...................................................................................................................................................................
Salaf
(pendahulu) kita adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan
orang-orang yang mengikuti manhaj dan jalan mereka dalam beragama.
Oleh karena itu, Abu Dzar Al-Ghifari
-radhiyallahu anhu- berkata,
تركنا رسول الله صلى
الله عليه وسلم و ما طائر يقلب جناحيه في الهواء إلا و هو يذكرنا منه علما ، قال :
فقال صلى الله عليه وسلم: مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقََرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ
مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- telah meninggalkan kami, sedang tak ada seekor burung pun yang
mengepakkan sayapnya di udara, kecuali beliau telah menjelaskan ilmu kepada
kami. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tiada suatu perkara
yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah
dijelaskan kepada kalian”.[1]
Jadi, para sahabat Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- adalah manusia pilihan yang diberikan kelebihan dan
kemampuan yang tidak diberikan kepada generasi setelahnya dalam menyampaikan
risalah dan dakwah Islam.
Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu
anhu- berkata,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ ، وَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ،
ثُمَّ نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ قُلُوْبِ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ
وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ
"Sesungguhnya
Allah -Ta'ala- telah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad
-Shallallahu alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik hati hamba. Lantaran itu,
Allah memilihnya untuk diri-Nya, dan mengutusnya membawa risalah-Nya. Kemudian Allah
melihat lagi hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Allah menemukan hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para
hamba. Lantaran itu, Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya;
mereka berperang di atas agama-Nya".[2]
Abdu Robbih bin Abd Al-Azdiy -rahimahullah-
berkata,
عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ
قَالَ : كُنَّا عِنْدَ الْحَسَنِ فِيْ مَجْلِسٍ ، فَذَكَرَ كَلاَمًا ، وَذَكَرَ أَصْحَابَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ : « أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا
تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَإِقَامَةِ
دِيْنِهِ ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا
-وَرَبِّ الْكَعْبَةِ- عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيْمِ
"Kami
pernah berada di sisi Al-Hasan di suatu majelis. Kemudian beliau menyebutkan
suatu ucapan, dan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya
berkata, "Mereka itulah para sahabat Muhammad, mereka orang-orang yang
paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, paling
sedikit pemaksaan dirinya. Mereka adalah kaum
yang dipilih oleh Allah -Azza wa Jalla- untuk menemani Nabi-Nya, dan
menegakkan agama-Nya. Lantaran itu, tirulah akhlak mereka, dan jalan hidup
(manhaj) mereka, karena mereka –demi Tuhannya Ka'bah—berada di atas jalan yang
lurus".[3]
Semua ini menjelaskan kepada kita
tentang wajibnya kembali kepada manhaj salaf, manhaj para sahabat dan
pengikutnya. Sebab manhaj (jalan) mereka dalam beragama adalah perkara yang
mereka talaqqi (terima) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai
guru dan pembimbing mereka.
Ilmu para sahabat telah diakui oleh
semua kalangan, dari zaman mereka sampai zaman sekarang, baik kawan, maupun
lawan. Bukti terbesar atas kecerdasan dan kehebatan mereka dalam memahami agama
ini, apa yang anda lihat berupa karya yang maha hebat. Lihatlah -misalnya- Tafsir
Ath-Thobari, di dalamnya terdapat penafsiran para sahabat yang mulia.
Andaikan penafsiran para sahabat
tidak dibukukan, maka banyak diantara kita yang tak memahami Al-Qur'an dan
Sunnah dengan baik. Para ulama hadits telah
mengumpulkan komentar dan ucapan mereka yang berisi ilmu yang bermanfaat. Lihat
saja ucapan-ucapan mereka di dalam masalah fikih, dan lainnya di dalam Mushonnaf
Ibnu Abi Syaibah, Mushonnaf Abdir Rozzaq Ash-Shon'aniy,
dan Shohih Ibnu Khuzaimah, Muwaththo' Malik, Kutubus
Sittah, Sunan Ad-Darimiy, dan lainnya.
Ucapan mereka sedemikian rapinya,
dan lengkapnya sehingga generasi berikutnya dapat memahami Islam yang mulia
ini. Orang yang menyatakan bahwa para sahabat adalah kaum yang dangkal ilmunya,
maka ia adalah orang-orang yang malas membuka karya-karya ulama yang kami sebutkan
di atas, dan lainnya. Jika ia akan membuka dan membaca sedikit saja, maka ia
akan tercengang dan terheran melihat kehebatan para sahabat.
Selain itu, tak ada suatu kitab
fiqih yang telah ditulis oleh para ulama kita dari berbagai madzhab, kecuali
kitab-kitab itu dihiasi oleh lembaran-lembaran yang memuat komentar, fatwa dan
pernyataan para sahabat -radhiyallahu anhum-. Silakan anda membuka kita fiqih
karangan Imam Malik yang berjudul “Al-Muwaththo’”, karangan
Al-Imam Asy-Syafi’iy yang berjudul “Al-Umm” atau “Ar-Risalah”.
Buka juga kitab-kitab Al-Masa’il karangan
para murid Al-Imam Ahmad bin Hambal[4],
karangan Al-Imam Al-Baihaqiy yang berjudul As-Sunan Al-Kubro,
karangan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy yang berjudul “Syarh Ma’anil
Atsar”, karangan Al-Imam Ibnu Abdil Barr yang berjudul At-Tamhid
atau Al-Istidzkar, karangan Ibnu Hazm yang berjudul Al-Muhalla
dan lainnya.
Tak lupa, anda coba menelaah
kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias As-Salafiyyun, semisal: Syarh
Ushul Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Al-Imam Al-Laalikaa’iy, Asy-Syari’ah
oleh Al-Imam Al-Aajurriy, Aqidah As-Salaf Ash-habil Hadits oleh
Al-Imam Ash-Shobuniy, Ushul As-Sunnah oleh Al-Imam Ahmad, As-Sunnah
oleh Abdullah bin Ahmad, dan lainnya.[5]
Semua kitab-kitab ini memuat ucapan
para Salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Semua ini
menyadarkan kita bahwa derajat dan keutamaan para Salaf dalam memahami,
mengamalkan, menyampaikan dan memperjuangkan agama dan Sunnah Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- sampai mereka dijadikan oleh para ulama
setelahnya sebagai barometer dan standar dalam menilai benar tidaknya suatu
perkara agama berdasarkan pernyataan dan petunjuk para sahabat. Oleh karena
itu, wajar jika kita wajib mengikuti mereka dalam beragama.
Kekuatan ilmu dan pemahaman para
sahabat ditopang oleh bimbingan langsung dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam memahami ayat per ayat sampai mereka memahaminya dengan baik[6].
Seorang diantara mereka (yakni, Abdullah
bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- ) pernah berkata,
وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ مَا
أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ أَيْنَ أُنْزِلَتْ
وَلَا أُنْزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ فِيمَ أُنْزِلَتْ
وَلَوْ أَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنِّي بِكِتَابِ اللَّهِ تُبَلِّغُهُ الْإِبِلُ
لَرَكِبْتُ إِلَيْه
“Demi Allah Yang tak ada sembahan yang haq selain-Nya,
tidaklah diturunkan sebuah surah dari Kitabullah, kecuali aku tahu dimana ia
diturunkan; tidak pula diturunkan suatu ayat dari Kitabullah, kecuali aku tahu
pada siapa ia diturunkan. Andai aku tahu ada seseorang yang lebih berilmu
daripada aku tentang Kitabullah, sedang ia dicapai oleh onta, niscaya aku akan
berkendaraan (bersafar) menuju kepadanya”.[7]
Mengapa para sahabat lebih tahu dan
berilmu tentang agama Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
An-Nabawiyyah? Tentunya karena mereka telah mempelajarinya langsung dari
manusia yang paling paham tentang agama Allah, yakni Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- serta mereka mengetahui seluk beluk ayat, untuk apa dan pada siapa, kapan
turunnya, karena sebab apa ia turun. Demikian pula, mereka menemani Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam menerapkan firman-firman Allah sehingga
mereka lebih paham dan mengerti tentang keinginan Allah dan Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Inilah sebabnya para ulama dari zaman ke zaman
senantiasa menukil penafsiran para sahabat terhadap suatu ayat atau berpegang
dengan pemahaman para sahabat terhadap suatu hadits dari Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Karena, orang yang menyaksikan sebuah peristiwa akan lebih
paham dibandingkan orang yang hanya mendengarnya dari orang lain.[8]
Banyak
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan wajibnya mengikuti manhaj para
sahabat dalam beragama, baik dalam perkara aqidah, hukum dan akhlak. Al-Imam
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah telah mengumpulkan ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar
tentang wajibnya mengikuti manhaj para sahabat di dalam kitabnya yang indah “I’lam
Al-Muwaqqi’in an Robbil Alamin” di bawah judul bab: “Al-Adillah alaa
anna Ittibaa’ Ash-Shohabah wajibun” (Dalil-dalil bahwa Mengikuti Para
Sahabat adalah Wajib).[9]
Nah,
ada baiknya jika kita menukil ayat-ayat,
hadits-hadits dan atsar tersebut agar menjadi hujjah dan pelajaran bagi
kita tentang wajibnya mengikuti manhaj dan pemahaman para As-Salaf Ash-Sholih,
secara khusus para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Sejumlah Dalil dari Kitabullah
Diantara dalil wahyu
yang menerangkan wajibnya bagi setiap muslim mengikuti dan menapaki jalan dan
pemahaman para sahabat dalam beragama adalah beberapa dalil-dalil berikut:
1.
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [التوبة/100]
"Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. At-Taubah : 100)
Al-Imam
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata saat mengomentari ayat ini, “Sisi
pendalilan ayat ini bahwa Allah -Ta'ala- memuji orang-orang yang mengikuti.
Jika mereka (para sahabat) mengucapkan suatu perkataan, lalu diikuti oleh
seseorang atasnya sebelum ia mengenal keabsahannya, maka orang ini dianggap)
telah mengikuti para sahabat. Karenanya, mesti ia terpuji atas perbuatannya itu
dan berhak mendapatkan ridho”.[10]
Ayat
ini menunjukkan manhaj para sahabat -radhiyallahu anhum- adalah hujjah yang wajib diikuti, sebab
ia adalah dalil. Lantaran itu, orang yang mengikuti mereka berhak mendapatkan
ridho. Tak akan dipuji, kecuali orang yang mengikuti dalil. Karenanya, wajib
mengikuti para sahabat bagi setiap ulama dan orang awam, karena kewajiban
seorang ulama aalah mengikuti dalil sebagaimana Allah -Ta'ala- berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا
تَذَكَّرُونَ [الأعراف/3]
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS. Al-A’raaf : 3)
Andaikan mengikuti sahabat bukanlah dalil, maka pasti
orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan hukuman, bukan ridho Allah. Coba
tadabburi!![11]
2.
Allah -Ta'ala- berfirman,
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ
أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ [يس/21]
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan
kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Yaasiin : 21)
Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Inilah
yang dikisahkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta'ala- tentang kawan Yasin sebagai
bentuk keridhoan terhadap ucapan ini dan pujian kepada pengucapnya serta
persetujuan kepadanya atas ucapan tersebut. Setiap orang diantara sahabat
tidaklah memintai kita balasan, sedang mereka mendapatkan hidayah berdasarkan
dalil firman Allah -Ta'ala- yang ditujukan kepada mereka,
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ
النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [آل عمران/103]
“Dan kalian telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu. Semoga kalian mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran: 103)
Kata “semoga” dari Allah adalah
wajib (harus)…
Juga didasari oleh firman Allah -Ta'ala-,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا [العنكبوت/69]
“Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami”.
(QS. Al-Ankabuut : 69)
Setiap orang diantara mereka
(yakni, para sahabat) telah berperang di jalan
dan berjihad, entah dengan tangannya atau dengan lisannya. Lantaran itu,
sungguh Allah telah memberikan petunjuk kepada mereka. Setiap orang yang Allah
beri petunjuk, maka ia akan mendapatkan petunjuk. Karenanya, wajib mengikuti para
sahabat berdasarkan ayat ini” [12].
Jihad dan pengorbanan para
sahabat tidak ada yang mengingkarinya, kecuali orang-orang yang hatinya
berpenyakit, semisal kaum Syi’ah-Rofidhoh!!
3.
Allah -Ta'ala- berfirman,
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيّ [لقمان/15]
“…dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku”. (QS. Luqman : 15)
Al-Imam Abul Faroj Abdur Rahman
Ibnul Jauziy -rahimahullah-
berkata, “Tentang maksud “orang yang kembali”, ada tiga pendapat. Pertama:
bahwa ia adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Ada yang berkata kepada Sa’d, “Ikutilah
jalannya dalam perkara iman”. Inilah makna ucapan Ibnu Abbas dalam sebuah
riwayat ayat. Ibnu Ishaq berkata, “Utsman bin Affan, Tholhah, Zubair, Sa’d bin
Abi Waqqosh dan Abdur Rahman bin auf telah masuk Islam melalui tangan Abu Bakr
Ash-Shiddiq”. Kedua: bahwa ia adalah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Pendapat ini ditegaskan oleh Ibnu As-Sa’ib. Ketiga: Semua orang yang mengikuti
jalan Muhammad dan para sahabatnya. Pendapat ini disebutkan oleh
Ats-Tsa’labiy”.[13]
Jika kita mencermati pendapat
para ahli tafsir, maka maksud dari kalimat “orang yang kembali…” tak
keluar dari generasi salaf, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabat serta orang-orang yang mengikuti dan menapaki manhaj mereka dalam
beragama.
Al-Imam Abu Bakr Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Setiap orang
sahabat adalah orang-orang yang kembali kepada Allah. Karenanya, wajib
mengikuti jalannya. Sedangkan ucapan-ucapan mereka dan aqidahnya termasuk jalan
mereka yang terbesar. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali Allah
-Ta'ala-, mereka sungguh telah diberi petunjuk oleh Allah. Sementara Allah
telah berfirman,
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيب
“…danDia (Allah) memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy-Syuuroo : 13)”.[14]
Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir
As-Sa’diy -rahimahullah-
berkata tentang orang-orang yang kembali kepada Allah, “Mereka adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya. Orang-orang yang berserah diri kepada Allah adalah orang-orang
yang kembali kepada-Nya”.[15]
Disini kita perlu bertanya, “Siapakah manusia yang
paling paham dan kuat keimanannya terhadap perkara-perkara tersebut? Siapakah
yang paling utama dan paling baik jalannya dalam berserah diri kepada Allah??” Tak
ada jawabannya, selain para sahabat, sebab mereka telah terbina di bawah
asuhan seorang Nabi dan Rasul terbaik, Muhammad bin Abdillah -Shallallahu
alaihi wa sallam-. Alangkah anehnya jika Rasul dan guru terbaik -Shallallahu
alaihi wa sallam-, lalu anak dan hasil didikannya (yakni, para sahabat) bukan
generasi terbaik dalam ilmu, iman dan amal sholih.
sumber : Majalah Akhwat,
dengan sedikit perubahan.
[1] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/153
& 162), dan Ath-Thabrany dalam Al-Kabir (1647), di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1803)]
[2] [HR. Ahmad dalam Al-Musnad
(1/379), Ath-Thoyalisiy Al-Musnad (246), Al-Baghowiy dalam Syarh
As-Sunnah (105), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no.
1144)]
[4] Semisal, Masa’il Abi Dawud, Masa’il Ibni Hani,
Masa’il Sholih ibni Ahmad dan lainnya
[5] Daftar kitab-kitab karya maha hebat para ulama
sebagai cerminan bagi keutamaan para sahabat -radhiyallahu anhum-, anda bisa
lihat dalam Makaanah Ahlil Hadits wa Ma’aatsiruhum wa Atsaaruhum
Al-Hamidah did Diin (hal. 19-26) karya Fadhilah Asy-Syaikh Robi’ bin
Hadi Al-Madkholiy [cet. Majaalis Al-Hudaa, 1424 H, Al-Jaza’ir] dan Al-Azhar
Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa
Ath-Tho’ifah al-Manshuroh (hal. 226-234) karya Abu Abdir Rahman Fauziy
bin Abdillah Al-Atsariy, cet. Maktabah Al-Furqon, 1422 H, Uni Emirat Arab.
[6] Ini membantah pernyataan sebagian pengagum
orientalis bahwa para sahabat adalah kaum fundamentalis yang hanya tekstual
yang tersurat, tanpa memahami makna yang tersirat.
[7] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Fadho’il
Al-Qur’an, bab: Al-Qurro’ min Ash-habin Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- (no. 5002) dan Muslim dalam Kitab Fadho’il Ash-Shohabah,
bab: Min Fadho’il Abdillah ibn Mas’ud wa Ummih -radhiyallahu anhuma-
(no. 6283/115/9)
[8] Lihat Kaifa Yajibu Alaina an Nufassir
Al-Qur’an Al-Karim (hal. 35-36) karya Al-Allamah Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah-, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah,
Amman-Urdun, 1421 H.
[9] Kitab “I’laam Al-Muwaqqi’in an Robbil
Alamin” adalah kitab yang amat penting bagi para ulama dan para ustadz
yang biasa terjun memberikan fatwa dan jawaban seputar perkara-perkara agama,
sebab di dalamnya dijelaskan tentang fatwa, adab-adab mufti serta bekal yang ia
butuhkan dalam tugasnya.
[10] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/388) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy,
cet. Darul Hadits, 1422 H.
[11] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof bi Syarh
Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 43).
[12] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/393) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy,
cet. Darul Hadits, 1422 H.
[13] Lihat Zaadul Masir (5/106) oleh Abul Faroj Ibnul
Jauziy- Syamilah.
[14] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in
(2/4/393) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy,
cet. Darul Hadits, 1422 H.
[15] Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman
(hal. 648) karya As-Sa’diy, dengan tahqiq Abdur Rahman bin Mu’alla
Al-Luwaihiq, cet. Mu’assasah, 1421.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya yang sopan