Senin, 10 Agustus 2015

Wajibnya Mengikuti Manhaj Salaf (seri : 01)

...................................................................................................................................................................
Salaf (pendahulu) kita adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan orang-orang yang mengikuti manhaj dan jalan mereka dalam beragama.

Para sahabat adalah orang-orang yang Allah sengaja pilih untuk menemani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam menyampaikan risalahnya kepada generasi setelahnya. Mereka adalah orang yang paling paham tentang makna dan kandungan suatu ayat dan hadits, karena Al-Qur'an dan hadits datang dalam bentuk bahasa mereka. Para sahabat amat fasih bahasanya, paham tentang seluk-beluk bahasa, uslub (cara), dan rasanya. Selain itu, mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan penjelasannya langsung dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka tak melalui suatu ayat, atau hadits, kecuali mereka bertanya kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang sesuatu yang tidak mereka pahami dengan baik.

Oleh karena itu, Abu Dzar Al-Ghifari -radhiyallahu anhu- berkata,
تركنا رسول الله صلى الله عليه وسلم و ما طائر يقلب جناحيه في الهواء إلا و هو يذكرنا منه علما ، قال : فقال صلى الله عليه وسلم: مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقََرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah meninggalkan kami, sedang tak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara, kecuali beliau telah menjelaskan ilmu kepada kami. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tiada suatu perkara yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian”.[1]

Jadi, para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah manusia pilihan yang diberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak diberikan kepada generasi setelahnya dalam menyampaikan risalah dan dakwah Islam.

Abdullah bin Mas'ud -radhiyallahu anhu- berkata,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ ، وَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِيْ قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَجَدَ قُلُوْبِ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ
"Sesungguhnya Allah -Ta'ala- telah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik hati hamba. Lantaran itu, Allah memilihnya untuk diri-Nya, dan mengutusnya membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat lagi hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menemukan hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba. Lantaran itu, Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya; mereka berperang di atas agama-Nya".[2]

Abdu Robbih bin Abd Al-Azdiy -rahimahullah- berkata,
عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ الْحَسَنِ فِيْ مَجْلِسٍ ، فَذَكَرَ كَلاَمًا ، وَذَكَرَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ : « أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ ، فَتَشَبَّهُوْا بِأَخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا -وَرَبِّ الْكَعْبَةِ- عَلَى الْهَدْيِ الْمُسْتَقِيْمِ
"Kami pernah berada di sisi Al-Hasan di suatu majelis. Kemudian beliau menyebutkan suatu ucapan, dan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, "Mereka itulah para sahabat Muhammad, mereka orang-orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling dalam ilmunya, paling sedikit pemaksaan dirinya. Mereka adalah kaum  yang dipilih oleh Allah -Azza wa Jalla- untuk menemani Nabi-Nya, dan menegakkan agama-Nya. Lantaran itu, tirulah akhlak mereka, dan jalan hidup (manhaj) mereka, karena mereka –demi Tuhannya Ka'bah—berada di atas jalan yang lurus".[3]

Semua ini menjelaskan kepada kita tentang wajibnya kembali kepada manhaj salaf, manhaj para sahabat dan pengikutnya. Sebab manhaj (jalan) mereka dalam beragama adalah perkara yang mereka talaqqi (terima) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai guru dan pembimbing mereka.

Ilmu para sahabat telah diakui oleh semua kalangan, dari zaman mereka sampai zaman sekarang, baik kawan, maupun lawan. Bukti terbesar atas kecerdasan dan kehebatan mereka dalam memahami agama ini, apa yang anda lihat berupa karya yang maha hebat. Lihatlah -misalnya- Tafsir Ath-Thobari, di dalamnya terdapat penafsiran para sahabat yang mulia.

Andaikan penafsiran para sahabat tidak dibukukan, maka banyak diantara kita yang tak memahami Al-Qur'an dan Sunnah dengan baik. Para ulama hadits telah mengumpulkan komentar dan ucapan mereka yang berisi ilmu yang bermanfaat. Lihat saja ucapan-ucapan mereka di dalam masalah fikih, dan lainnya di dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Mushonnaf Abdir Rozzaq Ash-Shon'aniy, dan Shohih Ibnu Khuzaimah, Muwaththo' Malik, Kutubus Sittah, Sunan Ad-Darimiy, dan lainnya.

Ucapan mereka sedemikian rapinya, dan lengkapnya sehingga generasi berikutnya dapat memahami Islam yang mulia ini. Orang yang menyatakan bahwa para sahabat adalah kaum yang dangkal ilmunya, maka ia adalah orang-orang yang malas membuka karya-karya ulama yang kami sebutkan di atas, dan lainnya. Jika ia akan membuka dan membaca sedikit saja, maka ia akan tercengang dan terheran melihat kehebatan para sahabat.

Selain itu, tak ada suatu kitab fiqih yang telah ditulis oleh para ulama kita dari berbagai madzhab, kecuali kitab-kitab itu dihiasi oleh lembaran-lembaran yang memuat komentar, fatwa dan pernyataan para sahabat -radhiyallahu anhum-. Silakan anda membuka kita fiqih karangan Imam Malik yang berjudul “Al-Muwaththo’”, karangan Al-Imam Asy-Syafi’iy yang berjudul “Al-Umm” atau “Ar-Risalah”. Buka juga kitab-kitab Al-Masa’il  karangan para murid Al-Imam Ahmad bin Hambal[4], karangan Al-Imam Al-Baihaqiy yang berjudul As-Sunan Al-Kubro, karangan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy yang berjudul “Syarh Ma’anil Atsar”, karangan Al-Imam Ibnu Abdil Barr yang berjudul At-Tamhid atau Al-Istidzkar, karangan Ibnu Hazm yang berjudul Al-Muhalla dan lainnya.

Tak lupa, anda coba menelaah kitab-kitab aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias As-Salafiyyun, semisal: Syarh Ushul Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Al-Imam Al-Laalikaa’iy, Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Aajurriy, Aqidah As-Salaf Ash-habil Hadits oleh Al-Imam Ash-Shobuniy, Ushul As-Sunnah oleh Al-Imam Ahmad, As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad, dan lainnya.[5]

Semua kitab-kitab ini memuat ucapan para Salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Semua ini menyadarkan kita bahwa derajat dan keutamaan para Salaf dalam memahami, mengamalkan, menyampaikan dan memperjuangkan agama dan Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sampai mereka dijadikan oleh para ulama setelahnya sebagai barometer dan standar dalam menilai benar tidaknya suatu perkara agama berdasarkan pernyataan dan petunjuk para sahabat. Oleh karena itu, wajar jika kita wajib mengikuti mereka dalam beragama.

Kekuatan ilmu dan pemahaman para sahabat ditopang oleh bimbingan langsung dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam memahami ayat per ayat sampai mereka memahaminya dengan baik[6].

Seorang diantara mereka (yakni, Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- ) pernah berkata,
وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ أَيْنَ أُنْزِلَتْ وَلَا أُنْزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ فِيمَ أُنْزِلَتْ وَلَوْ أَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنِّي بِكِتَابِ اللَّهِ تُبَلِّغُهُ الْإِبِلُ لَرَكِبْتُ إِلَيْه
“Demi Allah Yang tak ada sembahan yang haq selain-Nya, tidaklah diturunkan sebuah surah dari Kitabullah, kecuali aku tahu dimana ia diturunkan; tidak pula diturunkan suatu ayat dari Kitabullah, kecuali aku tahu pada siapa ia diturunkan. Andai aku tahu ada seseorang yang lebih berilmu daripada aku tentang Kitabullah, sedang ia dicapai oleh onta, niscaya aku akan berkendaraan (bersafar) menuju kepadanya”.[7]

Mengapa para sahabat lebih tahu dan berilmu tentang agama Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah? Tentunya karena mereka telah mempelajarinya langsung dari manusia yang paling paham tentang agama Allah, yakni Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- serta mereka mengetahui seluk beluk ayat, untuk apa dan pada siapa, kapan turunnya, karena sebab apa ia turun. Demikian pula, mereka menemani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam menerapkan firman-firman Allah sehingga mereka lebih paham dan mengerti tentang keinginan Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Inilah sebabnya para ulama dari zaman ke zaman senantiasa menukil penafsiran para sahabat terhadap suatu ayat atau berpegang dengan pemahaman para sahabat terhadap suatu hadits dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Karena, orang yang menyaksikan sebuah peristiwa akan lebih paham dibandingkan orang yang hanya mendengarnya dari orang lain.[8]

Para pembaca yang budiman, mungkin anda bertanya dalam hati, “Apakah ada dalil dalam Kitabullah yang memuji para sahabat dan menyatakan bahwa wajib bagi kita mengikuti manhaj (metodologi dan jalan) mereka dalam beragama??!

Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan wajibnya mengikuti manhaj para sahabat dalam beragama, baik dalam perkara aqidah, hukum dan akhlak. Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah telah mengumpulkan ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar tentang wajibnya mengikuti manhaj para sahabat di dalam kitabnya yang indah “I’lam Al-Muwaqqi’in an Robbil Alamin” di bawah judul bab: “Al-Adillah alaa anna Ittibaa’ Ash-Shohabah wajibun” (Dalil-dalil bahwa Mengikuti Para Sahabat adalah Wajib).[9]

Nah, ada baiknya jika kita menukil ayat-ayat,  hadits-hadits dan atsar tersebut agar menjadi hujjah dan pelajaran bagi kita tentang wajibnya mengikuti manhaj dan pemahaman para As-Salaf Ash-Sholih, secara khusus para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Sejumlah Dalil dari Kitabullah
Diantara dalil wahyu yang menerangkan wajibnya bagi setiap muslim mengikuti dan menapaki jalan dan pemahaman para sahabat dalam beragama adalah beberapa dalil-dalil berikut:
1.      Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  [التوبة/100]
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. At-Taubah : 100)
Para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan tabi'in, dan tabi'ut tabi'in adalah sebaik-baik manusia dalam mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Dengan itu, mereka mendapatkan pujian dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, wajib bagi kita mengikuti manhaj (jalan hidup) mereka dalam beragama. Sebaliknya, barangsiapa yang mengikuti jalan dan manhaj selain manhaj SALAF, maka ia akan tergelincir jauh dari petunjuk Allah -Azza wa Jalla-.
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata saat mengomentari ayat ini, “Sisi pendalilan ayat ini bahwa Allah -Ta'ala- memuji orang-orang yang mengikuti. Jika mereka (para sahabat) mengucapkan suatu perkataan, lalu diikuti oleh seseorang atasnya sebelum ia mengenal keabsahannya, maka orang ini dianggap) telah mengikuti para sahabat. Karenanya, mesti ia terpuji atas perbuatannya itu dan berhak mendapatkan ridho”.[10]
Ayat ini menunjukkan manhaj para sahabat -radhiyallahu anhum-  adalah hujjah yang wajib diikuti, sebab ia adalah dalil. Lantaran itu, orang yang mengikuti mereka berhak mendapatkan ridho. Tak akan dipuji, kecuali orang yang mengikuti dalil. Karenanya, wajib mengikuti para sahabat bagi setiap ulama dan orang awam, karena kewajiban seorang ulama aalah mengikuti dalil sebagaimana Allah -Ta'ala- berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ  [الأعراف/3]
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (QS. Al-A’raaf : 3)
Andaikan mengikuti sahabat bukanlah dalil, maka pasti orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan hukuman, bukan ridho Allah. Coba tadabburi!![11]
2.     Allah -Ta'ala- berfirman,
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ  [يس/21]
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Yaasiin : 21)
Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, “Inilah yang dikisahkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta'ala- tentang kawan Yasin sebagai bentuk keridhoan terhadap ucapan ini dan pujian kepada pengucapnya serta persetujuan kepadanya atas ucapan tersebut. Setiap orang diantara sahabat tidaklah memintai kita balasan, sedang mereka mendapatkan hidayah berdasarkan dalil firman Allah -Ta'ala- yang ditujukan kepada mereka,
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ  [آل عمران/103]
“Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu. Semoga kalian mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran: 103)
Kata “semoga” dari Allah adalah wajib (harus)…
Juga didasari oleh firman Allah -Ta'ala-,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا  [العنكبوت/69]
 “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami”. (QS. Al-Ankabuut : 69)
Setiap orang diantara mereka (yakni, para sahabat) telah berperang di jalan  dan berjihad, entah dengan tangannya atau dengan lisannya. Lantaran itu, sungguh Allah telah memberikan petunjuk kepada mereka. Setiap orang yang Allah beri petunjuk, maka ia akan mendapatkan petunjuk. Karenanya, wajib mengikuti para sahabat berdasarkan ayat ini” [12].
Jihad dan pengorbanan para sahabat tidak ada yang mengingkarinya, kecuali orang-orang yang hatinya berpenyakit, semisal kaum Syi’ah-Rofidhoh!!
3.     Allah -Ta'ala- berfirman,
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيّ [لقمان/15]
 “…dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”. (QS. Luqman : 15)
Al-Imam Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, “Tentang maksud “orang yang kembali”, ada tiga pendapat. Pertama: bahwa ia adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Ada yang berkata kepada Sa’d, “Ikutilah jalannya dalam perkara iman”. Inilah makna ucapan Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat ayat. Ibnu Ishaq berkata, “Utsman bin Affan, Tholhah, Zubair, Sa’d bin Abi Waqqosh dan Abdur Rahman bin auf telah masuk Islam melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq”. Kedua: bahwa ia adalah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibnu As-Sa’ib. Ketiga: Semua orang yang mengikuti jalan Muhammad dan para sahabatnya. Pendapat ini disebutkan oleh Ats-Tsa’labiy”.[13]
Jika kita mencermati pendapat para ahli tafsir, maka maksud dari kalimat “orang yang kembali…” tak keluar dari generasi salaf, yakni Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti dan menapaki manhaj mereka dalam beragama.
Al-Imam Abu Bakr Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Setiap orang sahabat adalah orang-orang yang kembali kepada Allah. Karenanya, wajib mengikuti jalannya. Sedangkan ucapan-ucapan mereka dan aqidahnya termasuk jalan mereka yang terbesar. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali Allah -Ta'ala-, mereka sungguh telah diberi petunjuk oleh Allah. Sementara Allah telah berfirman,
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيب
 “…danDia (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy-Syuuroo : 13)”.[14]
Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata tentang orang-orang yang kembali kepada Allah, “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Orang-orang yang berserah diri kepada Allah adalah orang-orang yang kembali kepada-Nya”.[15]
Disini kita perlu bertanya, “Siapakah manusia yang paling paham dan kuat keimanannya terhadap perkara-perkara tersebut? Siapakah yang paling utama dan paling baik jalannya dalam berserah diri kepada Allah??” Tak ada jawabannya, selain para sahabat, sebab mereka telah terbina di bawah asuhan seorang Nabi dan Rasul terbaik, Muhammad bin Abdillah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Alangkah anehnya jika Rasul dan guru terbaik -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu anak dan hasil didikannya (yakni, para sahabat) bukan generasi terbaik dalam ilmu, iman dan amal sholih.

sumber : Majalah Akhwat, dengan sedikit perubahan.




[1] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/153 & 162), dan Ath-Thabrany dalam Al-Kabir (1647), di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1803)]
[2] [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/379), Ath-Thoyalisiy Al-Musnad (246), Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (105), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no. 1144)]
[3] [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/305), dan Al-Ajurriy dalam Asy-Syari'ah (no. 1161)]
[4] Semisal, Masa’il Abi Dawud, Masa’il Ibni Hani, Masa’il Sholih ibni Ahmad dan lainnya
[5] Daftar kitab-kitab karya maha hebat para ulama sebagai cerminan bagi keutamaan para sahabat -radhiyallahu anhum-, anda bisa lihat dalam Makaanah Ahlil Hadits wa Ma’aatsiruhum wa Atsaaruhum Al-Hamidah did Diin (hal. 19-26) karya Fadhilah Asy-Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholiy [cet. Majaalis Al-Hudaa, 1424 H, Al-Jaza’ir] dan Al-Azhar Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa Ath-Tho’ifah al-Manshuroh (hal. 226-234) karya Abu Abdir Rahman Fauziy bin Abdillah Al-Atsariy, cet. Maktabah Al-Furqon, 1422 H, Uni Emirat Arab.
[6] Ini membantah pernyataan sebagian pengagum orientalis bahwa para sahabat adalah kaum fundamentalis yang hanya tekstual yang tersurat, tanpa memahami makna yang tersirat.
[7] HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Fadho’il Al-Qur’an, bab: Al-Qurro’ min Ash-habin Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- (no. 5002) dan Muslim dalam Kitab Fadho’il Ash-Shohabah, bab: Min Fadho’il Abdillah ibn Mas’ud wa Ummih -radhiyallahu anhuma- (no. 6283/115/9)
[8] Lihat Kaifa Yajibu Alaina an Nufassir Al-Qur’an Al-Karim (hal. 35-36) karya Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah-, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah, Amman-Urdun, 1421 H.
[9] Kitab “I’laam Al-Muwaqqi’in an Robbil Alamin” adalah kitab yang amat penting bagi para ulama dan para ustadz yang biasa terjun memberikan fatwa dan jawaban seputar perkara-perkara agama, sebab di dalamnya dijelaskan tentang fatwa, adab-adab mufti serta bekal yang ia butuhkan dalam tugasnya.
[10] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/388) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[11] Lihat Basho’ir Dzawi Asy-Syarof bi Syarh Marwiyyat Manhaj As-Salaf (hal. 43).
[12] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/393) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[13] Lihat Zaadul Masir (5/106) oleh Abul Faroj Ibnul Jauziy- Syamilah.
[14] Lihat I’laam Al-Muwaqqi’in (2/4/393) oleh Ibnul Qoyyim, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobaabithiy, cet. Darul Hadits, 1422 H.
[15] Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 648) karya As-Sa’diy, dengan tahqiq Abdur Rahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq, cet. Mu’assasah, 1421.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya yang sopan