangi terjadinya kelahiran, misalnya: suami terputus dzakarnya atau ia impoten (ia tak mampu berjimak) karena kelemahan fisik, atau lansia –misalnya-, atau terputus pelirnya, maka si istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan demi meminta adanya pemisahan antara suami dan istri. Jika hal itu terbukti di sisi hakim dengan suatu metode diantara metode-metode pembuktian, maka suami diperintah untuk menalak istrinya. Jika ia tidak mentalaknya, maka suami diganti oleh hakim dalam sang istri demi mencegah madhorot yang akan menimpa istri. Talak ini merupakan talak ba'in shugro." [Lihat Fatawa Al-Azhar (10/89)][5]

Al-Imam Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Maushiliy Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,
فإذاكان الزوج عنينا وخاصمته المرأة في ذلك أجّله القاضي سنة فإن وصل إليها، وإلا فرق بينهما إن طلب المرأة ذلك، لأن لها حقا في الوطء فلها المطالبة به ، ويجوز أن يكون ذلك لمرض ، ويحتمل أن يكون لآفة أصلية فجعلت السنة معرفة لذلك لاشتمالها على الفصول الأربعة ؛ فإن كان المرض من برودة أزاله حر الصيف ، وإن كان من رطوبة أزاله يبس الخريف ، وإن كان من حرارة أزاله برد الشتاء ، وإن كان من يبس أزاله رطوبة الربيع على ما عليه العادة ، وروي ذلك عن عمر وعلي وابن مسعود رضي الله عنهم ، فإذا مضت السنة، ولم يصل إليها علم أنه لآفة أصلية فتخير
"Jika suami impoten, dan istri menggugatnya dalam hal itu, maka hakim memberi masa tempo kepada suami selama setahun. Jika ia telah sampai setahun. Jika ia sudah bisa berhubungan, (maka tidak dipisah). Namun jika tidak mampu, maka dipisah diantara keduanya, jika si istri meminta hal itu. Karena istri punya hak jimak, sehingga ia punya hak tuntutan dalam hal itu.
Impotensi tersebut boleh jadi karena penyakit. Mungkin juga karena gangguan alami, sehingga masa tempo setahun dijadikan sebagai tanda pengenal bagi hal itu, karena setahun itu mencakup empat musim. Jika penyakit impoten itu terjadi karena (pengaruh) dingin, maka ia akan dihilangkan oleh panasnya musim panas. Jika impoten karena kelembaban, maka ia dihilangkan oleh udara kering di musim gugur. Jika impotennya karena  panas, maka ia akan dihilangkan oleh dinginnya musim dingin. Jika impoten karena udara kering, maka ia akan dihilangkan dengan kelembaban musim semi sebagai biasanya. Hal itu (masa tenggang setahun) telah diriwayatkan dr Umar, Ali, Ibnu Mas'ud -radhiyallahu anhum-.
Jika telah lewat setahun, namun suami masih saja belum mampu berjimak dg istrinya, maka diketahuilah bahwa penyakit impotennya (lahir) karena gangguan pembawaan, sehingga si istri diberi pilihan (antara berpisah atau tidak)." [Lihat Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar (3/128-129)]

Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata, 
وَإِذَا وَجَدَتْهُ عَنِيْناً: أُجِّلَ إِلَى سَنَةٍ، فَإِنْ مَضَتْ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلَهَا الْفَسْخُ
“Jika istri mendapati suaminya impoten, maka ditunda (diberi waktu kesempatan) satu tahun, jika telah berlalu dan suami masih impoten, maka istri berhak menuntut fasakh.”[6]

Al-Allamah Syaikh Sholih bin abdillah Al-Fawzan -hafizhahullah- berkata,
هناك عيوب تثبت الخيار في النكاح، فمنها : - أن من وجدت زوجها لا يقدر على الوطء لكونه عنينا أو مقطوع الذكر فلها الفسخ ، وإن ادعت أنه عنين ، فأقر بذلك ، أجل سنة ، فإن وطئ فيها ، وإلا ، فلها الفسخ .
"Disana terdapat beberapa aib (kekurangan) yang menetapkan adanya khiyar (pilihan bagi sepasang suami-istri) dalam hal pernikahan. Diantaranya, siapa saja (dari kalangan istri) yang mendapati suaminya tidak mampu berhubungan kelamin, karena ia (suami) impoten atau terputus kemaluannya, maka si istri punya hak fasakh.
Jika ia mengklaim bahwa suaminya impoten, lalu suami mengakuinya, maka ia diberi tempo setahun. Jika ia mampu berjimak (dalam waktu setahun itu), (maka tdk ada fasakh). Namun jika tak mampu, maka si istri memiliki hal fasakh." [Lihat Al-Mulakhkhosh Al-Fiqhiy (jld. 2/hlm. 199)]

Inilah pendapat yang lurus dari para ulama berdasarkan atsar-atsar yang shohih dari para salaf.[7]

Jadi seorang wanita yang mendapatkan suami yang impoten, maka :
1.      istri berhak meminta agar pernikahannya dibatalkan. Itulah fasakh (الفسخ).
2.      Gugatan istri hendaknya diangkat ke pengadilan agar diputuskan urusan keduanya.[8]
3.      Namun sebelum fasakh ditetapkan, maka si suami diberi masa tenggang satu tahun.
4.      Ketika tiba masa tenggangnya sdh habis, maka si suami harus menalak istrinya, atau hakim yang menggantikannya jika suami enggan.
5.      Istri yang telah fasakh nikahnya, memiliki masa iddah selama 3 kali haidh.
6.      Jika ternyata suami sembuh dr penyakit impotensinya dlm masa tenggang, maka si istri tak berhak menggugat fasakh. Tapi boleh juga ia bertahan hidup bersamanya karena ada kemaslahatan yg menuntut kedua pihak.
7.      Jika keduanya dipisah, sedang mereka sudah berhubungan badan, maka istri tetap mendapatkan maharnya. Jika belum, maka si wanita hanya berhak setengah dr maharnya.[9]

Demikian apa yg perlu kami jawab dr pertanyaan itu. Semoga bermanfaat dan memberi solusi. Jika ada benarnya, maka semua itu adalah taufik dr Allah. Namun jika kami keliru, maka itu berasal dr kelemahan kami.





[1] Al-Muhammadiy bukan nisbah ke organisasi Muhammadiyah, tapi nisbah kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Penulis adalah alumnus Islamic University of Medinah, KSA.
[2] HR Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1928, At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1187), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 2055). Di-shohih-kan oleh Syaikh Albaniy dalam (no. 3279) 
[3] HR. Al-Bukhory dalam Shohih-nya (no. 5065) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1400).
[4] Beda halnya jika ia mendapatkan wanita yang paham dg kondisinya yg mengidap impoten, sehingga ia menggugurkan hak jimak dr suaminya.
[5] Bisa dilihat juga di situs : http://islamport.com/w/ftw/Web/432/4589.htm
[6] Lihat Manhaj As-Salikin (hlm. 77) karya Syaikh As-Sa'diy.
[7] Pendapat para salaf dalam hal ini bisa ditengok di dalam Al-Mushonnaf, karya Ibnu Abi Syaibah dari Umar (3/504 & 4/149), Asy-Sya'biy (3/504), dan lainnya.
[8] Urusan sperti ini harus diangkat ke pengadilan agar para hakim yg mengadilinya dg baik. Sebab, terkadang terjadi silang pendapat dan kesalahpahaman. Kadang juga salah satu pihak berdusta dalam gugatannya, karena ada tendensi tertentu.
[9] Ini didasari oleh firman Allah -Tabaroka wa Ta'ala- dalam Surotul Baqoroh : ayat 237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya yang sopan